CINTA Plus Minus

CINTA Plus Minus

Kita diantara sejuta mimpi

Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam kelas, ada sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang kutemui di kelasku pagi ini. Seorang wanita asing sedang duduk di meja guru, entah menunggu siapa.

Aku menyimpan ranselku di meja. Seperti biasa aku meraih sebuah buku yang George pinjamkan dari dalam laci meja ku. Kami sengaja meninggalkan beberapa buku di sekolah agar mengurangi beban dalam tasku, mengingat kadang aku pulang sekolah dengan berjalan kaki.

plak, secara tiba-tiba sekumpulan foto tercampak diatas meja ku.

"Saya tidak butuh penjelasan kamu. Tapi tolong jauhi anak saya." Ucap wanita asing yang duduk di meja guru tadi. Kini dia telah berdiri tepat di sisi mejaku.

"Kamu simpan foto-foto busuk itu, dan jangan berani-beraninya kamu memberitahu George masalah ini. Awas aja kalau sampai anak saya tahu." ancam nya lagi, kemudian dengan terburu-buru wanita itu berlalu.

Aku yang masih shock dengan kejadian barusan langsung meraih foto-foto yang kini berhamburan di lantai dan meja belajarku. Dengan terburu-buru kusimpan semua foto itu di dalam tas sekolah. Satu persatu teman sekelas ku berdatangan. Tentu saja, tidak seorangpun tahu kejadian yang menimpaku. Termasuk George.

"Pagi Cin." sapa George yang tiba-tiba masuk kedalam kelas.

"Pagi juga." balasku.

"Nanti jadikan?" tanyanya kemudian. Kami berjanji untuk mengunjungi sebuah perpustakaan daerah di kotaku siang ini.

"Kayaknya gua gak bisa deh George. Next time aja ya?" aku mencoba membatalkan rencana kami.

"gua? George? kesambet apa kamu pagi-pagi begini?" protesnya dengan sapaan aku kamu yang tiba-tiba ku ubah ditambah lagi namanya yang kusebut George bukan Geo seperti biasa aku memanggilnya.

"gpp. ngantuk." jawabku singkat sambil menelungkupkan kepalaku di atas meja.

"Yaudah kamu tidur. Aku ikut anak-anak ya." pamitnya.

Kugoyangkan kepalaku tanda setuju.

"Kalau ada apa-apa cerita samaku Cin, jangan disimpan sendiri." ucap George sebelum akhirnya pergi bersama teman yang lain.

Aku mengabaikannya. Kejadian pagi ini cukup membuatku terkejut dan bingung tentang apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin menyakiti Geo, aku juga tidak ingin melawan ibu nya. Kepalaku terasa sakit. akhirnya aku benar-benar tertidur.

\*\*\*

"Bu, ibu yakin nggak ada masalah serius dengan Cyntia?"

"Dia hanya kelelahan George, kamu tenang aja."

Samar-samar aku mendengar percakapan di kejauhan. Perlahan-lahan kelopak mataku saling berpisah, menyisakan cahaya silau yang masuk kedalam retinaku. Aku bingung menyadari posisiku yang kini tergelatak di sebuah ranjang di ruangan yang bercat putih ini.

"Aduh.." aku meringis karena rasa sakit di kepalaku yang terasa menusuk saat aku mencoba untuk duduk di ranjang.

"Kamu udah bangun cin?" tanya George yang tiba-tiba berlari mendekati ku.

"Gue kenapa?" tanyaku bingung menyadari bahwa kini aku sedang di UKS.

"Kamu tadi katanya nggak ada apa-apa. tiba-tiba udah pingsan aja dikelas. untung dompetku ketinggalan." oceh George.

"Kayaknya gue istirahat dirumah aja. Bu, Cintya pulang aja ya Bu?" tanyaku pada guru piket di UKS.

"iya Cin, kamu istirahat yang banyak ya." jawab beliau.

"makasih Bu." jawabku sambil beranjak dari tempat tidur dan berjalan meninggalkan ruangan UKS.

"Cin..Cin..Cintya. tungguin aku." seru George yang kutinggalkan di UKS. Pria itu kini berlari menyusulku yang hanya terus berjalan tanpa menghiraukannya.

"Ya Tuhan, semoga Cyntia cepat sembuh. Biar dia nggak nyuekin aku lagi." Ucap George lebay.

Aku masih membisu. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya aku tiba di kelas. Kukeluarkan semua buku George dari dalam laci mejaku. Dan pria itu masih saja mengekor dibelakangku.

"Ini buku loe. Makasih ya." ucapku sambil mengembalikan buku-buku itu kepadanya.

"Loh, kamu nggak baca lagi?" tanyanya curiga.

"Udah selesai." jawabku singkat sambil membawa ranselku dan berjalan meninggalkan kelas.

"Cin.. tunggu Cin." panggilnya sambil melangkah buru-buru, mengejarku.

"Pulang sama aku aja ya Cin." sarannya.

"Enggak usah George, gue bisa sendiri. Loe balik kekelas aja sono."

"Enggak. Aku mau nganter kamu, bentar aku telepon supir ku dulu." protesnya.

"Jangan George. Gue bisa naik angkot." ujarku menolak tawarannya.

"Yaudah, aku gak jadi telepon supir. Kamu naik angkot, tapi aku temenin ya." pintanya

"Gue bukan anak kecil, gue bisa sendiri. Loe balik ke kelas aja." ucapku mulai marah.

"Enggak. Kamu galak begini karena kamu lagi sakit. Aku tau kamu nggak bermaksud ngejauhin aku."

"loe yang balik ke kelas, atau gue?" ancamku kemudian.

"Iya iya. Aku balik ke kelas. tapi tunggu kamu naik angkot dulu." jawabnya mengalah.

Setelah lima menit menunggu akhirnya angkot yang melintas dari area tempat tinggal ku muncul. Setelah angkot berhenti aku masuk dan duduk. Namun berapa terkejutnya aku, saat menyadari ternyata George juga ikut masuk kedalam angkot.

"Loe mau kemana?" tanyaku.

"Ya nemanin kamu pulanglah." jawabnya jujur.

Aku kehabisan kata-kata, tidak ingin berdebat lebih jauh akhirnya kupilih untuk bungkam seribu bahasa. Aku tiba dirumah ketika rumah benar-benar sepi.

"Udah nganter nya sampai sini aja. Pamali masuk rumah berdua-duaan." ujarku mencari alasan.

"Iya deh iya. Kamu langsung istirahat ya. Sana masuk." pintanya.

Tanpa menunggu lama aku melangkahkan kakiku memasuki area pekarangan tempat tinggalku, kemudian kubuka pintu dan masuk kedalamnya. Saat tiba dirumah diam-diam aku mengintip George yang masih menunggu angkot sampai beberapa menit kemudian.

"Maaf ya George." bisikku pelan. Tidak terasa airmata kini sudah membasahi pipiku. Kulangkahkan kaki kekamarku. Diatas ranjang kubuka kembali semua foto yang kudapatkan pagi ini. Disana ada wajahku dan George yang sedang tertawa ceria. Foto-foto itu diambil di area sekolah, aku curiga bahwa biang kerok kejadian ini adalah salah satu fans fanatik George.

Merasa lelah karena menangis kusimpan foto-foto itu ditempat yang aman. Kemudian kurebahkan tubuhku untuk kembali beristirahat.

\*\*\*

Sudah tiga hari aku tidak masuk sekolah karena sakit. Tiga hari juga George datang menjenguk kerumah namun tidak pernah kubukakan pintu. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tahu, menghindar adalah sebuah sikap pengecut. Tapi remaja sepertiku, punya kekuatan apa untuk melawan orang tua George?

Akhirnya hari ini aku kembali kesekolah. Dan seperti biasa aku orang pertama yang tiba di kelas. Dan betapa terkejutnya aku, menyadari wanita asing itu kini telah muncul dikelasku. Siapa lagi kalau bukan Ibu dari Geogre. Dengan ragu aku melangkah masuk kedalam kelas.

"Apa kamu tuli?" bentak wanita itu.

"Maaf tante, saya tidak tuli." jawabku.

"Saya sudah peringatkan kamu untuk tidak mengganggu anak saya. Tapi apa-apaan kamu? malah berpura-pura lemah untuk merebut perhatiannya." dia benar-benar meluapkan kemarahannya padaku.

"Tante, saya nggak ada mengganggu anak tante." protesku.

"Tidak ada katamu? Lalu kemana kamu bawa dia dengan angkot busuk itu? Ha? Kamu memang memberi pengaruh buruk pada anakku. Gara-gara kamu, dia membolos, bermain musik, dan apa lagi?" marah wanita itu.

"Tante, saya tidak pernah mempengaruhi dia. Tolong jaga ucapan tante." pintaku.

"Hei, berani kamu ya ngomong sama saya? Kamu, jangan harap bisa merusak masa depan anak saya. Dia itu calon kebanggan keluarga. Bukan seperti kamu, yang tidak jelas arah hidupnya." jelas wanita itu panjang lebar.

"Cukup tante. Anda tidak tahu masa depan saya, jadi jangan sembarangan menghakimi." pintaku. Bulir hangat itu kini membasahi pipiku.

"Berani melawan kamu?" bisiknya penuh amarah sambil mencengkram daguku kencang.

"MAMA!!" seru George yang tiba-tiba muncul dipintu.

"George.." batinku.

"Arrrh..." tiba-tiba wanita itu terduduk di lantai, seolah aku mendorongnya.

"Mama ada apa ini?" tanya George berlari kearah ibunya.

"Mama hanya ingin melihat-lihat kelas kamu. Tiba-tiba perempuan ini marah-marah pada mama. Dia menuduh mama sudah jahat sama kamu sayang, karena mama nyuruh kamu jadi dokter. Dan tiba-tiba dia mendorong mama sampai mama jatuh." dusta wanita itu.

"Cih, tidak kuduga seorang terpelajar seperti anda ternyata ratu drama." ucapku sinis.

"Cintya, cukup!! Kita emang teman, tapi bukan berarti kamu berhak bicara sembarangan pada mamaku." ujar George marah.

"Aku mengatakan kebenaranya." ucapku penuh emosi sambil berlalu kemeja belajarku.

Puluhan mata kini menyaksikan ketegangan yang terjadi antara aku dan George. Mata-mata yang tidak menyaksikan kebenaran yang sesungguhnya. Mata yang hanya menonton sekilas akhir cerita, namun akhirnya sukses melahirkan lidah berbisa yang menghakimi aku. Bahwa aku adalah anak tidak tahu malu, yang memaki-maki ibu dari temanku sendiri. Sejak hari itu, George berhenti berbicara denganku. Sementara aku tidak sedikitpun berniat untuk membela diri.

-Kembali ke hari ini-

Terpopuler

Comments

Ika Aprianti SSC🌹

Ika Aprianti SSC🌹

knp... apa krn Cintya orang yg gk berharta banyak???

2020-09-01

1

🦃fira yuniar wekwek🦃

🦃fira yuniar wekwek🦃

ihhh jdi ilfill q ma geo gitu amat

2020-08-22

1

Priska Anita

Priska Anita

Hadir selalu thor 💜

2020-07-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!