Dengan langkah tertunduk, Nathania memasuki kelas. Tertunduk bukan karena malu. Namun, memang itulah kebiasaannya.
Nathania tak peduli, meskipun jadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya. Dia langsung duduk di meja paling belakang.
"Tan, bagian belakang rok kamu merah," ucap salah seorang siswi, yang duduk di bangku sebelah Nathania.
Nathania hanya menanggapi dengan anggukan.
Tak berselang lama, datanglah tiga siswi menghampiri Nathania. Salah seorang dari mereka melemparkan pembalut ke hadapan Nathania.
"Pakai itu!" suruh salah seorang dari ketiga siswi tadi. Dia adalah Nastya Agatha Gunardi. Siswi paling populer di sekolah karena kecantikan serta kekayaan yang dimilikinya. Nastya merupakan blasteran Indonesia-Irlandia. Namun, dia sangat angkuh dan sok berkuasa.
Lain halnya dengan Nathania, yang merupakan gadis yatim piatu. Ayahnya meninggal selagi dia masih kecil sedangkan sang ibunda pergi entah ke mana.
Kabarnya, ibunda Nathania sudah menikah lagi. Namun, hingga saat ini, Nathania tidak pernah bertemu dengannya dan tak mengetahui di mana keberadaan wanita itu.
Nathania membiarkan waktu terus berlalu, tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih, selain ingin menjalani kehidupan dengan tenang.
Akan tetapi, hari-hari yang dilalui tak seindah harapannya. Setiap detik terasa begitu berat, bahkan hingga dirinya beranjak dewasa dan mandiri.
Malam itu, hujan turun cukup deras. Nathania yang tengah libur dari pekerjaan, memutuskan pulang ke rumah sekadar ingin beristirahat.
Namun, lagi-lagi harapan hanya jadi harapan. Niat hati hendak menenangkan tubuh dan pikiran, yang Nathania dapat justru sebaliknya. Setiap kali berada di rumah, dia harus mendengar omelan serta ocehan sang kakak ipar, yaitu Melly.
Satu-satunya yang selalu membuat Melly uring-uringan adalah masalah uang. Pekerjaan Rahman yang merupakan buruh serabutan, kerap membuatnya seperti seekor singa kelaparan.
"Ada apa lagi, Mel? Kenapa marah-marah terus?" tanya Rahman, yang awalnya tak ingin menanggapi omelan sang istri.
"Seharusnya kamu mengerti, Mas! Aku pusing mengurus anak-anakmu yang banyak tingkah! Lihat kelakuan Seno! Seharian ini, dia jajan banyak sekali!"
"Dia masih kecil, Mel. Belum memahami kondisi keuangan kita." Rahman berusaha tetap tenang.
"Karena itulah, Mas! Seharusnya, kamu mencari kerja yang benar! Tidak lama lagi aku akan melahirkan! Kita membutuhkan banyak biaya!" omel Melly, yang sedang mengandung anak ketiga dari Rahman.
"Aku tidak akan berpangku tangan. Jangan terlalu mencemaskan hal itu," ujar Rahman, mencoba menenangkan sang istri.
"Bagaimana aku bisa tenang, Mas? Sudah berapa lama kamu menganggur? Belum lagi adik kesayanganmu itu. Datang dan pergi sesuka hati! Benar-benar tidak tahu malu! Tak sekalipun membantu keuangan kita!"
Selalu seperti itu. Setiap kali marah, nama Nathania pasti ikut disebut. Entah apa yang membuat Melly begitu membencinya.
"Kenapa selalu menyangkut-pautkan Tania dalam setiap masalah keluarga kita? Dia sedang menabung untuk melanjutkan kuliah, yang seharusnya jadi tanggung jawabku sebagai kakak," tegas Rahman tak suka.
"Itulah kesalahanmu, Mas! Teruslah membela gadis munafik itu! Pantas saja dia makin menyebalkan dan besar kepala! Ingat, Mas! Tania hanya adik angkatmu!"
"Jaga bicaramu, Mel!" bentak Rahman tegas.
"Apa, Mas? Itulah kenyataannya! Kedekatan kalian membuatku curiga!"
"Tutup mulutmu, Mel!" sentak Rahman kian tegas, disertai telunjuk yang terarah lurus kepada sang istri.
"Singkirkan tanganmu, Mas! Kamu berani melakukan ini padaku, tapi tidak pada Tania!"
"Tania adalah adikku! Aku tidak suka kamu berbicara seperti itu tentangnya! Dia tidak pernah berulah macam-macam! Otakmu saja yang ngaco!"
Melly mendengkus kesal. Tak ingin terus berdebat, dia memilih berlalu ke dalam kamar. Usia kehamilan yang sudah memasuki trimester akhir, membuatnya jadi lebih mudah lelah.
Sementara itu, Nathania hanya terdiam mendengar semua ocehan Melly tentang dirinya. Namun, dia tak bisa berbuat banyak. Bagaimanapun juga, Nathania menghormati Melly sebagai kakak ipar, wanita pilihan Rahman, sang kakak tercinta.
Hujan turun kian deras, menimbulkan kebocoran di beberapa sudut kamar Nathania. Itu merupakan pemandangan biasa, yang sudah berlangsung sejak lama.
Namun, jangankan memperbaiki rumah. Untuk biaya sehari-hari saja, rasanya sangat berat bagi Rahman. Apalagi, Melly akan segera melahirkan.
"Kak, berikan uang ini kepada Kak Melly." Nathania memberikan tiga lembar uang pecahan senilai seratus ribu rupiah kepada Rahman.
Rahman yang tengah menyeduh kopi hitam dalam gelas kecil, segera menoleh. Ditatapnya uang pemberian Nathania.
"Apa ini, Tan? Kamu sudah memberikan sebagian dari penghasilanmu. Tidak! Simpan kembali uang itu!" tolak Rahman tegas.
"Tidak apa-apa, Kak. Ambil saja, lalu berikan kepada Kak Melly. Aku bisa mendapatkannya lagi bulan depan. Namun, katakan padanya agar jangan terlalu boros. Karena sekarang baru tanggal sepuluh," ucap Nathania, diiringi senyum tipis.
Rahman terdiam. Bagaimanapun juga, dia membutuhkan uang itu. Akan tetapi, ada rasa tak enak karena terus melibatkan Nathania dalam urusan keuangan keluarganya.
"Maafkan, Kakak. Seharusnya, Kakak yang memberikan uang padamu, bukan sebaliknya," sesal Rahman, dengan gurat kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya.
Nathania menggeleng pelan. "Jangan bicara seperti itu, Kak. Aku sangat beruntung karena memiliki kakak sepertimu. Itu sudah lebih dari cukup bagiku," ucapnya lembut.
Embusan napas pelan meluncur dari bibir Rahman. Dia yang tadinya hendak menikmati segelas kopi, justru membiarkan minuman itu dingin tanpa tersentuh. Perbincangan dengan Nathania membuatnya mengabaikan segala hal.
Sebenarnya, tak salah bila Melly kerap berpikir negatif dalam menyikapi kedekatan antara Rahman dan Nathania. Terlebih karena di antara mereka tak ada ikatan darah secara langsung.
"Maafkan semua ucapan kasar Melly. Kakak sangat menyesalkan sikapnya selama ini," ucap Rahman, setelah terdiam beberapa saat.
"Tidak apa-apa, Kak. Aku sudah terbiasa dengan sikap Kak Melly. Jangan khawatir. Aku sudah dewasa. Sikap kasar seperti itu tidak akan membuatku langsung putus asa." Nathania menanggapi santai ucapan Rahman, meskipun harus bertentangan dengan hati nuraninya.
Sekuat apa Nathania? Rasa sakit tetap ada. Namun, harus ditahan demi tetap fokus pada cita-cita.
Nathania kerap mengabaikan segala hal. Sedikit masalah tak akan membuat langkahnya terjegal.
"Kamu yakin tidak apa-apa, Tan?" Rahman mendekat ke hadapan Nathania.
"Iya, Kak." Nathania mengangguk, lalu tertunduk.
"Bagaimana pekerjaanmu?"
"Biasa saja."
"Kamu tidak pernah bercerita tentang tempat kerja, majikan, atau segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Kakak harap, semua baik-baik saja."
Nathania kembali mengangguk, meskipun gerakannya agak ragu. Namun, dia tak ingin membuat Rahman kian terbebani.
"Jika ada masalah, berceritalah. Kakak pasti akan berusaha membantumu," bujuk Rahman lembut.
Kali ini, Nathania langsung menggeleng. "Tidak, Kak. Tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja dan masih terkendali."
"Kamu yakin?"
Belum sempat Nathania menanggapi, Melly lebih dulu menyela.
"Romantis sekali."
Nathania berjalan menyusuri trotoar jalanan kota yang belum terlalu ramai, berhubung saat itu masih terlalu pagi. Sisa-sisa hujan semalam pun, masih tampak dengan jelas. Cuaca yang lumayan dingin dan genangan air di beberapa sudut jalanan, seolah menambah keengganan semua orang untuk keluar rumah pagi ini.
Jika bukan karena mempunyai suatu kewajiban, mungkin saja Nathania pun saat ini masih berkutat dengan bantal dan selimutnya.
Entah takdir apa yang menyertai kehidupan Nathania kini. Setelah beberapa tahun berlalu, ia harus kembali bertemu dengan gadis yang sangat membencinya sewaktu sekolah dulu, yaitu Nastya. Parahnya lagi, Nathania bekerja di rumah keluarga gadis itu.
Nathania adalah perawat nenek dari Nastya.
Seorang wanita tua yang sudah mulai pikun. Usianya sudah hampir delapan puluh tahun.
Dua bulan sudah, Nathania bekerja di sana. Upahnya pun jauh lebih besar jika dibandingkan dengan saat ia bekerja di sebuah kedai ayam goreng, yang berada tidak jauh dari rumahnya. Karenanya, Nathania tetap manjalani pekerjaan itu, meskipun ia seringkali merasa tidak nyaman berada di sana.
Nathania baru saja sampai di rumah megah dengan desain ala mediterania itu. Ketika ia baru saja masuk, ia langsung disambut oleh Nastya yang sudah berdiri dengan kedua tangan yang terlipat di dadanya. Sepasang mata dengan warna biru itu menatap tajam ke arahnya. Mata indah yang tampak sangat tidak menyukai kehadirannya di rumah itu.
Nathania sepertinya enggan untuk melawan ataupun meladeni kesombongan gadis itu. Ia sudah kenyang dengan aroma pertengkaran antara Rahman dan Mely semalam. Pagi ini, ia hanya ingin fokus pada tugasnya saja.
Nathania memilih untuk segera menuju kamar wanita tua yang dirawatnya, yaitu Aida. Namun, sebelum ia sempat beranjak, Nastya terlebih dahulu mencegahnya. Ia menarik lengan gadis itu dengan kasarnya.
"Dari mana saja kamu? Nenek sudah berteriak-teriak. Sejak tadi ia minta cebok!" tanya Nastya dengan nada ketusnya. Ia menyeringai kepada Nathania.
Nathania menoleh. Bagaimanapun juga, Nastya adalah nona besar di rumah itu. Ia adik satu-satunya dari pria yang mempekerjakannya disana, yaitu Elang Adhitama Gunardi.
Jadi sudah pasti, jika Nastya juga merupakan salah satu dari pewaris tahta kerajaan bisnis dari almarhum ayahnya, Gunardi Gillean Iskandar.
Nathania tidak menjawab. Ia hanya menatap tajam gadis yang masih berdiri dengan angkuhnya.
Pagi itu, Nastya tampak cantik dengan model rambut barunya. Rambut keriting sebahu dengan warna cokelat pirang. Warna yang membuat wajahnya terlihat semakin manis. T shirt dress yang ia pakai, membuat penampilannya tampak casual, apalagi dilengkapi dengan sepasang flat shoes bertali yang membuat kakinya terlihat semakin cantik. Tampaknya Nastya akan pergi pagi itu. Tidak biasanya ia bangun sepagi itu. Omong-omong, saat itu adalah pukul delapan tiga puluh.
Nastya, memang selalu bangun siang.
Ia tidak memiliki kewajiban untuk melakukan apapun di rumah itu. Ia adalah seorang ratu muda yang hanya bisa memerintah.
Nathania terus menatapnya. Bola mata berwarna hitam itu menahan banyak sekali kemarahan dari si pemiliknya. Kemarahan yang tidak dapat ia lampiaskan.
Sementara itu, Nastya masih berdiri kokoh dengan angkuhnya. Ia menyunggingkan senyuman sinis yang ditujukan khusus untuk gadis sederhana yang ada di hadapannya.
"Oh iya, Tania. Sebelum ke kamar nenek, mungkin sebaiknya kamu membuatkanku segelas jus wortel! Mataku rasanya membutuhkan nutrisi lebih banyak akhir-akhir ini. Kamu tahu kenapa? Karena aku terlalu sering melihatmu di rumahku!"
Nathania tersenyum kelu. "Aku bekerja di sini untuk merawat nenekmu yang sudah pikun. Kamu ingin kurawat juga?" sindir Nathania.
Mendengar jawaban Nathania yang terkesan mengejeknya, Nastya langsung menyeringai kepadanya. "Sebentar lagi, kamu pasti akan berhenti dari pekerjaanmu disini! Sebaiknya kamu kembali ke rumahmu yang jelek, dan bekerjalah di kedai ayam goreng murahan itu!" ancam Nastya tegas. Gadis itu tidak suka jika ada orang lain yang membantah kata-katanya. Apalagi terkesan menantangnya.
"Pak Elang yang mempekerjakan aku disini! Aku tidak bekerja untukmu, Nona!" jawab Nathania lagi. Ia tidak gentar meskipun Nastya adalah adik dari majikannya.
"Aku akan segera bicara dengan kakakku! Aku pastikan dia akan segera memecatmu!" Nastya dengan jari telunjuknya yang lentik di depan wajah Nathania. Memang seperti itulah dirinya sejak dahulu.
"Satu lagi, aku juga merupakan majikanmu! Jadi aku berhak mengambil keputusan atas nasibmu disini! Dengar, Tania! Aku sudah tidak tertarik lagi untuk bermain-main denganmu! Aku sudah sangat puas menertawakanmu dari semasa sekolah dulu. Jadi, menyingkirlah dari hadapanku!" Nastya mengakhiri kata-katanya dengan keras dan mendorong pundak Nathania hingga gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang.
Nathania hanya tersenyum kecil. Ia menatap Nastya dengan mata beningnya yang teduh. Entah apa yang membuat Nastya begitu membenci dirinya? Hingga saat ini, Nathania tidak pernah tahu alasan gadis sombong itu sering melakukan hal-hal tidak manusiawi kepadanya. Belum lagi, semua kata-kata kasar dan kotor yang sering ditujukan gadis berwajah bule itu untuknya.
"Kenapa kamu sangat membenciku? Sebenarnya apa masalahmu denganku?" Nathania bertanya dengan mata penuh rasa penasaran.
"Aku tidak memerlukan alasan khusus untuk membencimu!" jawab Nastya dengan jengkel.
Ia lalu mendekati Nathania. "Wajahmu itu, terlihat sangat menyebalkan! Rasanya aku ingin sekali meletakan fotomu diatas keset kamar mandiku!" cibir Nastya dengan angkuhnya.
"Dasar gadis kampungan! Miskin! Seharusnya aku tidak pernah bicara dari jarak sedekat ini denganmu. Menjijikan!" cela Nastya. Ia menunjukan ekspresi jijiknya terhadap Nathania dengan terang-terangan. Ia berkali-kali menyeringai kepada gadis muda itu.
Nathania hanya terdiam. Ia harus dapat mengendalikan dirinya agar jangan sampai terpancing emosi. Bagaimanapun juga, keadaannya saat ini tidak akan mendukung apalagi menguntungkannya. Ia menggelengkan kepalanya perlahan.
"Sebaiknya aku segera ke kamar nenek," pikirnya.
Nathania berniat untuk menuju kamar Aida. Ia membalikan badannya, sebelum akhirnya ia jatuh tersungkur di lantai karena dengan sengaja Nastya menjegal kakinya. Nastya tertawa pelan, saat Nathania menoleh padanya dengan wajah kesal.
"Nastya, apa-apaan itu?" terdengar suara berat khas pria dewasa di ruangan itu. Suara yang membuat kedua gadis itu terkejut. Mereka sangat mengetahui, siapa pemilik dari suara berat itu.
Dengan segera Nathania bangkit dan merapikan cardigan rajut yang ia pakai saat itu. Ia pun berdiri dengan tegak dan bersikap wajar.
Sementara Nastya, ia tampak gugup. "Kakak," sebutnya pada pria yang tengah berjalan menghampiri mereka. Pria dengan T shirt putih lengan panjangnya. Ia berjalan dengan sangat gagah menghampiri kedua gadis itu seraya menaikan sedikit lengan bajunya, sehingga tampaklah pergelangan tangan yang dihiasi oleh arloji yang terlihat sangat mengkilap.
Elang berdiri menatap kedua gadis muda yang ada di hadapannya dengan sepasang matanya yang tajam. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya dengan suara penuh wibawa. Kedua gadis itupun saling pandang.
"Tidak ada," jawab Nastya. "Kami hanya mengobrol, dan tiba-tiba Tania terjatuh. Iya, kan?" Nastya melirik Nathania. Nathania pun membalas lirikan itu. Tampak Nastya memberi kode dengan kedua matanya.
Nathania mengangguk pelan. "Iya," jawabnya dengan sedikit ragu. "Aku permisi dulu," dengan segera ia pun berpamitan untuk menuju ke kamar Aida. Seperti biasa, dengan langkahnya yang selalu tertunduk.
Kini tinggalah, kedua kakak beradik itu di sana.
Pria itu menatap lekat Nastya untuk sejenak. Ia tahu jika Nastya senang melakukan ulah yang aneh dengan sesuka hatinya.
"Jangan berulah macam-macam kamu!" Elang, dialah pria itu. Dia merupakan satu-satunya orang yang Nastya takuti dan segani. Karena Elang adalah kakak satu-satunya yang Nastya miliki.
"Aku tidak melakukan apapun, Kak! Tania memang terjatuh sendiri tadi. Lagi pula, aku tidak punya urusan dengannya," Nastya berkilah. Ia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Nathania.
Elang menatapnya dengan tajam. Seperti itulah cara ia menatap semua orang, tanpa terkecuali.
Ia tidak percaya begitu saja pada penuturan sang adik. Karena ia tahu, seperti apa watak adiknya itu.
"Kamu yakin?" selidiknya.
Selain memiliki tatapan tajam, gaya bicaranya pun sangat tegas. Mungkin karena itulah, ia dapat memimpin perusahaan peninggalan sang ayah dengan sangat baik.
Nastya mengangguk, meskipun dengan tidak yakin. Ia segera mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
"Aku mau minta izin. Hari ini, aku akan keluar sebentar dengan teman-temanku. Apakah boleh jika aku meminjam salah satu mobil Kakak?" tanyanya dengan wajah ragu. Ia tidak yakin jika Elang akan memberinya izin.
Elang tidak segera menjawab. Ia duduk dan menyilangkan kakinya di atas sofa mewah itu. Pandangannya masih tertuju kepada adik semata wayangnya yang kini ikut duduk di sebelahnya.
"Tidak!" jawab Elang dengan tegas.
Nastya tampak kecewa. Namun, gadis itu tidak menyerah. Ia memasang wajah manisnya di hadapan sang kakak. "Aku mohon! Aku janji kali ini akan menyetir dengan baik dan sangat hati-hati," bujuk Nastya. Ia mengerlingkan mata birunya. Ia berharap agar Elang akan luluh dan berubah pikiran.
"Tidak!" Jawaban Elang tetap sama.
"Tetapi, Kak. Aku sudah janji dengan teman-temanku," rengek Nastya. "Lihatlah! Aku bangun sangat pagi dan sekarang sudah bersiap untuk pergi! Aku pasti akan sangat kecewa jika Kakak sampai tidak memberiku izin untuk memakai salah satu mobil Kakak," Nastya tampak cemberut. Sifat manjanya, akhirnya keluar juga di hadapan sang kakak.
"Tidak!" jawaban Elang tetap tidak berubah.
Tentu saja, Elang tidak akan pernah membiarkan adik semata wayangnya itu menyetir sendiri lagi, setelah kecelakaan yang terjadi dua bulan yang lalu.
Nastya menyetir dalam kecepatan tinggi hingga ia kehilangan kendali dan menabrak pemotor yang ada di depannya. Ia kemudian harus berurusan dengan polisi kala itu.
Pada akhirnya, Elang juga lah yang harus turun tangan membereskan semuanya. Masih beruntung karena keluarga korban bersedia menempuh jalan damai. Jika tidak, mungkin saat ini Nastya tengah menikmati hari-harinya di dalam hotel prodeo yang indah. Tidak dapat dibayangkan, entah akan seperti apa jadinya jika ia benar-benar harus berada di sana?
"Kamu boleh memakai mobil Kakak, tapi hanya jika ditemani Firman. Jangan menyetir sendiri!" Elang memberikan penawaran lain. Kali ini nada bicaranya terdengar jauh lebih lunak dan santai.
Nastya hanya cemberut. Ia tidak suka pergi dengan diantar supir pribadi. "Ya, sudah. Aku naik taksi saja," gumamnya. Ia melipat kedua tangannya di dada, dengan memasang wajah cemberut yang semakin menjadi. Ia tidak setuju dengan penawaran dari sang kakak kali ini.
Elang meliriknya sesaat. Ia hanya tersenyum simpul. Ia pun mengeluarkan dompetnya. Dari sana, ia mengambil beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan. Ia lalu menyodorkannya kepada Nastya.
"Kakak suka rambut barumu. Karena itu, Kakak akan memberimu ongkos taksi. Ini ambilah!" ucapnya dengan sedikit senyuman di sudut bibirnya.
Nastya menoleh kepada Elang. Ia lalu melirik uang yang Elang sodorkan padanya. Setidaknya ada lima sampai tujuh lembar uang berwarna merah.
"Lumayan juga," pikir Nastya. Gadis itupun tersenyum lebar. Wajahnya kembali sumringah kini. "Ya, sudah. Aku pergi diantar sopir saja tidak apa-apa. Namun, aku juga ambil ongkos taksinya," Nastya meraih uang yang Elang sodorkan padanya dengan wajah yang terlihat sangat ceria. Tampak sudah seberapa liciknya gadis cantik berkulit putih itu.
Elang hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah manja sang adik. Hal seperti itu memang sudah menjadi pemandangan yang biasa baginya.
Nastya memberikan sebuah ciuman hangat di pipi kiri sang kakak. "Terima kasih, Kak. Kakak adalah Kakak yang paling hebat di dunia ini. Aku do'akan semoga Kakak segera dapat jodoh," ucap Nastya sambil cekikikan, membuat Elang hanya mendelik padanya.
Saat itu tidak tampak sama sekali tanda-tanda Nastya yang sombong, angkuh, dan menyebalkan. Yang terlihat adalah Nastya yang manis dan sangat manja kepada kakaknya.
Demikian juga dengan Elang. Ia tampak sangat lembut memperlakukan adik kesayangannya. Memang sudah seharusnya seperti itu, apalagi kini mereka hanya hidup berdua, mungkin bertiga dengan nenek mereka Aida yang kini sudah lupa jika mereka berdua merupakan cucu-cucunya yang ia rawat sejak lama.
Elang selalu berusaha menjadi kakak yang baik dan perhatian meskipun dengan caranyan sendiri.
Hanya kepada Nastya, ia biasa bercerita. Begitupun dengan Nastya, hanya kepada Elang ia bermanja-manja.
Elang adalah pria berusia sekitar tiga puluh depalan tahun. Ia masih setia dengan kesendiriannya selama ini. Ada sesuatu yang membuatnya seperti enggan untuk membina rumah tangga.
Elang adalah seorang pribadi yang tertutup. Pembawaannya datar, dingin, dan ia tidak suka berbasa-basi. Ada satu hal yang menjadi ciri khas dari dirinya. Seperti namanya, ia memikiki tatapan mata yang sangat tajam. Selayaknya burung elang yang gagah dan perkasa, ia mampu meluluhlantakan hati siapa saja yang menatapnya.
Beberapa tahun silam, ia pernah mencintai seorang gadis bernama Ivana. Gadis yang cantik dan sangat bersahaja. Gadis dengan wajah yang lugu dan teduh. Sejuk seperti embun.
Merekapun menjalin hubungan sangat lama, sampai hampir enam tahun. Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk menikah.
Adalah suatu kebahagiaan yang tiada terkira untuk Elang, ketika ia akan dapat memiliki gadis pujaannya. Namun, sayang takdir berkata lain. Ivana meninggal karena overdosis.
Sesuatu yang terdengar sangat lucu, karena Elang tidak pernah mengetahui jika wanita yang ia cintai, telah menjadi seorang pecandu obat-obatan terlarang hampir tiga tahun lamanya. Siapa sangka, jika pria seperti Elang akan dapat tertipu oleh wajah manis seorang gadis. Gadis yang bahkan sudah ia kenal sejak lama.
Marah dan terpukul. Semuanya menjadi satu. Berkecamuk dalam dadanya, dan menghasilkan sebuah perasaan sakit yang terlalu dalam. Elang merasa sangat bodoh. Ia merasa dikhianati oleh wanita pujaannya. Ia tidak percaya, jika wanita yang tampak lugu seperti Ivana, ternyata dapat terjerumus dalam kegelapan yang telah membuatnya meregang nyawa.
Sejak saat itu, Elang menjadi seseorang yang tidak banyak bicara. Ia menjadi seperti tidak berminat untuk menjalin hubungan serius lagi dengan wanita manapun. Ia akan lebih menyukai wanita dengan tatapan nakal, dibandingkan dengan wanita yang tampak lugu dan baik hati seperti Ivana.
Elang Adhitama Gunardi.
Elang adalah seorang pria yang sukses dengan bisnisnya. Adalah sebuah perusahaan manufacture yang bergerak dalam bidang pembuatan alat-alat peraga pendidikan.
Adhitama Scientific. Perusahaan itu telah berdiri sejak lama, karena perusahaan itu merupakan warisan dari almarhum sang ayah yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Elang pun berhasil membangun perusahaan peninggalan sang ayah menjadi jauh lebih berkembang meskipun di tengah persaingan pasar yang ketat.
Namun, sudah beberapa tahun ini Elang melebarkan sayap bisnisnya. Itu terbukti dengan berdirinya sebuah perusahaan property yang sudah ternama yaitu PT. Gunardi Raya Land Tbk.
Selain itu, Elang juga memiliki beberapa supermarket bahan bangunan yang telah tersebar di beberapa kota besar di negara ini. Lalu, apa lagi aset yang dimiliki seorang Elang?
Tentu saja, apa lagi jika bukan sebuah apartemen mewah dengan fasilitas yang serba wah seharga hampir empat puluh lima milyar. Apartemen yang jarang ia gunakan, dan hanya ia kunjungi sesekali saja.
Begitu juga dengan para penghuni garasi di istana megahnya. Ada lima buah mobil mewah di sana. Mobil dengan harga yang juga sangat fantastis, salah satunya adalah Roll Royce hitam, yang hanya akan ia gunakan untuk menghadiri acara-acara tertentu saja. Mobil itu, adalah mobil kesayangannya.
Empat buah mobil lainnya ialah sebuah Range Rovers putih, satu buah mobil double cabin, sebuah Jeep Hummer hitam, dan sebuah sedan merah yang biasa ia pinjamkan untuk adik tersayangnya, Nastya.
Hidup Elang, memang terasa sangat sempurna.
Kehidupan yang jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani Nathania dan keluarganya. Namun, apakah Elang bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya?
...🍀🍀🍀...
Ini adalah hari Sabtu. Besok Nathania akan menikmati hari liburnya. Seperti biasa, ia akan pulang ke rumahnya, dan menghabiskan waktu di dalam kamarnya yang lembab.
Sebenarnya, tak ada bedanya antara di rumah Elang dengan rumahnya. Ia tetap tidak menemukan kenyamanan di kedua tempat tersebut. Namun, saat di rumahnya ia dapat berbincang santai dengan sang kakak, Rahman.
Nathania, sudah bersiap dengan midi skirt floral dan cardigan rajutnya. Ia juga masih betah dengan rambut kepang sampingnya. Rambut panjang itu, tidak pernah ia biarkan tergerai begitu saja. Entah kenapa? Namun, ia jarang sekali menggerai rambutnya itu.
"Nek, hari ini aku akan pulang dulu. Aku kembali lagi Senin pagi. Nenek yang baik, ya! Jangan merepotkan pak Elang!" Pesan Nathania kepada nenek tua itu. Aida menatapnya dan mengangguk pelan. Ia seolah-olah mengerti dengan ucapan Nathania.
Nathania tersenyum. Setelah selesai dengan semua tugasnya, ia lalu meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar Aida. Nathania kini menuju ke ruang kerja Elang. Ia berniat untuk pamitan kepada si Tuan Besar.
Sesampainya di depan pintu berwarna cokelat tua itu, ia segera mengetuknya. Setelah itu, Nathania kemudian masuk.
Terdengar sebuah alunan lembut mengalun merdu di dalam ruang kerja dengan dinding berwarna merah itu. Sebuah lagu dari Bryan Adam, Please Forgive Me.
Elang sendiri saat tampak itu tengah berdiri di dekat jendela kaca ruang kerjanya. Dengan satu tangan di dalam saku celananya, ia menerawang ke luar. Entah apa yang tengah menjadi pusat perhatiannya saat itu? Wajahnya tampak sangat serius. Ya, memang seperti itulah raut wajah Elang. Selalu datar dan serius.
Menyadari keberadaan Nathania di sana, Elang kemudian menoleh. Ia menatap gadis manis itu untuk sejenak.
Nathania mengangguk pelan dan tertunduk. Ia tidak berani menatap pria yang ada di hadapannya. Pria itu terlalu kuat untuknya. Hingga Elang kini berada di hadapannya, Nathania masih saja tertunduk.
"Aku akan pulang dulu. Nenek sudah dimandikan dan sudah rapi," ucap Nathania masih dengan nada suaranya yang pelan dan sangat lembut.
Elang tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis sederhana yang ada di hadapannya.
Gadis dengan penampilan yang sangat alakadarnya dan jauh berbeda dengan penampilan sang adik, Nastya.
"Kamu boleh pulang sore ini. Tetapi, besok pagi kamu harus segera kembali!" ucap Elang dengan nada bicaranya yang tegas dan dalam. Suaranya terdengar begitu berat.
Mendengar hal itu, seketika Nathania mengangkat wajahnya. Ia menatap majikannya dengan sangat heran. Ia pun mengernyitkan keningnya tanda tak mengerti.
"Besok adalah jatah hari liburku, Pak!" Nathania melayangkan protes meski masih dengan nada bicaranya yang santun.
"Tidak lagi mulai hari ini," jawab Elang datar dan sangat sangat dingin.
"Tetapi ... aku ...." Nathania tertegun. Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya memerhatikan si Tuan Besar yang berlalu dari hadapannya. Elang menuju meja kerjanya, ia lalu duduk di singgasananya dengan sangat gagah.
"Kamu tidak perlu khawatir karena aku akan memasukannya kedalam lemburan," ucap Elang lagi masih dengan sikap yang sama seperti tadi.
Nathania tampak belum dapat menerima hal itu. Wajahnya cemberut seperti seorang gadis yang tengah merajuk kepada kekasihnya. Ia seperti ingin protes tapi tidak berani.
Elang sepertinya dapat melihat hal itu dengan jelas. Karenanya ia kembali berkata, "Tidak ada yang bisa mengurus nenek sebaik dirimu. Hampir setiap kamu pulang, semua yang ada di rumah ini sangat kewalahan menanganinya."
"Aku ingin dua kali lipat dari upah perhariku," Nathania mengajukan syarat dengan sangat berani. Ia kemudian terdiam dan berpikir. Betapa beraninya ia bicara seperti itu kepada si Tuan Besar.
Elang menatapnya tajam. Kedua bola mata itu sangat menakutkan, tatapan yang membuat Nathania terus terdiam dibuatnya. Gadis itu kembali tertunduk.
"Oke," jawab Elang singkat. Namun, itu membuat ketegangan dalam diri Nathania seketika buyar. Gadis itu pun tersenyum manis. Sementara Elang masih menatapnya dengan tajam.
"Aku akan kemari lagi besok pagi. Permisi," Nathania mengangguk dengan sopan. Ia lalu melangkah ke arah pintu. Meninggalkan ruangan itu dengan alunan musiknya yang masih belum usai.
"Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak memiliki hari libur!" Nathania bergumam dalam hatinya.
Ia terus melangkah dengan kepalanya yang selalu tertunduk. Sayup-sayup terdengar suara Nastya tengah berbincang dengan seseorang. Seorang pria yang selalu datang menemuinya. Dean, kekasihnya.
Nathania memilih untuk tidak memedulikan mereka berdua. Ia hanya lewat begitu saja. Ia sudah terlalu malas untuk meladeni ulah macam-macam dari Nastya.
Lagi pula, saat itu Nastya pun tidak mengganggunya. Aneh memang. Mungkin karena ia sedang bersama pria itu, sehingga ia harus menjaga citra dirinya agar terlihat lebih baik di mata sang kekasih.
Sementara Nathania terus berjalan menyusuri trotoar jalanan yang ramai sore itu. Kakinya terasa begitu berat untuk ia langkahkan, sama halnya dengan kisah hidup yang tengah ia jalani saat ini.
Seperti biasa, Nathania duduk di halte bus itu sendirian. Menunggu bus yang akan membawanya pulang. Lelah ia rasakan. Namun, apalah dayanya karena tuntutan hidup tidak pernah bersedia menunggunya untuk beristirahat walaupun hanya sejenak saja.
Ingin rasanya ia sebentar saja untuk dapat memejamkan matanya, tanpa harus memikirkan segala hal yang membebani pikirannya.
Ingin rasanya ia terbangun di pagi hari, dengan wajah ceria tanpa harus teringat pada segudang pekerjaan berat dan melelahkan, yang harus ia lakoni sepanjang harinya. Nathania terus terhanyut dalam pikirannya. Hingga ia kini kembali berada di dalam kamarnya yang lembab. Sendirian.
Sayup-sayup terdengar suara Mely, kakak iparnya. Seperti biasa, wanita itu selalu melewati hari-harinya dengan omelan pedas untuk semua orang.
Nathania tidak pernah habis pikir. Bagaimana bisa Rahman menikahi wanita seperti itu? Rahman adalah pria yang sangat baik. Ia seharusnya mendapatkan seorang istri yang jauh lebih baik dari Mely. Akan tetapi, Rahman sepertinya sangat mencintai Mely. Ia tidak pernah ambil pusing dengan sifat cerewet istrinya.
Niat hati ingin tidur dan beristirahat, sepertinya tidak akan dapat terlaksana. Suasana rumah sangat berisik saat itu. Mely tak henti-hentinya berkotek seperti seekor ayam betina yang akan bertelur. Suaranya sangat mengganggu dan memekakan telinga.
Nathania kemudian bangkit dari ranjangnya. Ia pun meraih handuk berwana merah jambu. Ia berniat untuk pergi ke kamar mandi dan membasuh mukanya. Mungkin dengan begitu, ia akan merasa jauh lebih segar.
Namun, lagi-lagi ia harus mengurungkan niatnya. Seseorang datang dan memanggil namanya. Seorang pria yang sudah beberapa hari ini tidak ia temui.
Wangsa. Dia adalah kekasih Nathania. Pria itu tersenyum manis kepada Nathania, ketika gadis itu menghampirinya.
"Akhirnya kamu ada di rumah," ucapnya dengan wajah ceria. Bagaimana tidak? Ia sudah menahan rindu tidak bertemu dengan gadis itu selama hampir dua minggu. Waktu yang terasa sangat panjang untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.
Semenjak Nathania bekerja di kediaman Elang, mereka menjadi jarang bertemu. Nathania menginap di sana dari hari Senin hingga Jum'at. Hari Sabtu sore ia baru bisa pulang ke rumah. Kemudian akan kembali ke tempat Elang pada hari Senin pagi. Hari Minggu merupakan hari kosong. Namun, terkadang Wangsa pun sibuk dengan acaranya sendiri.
Nathania tersenyum manis melihat pria itu. Setidaknya ia adalah hiburan dan obat untuk semua rasa penatnya kali ini.
"Apa kabar?" sapa Nathania hangat. Senyuman manisnya tak jua ia lepaskan dari wajahnya yang teduh.
Wangsa menatapnya dengan mata berbinar. "Kabarku sangat baik, apalagi setelah bertemu denganmu," jawabnya. Ia pun tampak sangat bersemangat.
Wangsa adalah pria berusia dua puluh delapan tahun. Ia seorang wiraswasta. Ia juga pria yang baik dan siap menikah.
Sudah sejak satu tahun yang lalu, ia mengutarakan niatnya untuk dapat meminang Nathania. Namun, Nathania merasa belum siap. Ia masih harus membantu Rahman.
Hubungan cinta mereka berdua pun sudah terjalin sejak lama. Sudah hampir tiga tahun lamanya, ia setia menjadi teman berbagi untuk Nathania, dan ia sangat mencintai gadis manis itu.
"Bagaimana kalau kita keluar? Sudah lama kita tidak malam mingguan," ajaknya.
Nathania tersenyum simpul. Sebenarnya ia merasa sangat lelah, lagi pula besok pagi ia sudah harus kembali ke kediaman Elang untuk lembur.
Akan tetapi, Nathania pun tidak tega jika menolak ajakan kekasihnya. Lagi pula, ia juga memang merasakan rindu yang luar biasa kepada pria berkacamata itu.
"Mau ke mana?" tanya Nathania.
"Ada tempat makan yang baru di dekat alun-alun. Menurut teman-temanku, tempatnya bagus dan makanannya juga enak. Bagaimana jika kita ke sana?" ajak Wangsa penuh harap.
Nathania terdiam sejenak. Ia memikirkan jawaban untuk Wangsa. "Aku harus meminta izin dulu kepada kakaku," jawabnya. Wangsa mengangguk pelan.
"Ya, sudah. Maaf, ya kamu tunggu diluar dulu!" ucap Nathania seraya tersenyum manis.
Wangsa balas tersenyum. "Jangan lama-lama!" jawabnya.
Nathania mengangguk. Ia tersenyum lembut dan seraya kembali ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!