Setelah mendapat izin untuk pergi dari sang kakak, Rahman. Nathania pun akhirnya keluar dengan Wangsa.
Mereka berdua berboncengan dengan menggunakan motor vespa pria itu. Nathania pun tampak sangat senang petang itu.
Wajahnya berseri-seri. Senyumnya pun tak juga lepas dari bibir merah mudanya. Yang pasti, ia terlihat sangat bahagia saat itu.
Sesekali Wangsa mengelus lembut punggung tangan kekasihnya yang melingkar mesra di perutnya. Ia benar-benar merindukan gadis manis dengan mata bening dan senyum lembut itu. Alasannya sudah jelas, karena mereka jarang sekali bertemu.
Wangsa yang sibuk dengan pekerjaannya, dan Nathania yang memang saat ini lebih sering menginap di kediaman Elang.
Terus menyusuri jalanan dengan vespanya, Wangsa tak henti-hentinya mengajak Nathania bercanda, hingga gadis itu berkali-kali tertawa riang. Hal yang jarang sekali gadis itu lakukan, saat ada di rumahnya ataupun di kediaman mewah milik Elang. Kedua tempat itu, sesungguhnya tidak memberi rasa nyaman kepada Nathania.
Jika ada tempat lain untuk Nathania tuju, maka ia pasti akan lebih memilih tempat yang lain itu.
Wangsa benar-benar pria yang baik dan selalu membuat Nathania bahagia. Meskipun tak jarang ada percikan kecil dalam hubungan mereka, namun itu hanyalah sebuah masalah percintaan yang tidak berarti, dan dapat segera diselesaikan dengan baik. Hubungan mereka pun berjalan kembali seperti biasa, meskipun keseringannya hanya lewat media sosial saja.
Kurangnya komunikasilah yang kerapkali menjadikan kesalahfahaman diantara mereka berdua. Namun, karena Wangsa sudah cukup dewasa, maka ia bisa mengimbangi sikap manja dari Natahania, kekasihnya.
Ya, bagaimanapun juga Nathania adalah seorang gadis muda. Seberapapun dewasanya ia, Nathania tetaplah gadis 21 tahun yang terkadang masih suka bersikap manja dan kekanak-kanakan. Apalagi karena memang Wangsa senang memanjakan gadis itu. Nathania memang gadis kesayangannya.
Wangsa sangat mengagumi gadis itu. Ia menyukai Nathania yang polos, dan berwajah teduh. Ia juga merasa bangga, karena dirinya adalah pacar pertama Nathania. Dengan kata lain, Nathania masih suci dan belum terjamah siapapun.
Beberapa saat diperjalanan, merekapun sampai di tempat yang dituju.
Wangsa akhirnya memarkirkan vespanya di depan sebuah kedai yang ia maksud tadi.
Pengunjungnya memang sangat ramai. Namun, untungnya mereka masih mendapatkan meja untuk duduk.
Nathania pun melihat sekeliling ruangan kedai itu. Suasananya memang cukup nyaman. Gaya interiornya yang memang terlihat ditujukan khusus untuk para kawula muda.
Nathania pun merasa sangat senang, karena Wangsa kerapkali mengajaknya untuk pergi keluar. Pria itu selalu membuatnya tertawa. Itu semua pastinya dapat menghilangkan rasa suntuknya setelah bekerja dalam seminggu penuh.
Wangsa pun mulai membuka buku menu yang ada di atas meja. Ia pun memilih makanan kesukaannya.
Sementara Nathania, gadis manis itu masih sibuk membuka-buka tiap lembaran buku menu itu. Wajahnya tampak kebingungan. Ia hanya membolak-balikan buku menu itu.
"Mau makan apa?" tanya Wangsa yang dari tadi mulai bosan dengan apa yang dilakukan Nathania.
Gadis itupun menoleh. Ia hanya tersenyum.
"Terserah kamu saja. Aku bingung mau makan apa," jawab Nathania dengan entengnya.
Wangsa pun mengeluh pelan. Ia hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan kekasihnya itu. "Kalau tahu seperti itu, sudah dari tadi aku pesan makanan. Tidak perlu menunggumu," ucap Wangsa dengan wajah sedikit jengkel.
Nathania pun tertawa pelan. Ia senang saat melihat pria berkulit putih itu kesal padanya.
Wangsa pun memanggil pramusaji disana dan memesan makanan yang ia pilih.
"Bagaimana pekerjaan barumu itu?" Tanya Wangsa seraya menatap lembut kekasihnya.
"Aku mencoba untuk menikmatinya. Sangat melelahkan, tapi aku suka, karena gajinya lumayan," jawab Nathania diakhiri tawa pelan. Ia terlihat sangat polos dengan kata-katanya.
"Ya, yang namanya bekerja pasti sangat melelahkan. Kenapa kamu tidak bekerja di tempatku saja? Aku bisa memberimu posisi yang jauh lebih enak," ucap Wangsa. Ia tidak melepaskan tatapannya dari gadis kesayangannya itu.
"Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak suka cara seperti itu," tolak Nathania dengan tegas.
Wangsa pun tersenyum. Ia tahu, kekasihnya itu pasti akan berkata demikian. Ia sudah sangat mengenal karakter Nathania dengan baik. Gadis itu adalah gadis keras kepala dengan tekad yang kuat. Ia adalah gadis yang selalu ingin mandiri dan tidak ingin merepotkan siapapun, apalagi memanfaatkan situasi dan kondisi.
Padahal jika Nathania mau, ia bisa saja bekerja di tempat Wangsa. Seperti yang sudah diketahui, Wangsa merupakan pemilik dari sebuah rumah konveksi yang sudah cukup besar, dengan brand yang mulai dipertimbangkan dikalangan pecinta fashion. Disana biasa memproduksi pakaian dan perlengkapan khusus pria. Ada jaket, celana jeans, topi, dan lain-lain.
Ia juga sudah memiliki karyawan lebih dari 30 orang untuk bidang produksi. Belum lagi termasuk staf kantor yang biasa mengurusi keuangan dan administrasi.
Wangsa pun kerap kali memberikan Rahman sebuah jaket atau celana jeans. Hal itu ia maksudkan sebagai sogokan, agar calon kakak iparnya itu memberinya izin untuk sekedar mengajak Nathania kencan. Nathania pun hanya geleng-geleng kepala jika Wangsa sudah melakukan hal seperti itu kepada kakaknya.
Wangsa sudah seringkali mengajak Nathania untuk bergabung disana, di rumah konveksinya. Namun, Nathania sepertinya tidak berminat. Bukan karena apa-apa, ia hanya tidak ingin dianggap mengambil kesempatan dari hubungannya dengan Wangsa.
Dua porsi steak lada hitam tersaji dihadapan mereka. Ditemani dengan segelas jus alpukat kesukaan Nathania, dan segelas jus mangga pesanan Wangsa.
"Aku sangat merindukanmu. Berapa lama kita tidak bertemu?" Wangsa menyempatkan untuk menatap lekat wajah manis kekasihnya.
"Entahlah, aku tidak menghitungnya," jawab Natahania membalas tatapan Wangsa. Gadis itu sibuk mengaduk-aduk minumannya.
Wangsa pun memotong daging berwarna cokelat kemerahan itu. "Jadi, kapan kamu akan merasa siap untuk kulamar?" Tanyanya seraya memasukan potongan daging itu ke dalam mulutnya.
Mendengar pertanyaan itu, Nathania tertegun. Ia memainkan garpu yang berada ditangan kirinya. "Nanti, aku pasti akan memberimu jawaban pada waktunya," jawabnya. Ia kembali pada makanannya.
"Aku sudah tidak sabar untuk mengikrarkan hubungan kita dengan lebih serius. Apalagi yang kamu tunggu? Jika kamu mengkhawatirkan keluargamu, maka kamu tidak perlu mencemaskan hal itu. Aku janji tidak akan membatasimu sedikitpun. Dan aku pasti akan selalu membantu menopang semua kebutuhan kekuargamu," tutur Wangsa disela suapannya.
Mendengar hal itu, Nathania kembali tertegun. Ia tidak suka membahas masalah seperti itu.
"Aku tahu jika niatmu sangat baik padaku dan keluargaku. Tapi, untuk saat ini aku belum siap untuk menikah. Aku ingin melanjutkan kuliahku, dan aku tidak ingin menggantungkan hidupku pada siapapun, termasuk padamu," jelas Nathania pelan. Ia tidak ingin meninggalkan rasa balas budi kepada siapapun, termasuk Wangsa. Karena ia merasa akan terpenjara dalam rasa seperti itu.
"Kenapa kamu selalu berfikir seperti itu? Aku membantumu dengan tulus. Aku tidak akan meminta sesuatu sebagai timbal balik. Aku mencintaimu dan aku sudah menganggapmu sebagai belahan dari jiwaku. Namun, kamu sepertinya masih menjaga jarak denganku. Kenapa kamu selalu menolak setiap pertolongan yang akan kuberikan padamu?" Wangsa tidak pernah bisa menebak apa yang ada dalam fikiran Nathania, meskipun ia telah mengenal gadis itu dengan cukup lama.
"Bukannya begitu, Wangsa. Aku hanya tidak ingin dianggap mengambil kesempatan dari hubungan kita. Aku tidak ingin merepotkanmu. Selama aku bisa mencarinya sendiri, maka aku akan mendapatkannya tanpa meminta bantuan kepada siapapun. Termasuk padamu," Nathania mencoba menjelaskan kepada Wangsa. Ia juga tidak ingin pria itu sampai salah faham padanya.
Wangsa terdiam. Ia meneguk jus mangga pesanannya tadi.
Sulit baginya untuk meluluhkan pemikiran keras Nathania. Gadis itu benar-benar bertekad baja.
"Terserah kamu. Tapi yang pasti, tanganku selalu terbuka untukmu. Kapanpun kamu membutuhkan bantuanku, aku akan selalu siap membantumu," ucap Wangsa yakin. Ia tersenyum manis kepada gadis itu.
Nathania menatapnya Ia pun menyunggingkan senyuman manisnya dan melanjutkan makannya.
"Aku tahu, kamu pria yang sangat pengertian," ucapnya dengan gaya manjanya.
"Sedangkan kamu gadis yang sangat keras kepala" gerutu Wangsa jengkel.
Nathania tertawa pelan. Ia suka jika sudah membuat Wangsa jengkel seperti itu.
Hingga menjelang malam, mereka pun memutuskan untuk pulang. Kembali menyusuri jalanan kota dengan penuh tawa riang.
Sejenak, Nathania lupa akan beban hidup yang terus menghimpitnya. Sesaat, ia lupa akan semua rasa sakit yang diarasakannya. Ia terus meyakinkan dirinya, jika Wangsa adalah pria yang tepat untuknya. Wangsa adalah pria yang akan membawanya dalam kehidupan baru, yang jauh lebih baik dan indah.
Kapan? Ia pun tidak tahu kapan tepatnya. Namun yang pasti, ia berharap jika ia bisa berakhir dalam pelukan pria baik hati itu.
Wangsa memang pria yang baik. Ia sangat menjaga apa yang menjadi privasi bagi Nathania.
Sudah seringkali ia melayangkan lamaran untuk gadis itu. Nathania hanya perlu berkata "iya". Namun, pertimbangan yang terlalu banyak membuat kepala gadis itu sedikit pusing. Apalagi jika sudah menyangkut dengan masalah kuliah yang ia mimpikan selama ini.
"Jika kamu memang sudah yakin dengan Wangsa, kenapa tidak setuju saja?" Ucap Rahman malam itu. Ia mencicipi roti bakar yang dibawakan Nathania untuknya. Begitu juga dengan kedua putranya yang sangat antusias dengan makanan itu.
Sementara Mely, ia masih dengan wajahnya yang tidak bersahabat.
"Aku ingin melanjutkan kuliahku dulu, Kak. Baru setelah itu memikirkan pernikahan," jawab Nathania. Ia memang belum sedikitpun terfikir untuk menikah. Usianya masih terbilang muda. Dan ia ingin menikmati masa-masa lajangnya dengan berbagai pengalaman yang akan membuatnya bisa jauh lebih dewasa. Pengalaman dalam artian yang positif tentunya. Salah satunya adalah meneruskan pendidikan dan bekerja. Bekerja formal tentunya.
Sebuah pekerjaan yang tidak dipandang sebelah mata oleh semua orang. Pekerjaan yang dapat mengangkat harga dirinya dan keluarganya.
"Jangan bodoh kamu! Sudah baik ada pria yang mau bertanggung jawab atas hidupmu. Lagipula kita semua tahu siapa Wangsa. Usahanya kini sedang naik daun," Mely menimpali dengan nada ketusnya.
Gaya biacaranya memang sejalan dengan raut mukanya. Dan Nathania sudah tidak harus sakit hati lagi dengan sikapnya itu. Ia sudah sangat terbiasa dengan sikap Mely yang seperti itu.
"Iya, Kak. Tapi, aku merasa belum siap," bantah Nathania. Ia tetap pada pendiriannya.
Mendengar jawaban Nathania, Mely pun tampak jengkel. Ia berkali-kali mendengus kesal.
"Lihat, Mas! Tidak ada gadis paling bodoh di dunia ini selain adik kesayanganmu itu. Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan berfikir dua kali untuk menerima pinangan Wangsa. Dia pria yang tampan, penghasilnnya besar, dan usahanyapun kini sangat maju. Sementara kamu, malah sibuk memikirkan kuliah. Setinggi apapun kamu sekolah, pada akhirnya kamu akan tetap hamil dan membersihakn kamar mandi juga. Jadi untuk apa kamu pusing-pusing memikirkan kuliah?" Ucap Mely dengan wajah judesnya.
Rahman menatap tajam istrinya. Meskipun ia tahu dengan watak Mely, namun ucapannya terkadang sangat keterlaluan. Wanita itu seperti tidak memiliki saringan dalam mulutnya. Karenanya, apa yang ia ucapkan selalu meluncur tanpa ada filter terlebih dahulu. Ia berbicara selayaknya orang buang air besar. Keluar, dan tak peduli dengan apa yang ia keluarkan.
"Mely, kamu sedang hamil. Sebentar lagi kamu akan melahirkan. Kenapa kamu tidak bersikap manis walau hanya sekali saja?" Rahman mengingatkan istrinya ketika mereka tengah bersiap untuk tidur.
Mely tidak mempedulikan kata-kata Rahman. Ia membalikan badannya dan membelakangi suaminya. Ia tampak sangat kesal dan selalu marah-marah.
"Aku kemarin habis periksa dari bidan. Dia menyarankanku untuk USG. Sepertinya ada yang tidak beres dengan kehamilanku kali ini," keluh Mely.
Rahman menarik nafas panjang. Ia tahu periksa ke dokter tarifnya pasti jauh lebih mahal daripada periksa ke bidan. Namun, jika memang harus seperti itu, maka ia harus segera mencari uang untuk biaya periksa istrinya.
"Ya, sudah. Nanti kalau aku dapat uang, kamu pergi saja periksa ke dokter. Kamu tidak perlu terlalu banyak fikiran. Dan kurangi sifat pemarahmu. Tidak baik seorang ibu hamil bersikap seperti itu," jawab Rahman.
Ia selalu mencoba menasihati Mely dengan lembut. Ia tidak ingin melawan keras hati istrinya itu, dengan sikap yang keras pula.
Rahman hanya berharap agar Mely mau segera berubah, apalagi ia akan segera melahirkan. Dan ia berharap Mely dapat bersikap lebih baik kepada Nathania, gadis yang sudah sangat membantu kehidupan mereka. Meski tanpa sepengetahuan istrinya itu.
Terkadang, ia ingin sekali mengatakan jika Nathania lah yang telah membantunya dalam menopang kehidupan keluarga mereka. Namun, gadis itu selalu melarangnya.
Rahman hanya ingin agar Mely dapat bersikap jauh lebih baik kepada adiknya itu, dan tidak menganggapnya sebagai benalu. Kerena kenyataannya, Nathania sangat berjasa bagi keluarganya.
Namun, Rahman selalu memiliki keyakinan jika suatu hari nanti Mely pasti
akan menyadari semua kesalahannya itu. Ia pasti akan dapat menerima Nathania dengan baik. Termasuk menghilangkan rasa cemburu yang masih selalu ia tunjukan tiap kali melihat kedekatan antara dirinya dan Nathania.
Entah apa yang ada dalam fikiran wanita itu? Padahal sudah jelas jika Nathania adalah anak dari paman Rahman sendiri. Tetapi itulah Mely, ia memang wanita yang unik dan juga menyebalkan.
Tetapi, Rahman sangat mencintai wanita menyebalkan itu.
Ini yach ceuceu author kasih visual Nathania
( Tania ). Sesuai atau tidak, tapi ceuceu ngefans sama dia 😍😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
sangat manis thour, 😘😘😘😘
2022-06-22
0
Hanifa Handayani
aku juga suka visualnya ceu..manis☺️
2021-11-20
1
Restviani
eit dah kak mely...
lanjut...
2021-08-11
0