Pagi ini, Nathania sudah bersiap untuk berangkat kembali ke kediaman Elang untuk lembur. Namun, lagi-lagi ia harus kembali mendengar percekcokan antara Rahman dan kakak iparnya, Mely.
Entah apalagi yang menjadi akar permasalahan mereka kini. Tetapi Nathania tahu dan dapat menebak, jika alasannya pasti tidak jauh dari masalah uang.
Nathania duduk di ruang tengah rumah sederhana itu. Ia menunggu Rahman keluar dari kamarnya. Ia bermaksud untuk berpamitan.
Selang beberapa saat, Rahman pun keluar dari kamarnya. Ia heran karena melihat adiknya sudah tampak rapi pagi-pagi begini. Ia pun menghampiri Nathania yang langsung berdiri saat kakaknya itu muncul.
"Kamu mau pergi? Sekarang masih pagi," tanya Rahman dengan wajah keheranan.
Nathania mengangguk pelan. "Pak Elang ingin aku lembur di hari Minggu. Karena neneknya tidak mau diurus oleh orang lain selain aku," jawab Nathania dengan tenang, meskipun sebenarnya hatinya sedih dengan kondisi kehidupan yang ia jalani.
Hampir setiap pulang ke rumah, ia selalu mendengar pertengkaran antara Rahman dan istrinya.
"Tega sekali majikan kamu itu. Masih menyuruhmu bekerja di hari Minggu," keluh Rahman. Wajahnya tampak semakin kesal.
Nathania pun tersenyum. Ia tidak ingin membuat kekesalan Rahman bertambah, ia pun berkata.
"Aku dapat upah dua kali lipat dari hari biasanya, Kak. Jadi, daripada aku hanya duduk berdiam diri di rumah, lebih baik aku isi dengan sesuatu yang menghasilkan saja," jawab gadis itu. Ia berharap Rahman segera tenang.
Tidak lama kemudian, Mely keluar dari kamarnya dengan memasang wajah cemberut total. Ia tidak menyapa Nathania ataupun mengatakan sesuatu. Ia langsung berlalu entah kemana.
Rahman menatapnya dengan wajah penuh kejengkelan. Ia sudah hilang kesabaran dengan ulah istrinya itu.
"Ada apa, Kak?" Tanya Nathania penasaran.
Rahman menarik nafas panjang dan menghempaskannya. Ia pun duduk di kursi yang dari penampilannya saja, sudah tidak layak untuk di duduki.
"Kakak iparmu itu sungguh keterlaluan. Ia benar-benar sudah membuat Kakak hilang kesabaran," jawab Rahman mencoba menenangkan dirinya.
Nathania pun duduk kembali. Ia menatap Rahman yang kini tampak sangat kebingungan.
"Ada apa, Kak?" Tanyanya sekali lagi.
Rahman menatap adiknya itu sambil menggelengkan kepalanya. Ia tampak sangat bingung.
"Mely telah meminjam uang kepada rentenir. Kakak tidak tahu untuk apa atau kemana larinya uang itu? Tetapi yang pasti, sekarang Kakak harus melunasi hutangnya dengan jumlah yang sangat besar. Terlebih, tidak lama lagi ia akan segera melahirkan. Ada-ada saja kelakuan wanita itu," gerutu Rahman kesal.
Nathania terkejut mendengar penuturan Rahman. Ia tidak menyangka jika kakak iparnya bisa berbuat senekat itu.
"Memangnya berapa hutang, kak Mely?" Tanya Nathania.
"35 juta," jawab Rahman membuat kedua pasang mata Nathania terbelalak dengan sempurna.
Untuk sebagian orang, 35 juta mungkin bukan jumlah yang besar. Tetapi, untuk keluarga Nathania uang segitu adalah jumlah yang sangat fantastis.
"Itu banyak sekali. Bagaimana kak Mely bisa meminjam uang sebanyak itu?" Nathania terheran-heran.
Jika selama ini Mely meminjam uang sebanyak itu, maka kenapa ia selalu uring-uringan untuk masalah kebutuhan sehari-hari? Nathania pun tidak habis fikir.
"Kakak tidak tahu uang itu ia pakai untuk apa? Kakak tidak pernah melihat uang itu sama sekali," gerutu Rahman lagi.
Nathania terdiam. Ia tahu jika Rahman saat ini pasti sangat pusing dan kebingungan. Apalagi ia juga tengah menghadapi biaya untuk persalinan istrinya yang banyak ulah itu.
Lgipula, itu semua belum termasuk biaya hidup sehari-hari. Masih untung karena anak pertama mereka bersekolah secara gratis, jadi Rahman tidak terlalu terbebani dengan biaya sekolah.
Nathania sebenarnya ingin sekali menemani Rahman berbincang-bincang. Namun, ia harus segera berangkat.
Baru saja ia merapikan cardigan rajutnya, dua orang pria datang ke rumah itu. Tamu tak diundang di pagi buta.
Adalah dua orang pria yang bermaksud untuk menagih hutang Mely. Wanita itu tidak menepati janjinya dalam membayar hutangnya.
Rahman pun menyambut mereka dengan sikap ramah. Setidaknya, itulah yang dapat ia lakukan.
Untunglah mereka berdua mau berbicara secara baik-baik dengan Rahman. Mereka memberikan tenggang waktu selama dua hari saja.
Dan yang paling menakutkan dari mereka berdua adalah, tatapan nakal dan jahat mereka kepada Nathania.
Menyadari hal itu, Rahman pun segera menyuruh Nathania untuk berangkat. Nathania pun seakan mengerti dengan maksud dari kakaknya saat itu. Lagipula memang sudah seharusnya ia berangkat sejak tadi.
Diperjalanan pun, Nathania tak henti-hentinya memikirkan kejadian pagi ini. Darimana Rahman akan mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu dua hari? Itu sangat tidak mungkin.
Sesaat terbersit fikiran untuk berbicara kepada Wangsa. Namun, ia masih merasa malu. Akan dikemanakan harga diri Rahman dan juga Mely?
Tidak. Ia tidak bisa meminta bantuan kepada Wangsa. Lagipula jumlah uang yang dibutuhkan juga sangatlah banyak.
Nathania pun sampai di kediaman Elang. Sambil terus melangkah, fikirannya entah kemana. Ditambah dengan kebiasaan berjalannya yang selalu sambil menundukan kepala, ia tidak menyadari dengan apa yang ada di depannya. Hingga pada akhirnya, ia pun menubruk sesuatu. Lebih tepatnya seseorang.
Nathania tersentak dan memegangi kepalanya.
Elang menatap gadis itu dengan tajam. Pandangan matanya tertuju langsung pada Nathania yang saat itu tampak sangat bodoh. Ia terlihat sangat kacau.
"Perbaiki cara berjalanmu!" Ucap pria tegap itu dengan tegas.
Nathania mencoba untuk tersenyum meskipun agak kikuk. Ia pun mengangguk pelan.
Tanpa sepatah katapun lagi, Elang segera berlalu meninggalkan gadis itu. Ia menuju garasi rumahnya dengan langkah gagah penuh wibawa.
Nathania sempat menatapnya.
Rupanya pria itu akan pergi. Dari pakaian yang ia pakai, sepertinya hari ini ia akan pergi main golf. Ia pun masuk kedalam Range Rover putihnya yang telah disiapkan oleh sopir pribadinya, Firman. Namun, Elang tampak menyetir sendiri hari ini.
Sejenak Nathania tersenyum kala menatap pria itu. Elang adalah pria yang sangat tampan dan gagah. Ia juga terlihat sangat dewasa. Namun sayang, Elang sangat dingin dan kaku. Ia hanya berbicara pada orang-orang tertentu saja. Orang-orang yang sudah benar-benar dekat dengannya.
"Hey, udik!" Terdengar suara menyebalkan yang tidak ingin Natahania dengar. Suara siapa lagi, kalau bukan Nastya.
Gadis itu telah mengagetkan Nathania dari lamunannya.
Nastya tengah berdiri di balkon atas, tepatnya di balkon kamarnya.
Dia tampak tertawa cekikikan. Rupanya sejak tadi ia memperhatikan apa yang terjadi dari atas sana. Seperti biasa, ia menertawakan kebodohan Nathania.
"Heh, udik! Jangan sok mencari perhatian pada kak Elang. Atau kamu akan tahu akibatnya!" Ancam Nastya dengan wajah jahatnya.
Nathania pun berlalu, ia lebih memilih segera masuk ke dalam rumah daripada harus meladeni gadis aneh itu.
Bagi Nathania, bicara pada Aida yang pikun, jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan bicara pada gadis seperti Nastya yang menyebalkan.
"Hai, Nek. Aku tidak jadi libur hari ini," sapa Nathania pada Aida.
Nenek tua itu menatapnya dan tersenyum.
Aida memang jarang bicara. Ia hanya tersenyum, mengangguk atau menggeleng. Sekalinya mengeluarkan suara, maka ia itu adalah suara teriakan tidak menentu. "cebok" adalah kata-kata kesukaannya jika ia sedang berteriak-teriak.
"Ayo, kita bersihkan badan nenek dulu," Nathania pun menyiapkan air hangat di dalam baskom. Ia kemudian menyeka tubuh Aida dengan sangat telaten.
Meskipun baru dua bulan bekerja seperti itu, akan tetapi Nathania sudah tampak seperti seorang perawat profesional yang sedang merawat pasiennya. Ia tidak tampak canggung sama sekali.
Beberapa saat kemudian, ia pun selesai menyeka tubuh Aida. Dipakaikannya baju dan dirapikannya rambut beruban wanita tua itu.
"Nenek sudah terlihat cantik dan segar. Mau makan sekarang?" Tawar Nathania.
Aida mengangguk pelan.
"Sebentar, ya! Aku ke dapur dulu. Aku tidak lama, jadi nenek tidak perlu teriak-teriak!" Pesan Nathania dengan senyum manisnya. Ia pun berlalu keluar kamar Aida.
Akhirnya hari Minggu ini tidaklah seperti hari Minggu untuknya. Ia melewatkan hari ini dengan segudang tugasnya, dan setumpuk rasa khawatir akan Rahman dan Mely.
Nathania, di usia semuda itu sudah mampu memikul beban hidup yang besar. Ia lebih sering memikirkan kebahagiaan keluarganya, dibandingkan dengan kebahagiaannya sendiri. Senyum keluarganya adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya.
Malam itu. Jam dinding yang menempel di dinding kamar Nathania, sudah menunjukan waktu lewat tengah malam. Namun, Nathania tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Sulit rasanya untuk tidur malam ini.
Nathania terus merasa gelisah. Hatinya tidak tenang. Ia masih memikirkan Rahman yang pastinya malam ini pun sama tidak bisa tidur akibat ulah istrinya.
Apa yang ia fikirkan memanglah benar adanya. Rahman tengah termenung sendiri di atas kursi di ruang tengah itu.
2 hari? 35 juta?
Darimana Rahman akan mendapatkannya?
Belum lagi, Mely akan segera melahirkan. Mereka pasti membutuhkan biaya untuk persalinan yang cukup besar. Sementara Rahman sendiri sedang menganggur saat ini.
Entah kenapa dalam satu bulan ini, hampir tidak ada seorang pun yang membutuhkan tenaganya?
Rahman adalah seorang pekerja keras. Ia bisa bekerja apasaja. Ia bahkan pernah menjadi kuli panggul di pasar. Namun, cedera lengan telah membuatnya membatasi pekerjaan berat itu. Kini ia hanya bekerja serabutan.
Sementara itu, Natahania di kediaman Elang.
Ia memilih untuk keluar kamar. Mencari udara segar di luar, mungkin akan sedikit memberinya pencerahan dengan apa yang harus ia lakukan untuk dapat membantu sang kakak. Ia pun berjalan-jalan di dekat kolam renang.
Sudah hampir dua bulan ia bekerja di rumah megah bak istana itu. Rumah dengan banyak jendela dan balkon dengan teralis berukir yang indah. Rumah dengan cat putih bersih, dan empat pilar yang tinggi besar menjulang, menopang dengan kuat beban sebesar itu.
Mungkin Nathania pun harus seperti pilar di rumah Elang. Ia harus kuat dan selalu tampak kokoh agar dapat menopang kehidupannya dan keluarganya. Karena, bagaimanapun juga Rahman adalah pria yang sangat berjasa dalam hidupnya.
Ia yang telah merangkulnya, saat sedang merasa bingung dan kedinginan karena tidak tahu harus kemana mencari sang ibu yang telah pergi meninggalkannya.
Rahman adalah pria yang selalu menghapus air matanya, ketika ia merasa sedih dan merindukan sosok orang tua yang tidak pernah ada untuknya.
Rahman juga lah yang telah berjuang hingga ia bisa bersekolah, dan mengenal deretan abjad serta angka yang menjadi bekalnya kini mengarungi kerasnya persaingan hidup.
Nathania duduk sendiri di tepian kolam renang itu. Ingin rasanya ia menceburkan dirinya ke dalam kolam itu, dan merasakan seberapa dinginnya air itu kala menyentuh tubuhnya.
Lalu, apa yang dilakukan Nathania?
Ia melepas seluruh pakaiannya dan melakukan apa yang ia fikirkan tadi. Ia tidak tahu, jika ada sepasang mata tajam yang sejak tadi dengan sengaja memperhatikannya dari balik jendela kamarnya. Mata tajam seorang Elang.
Ini ceuceu author kasih visual Elang. Semoga syukaaa dan bisa mememani kehaluan readers semua.
kereeen khaan???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ika Yulia
kak othor gak pernah ngecewain kalo soal visual 🤩
2023-08-20
1
Katherina Ajawaila
kerenn, tapi ngk apa2 lah kasian juga Tania, blm berkel udh kaya ibu rmh tangga, nanggung beban
2022-06-22
1
玫瑰
Suka
2022-05-07
1