Harapan

Puluhan mata kini menyaksikan ketegangan yang terjadi antara aku dan George. Mata-mata yang tidak menyaksikan kebenaran yang sesungguhnya. Mata yang hanya menonton sekilas akhir cerita, namun akhirnya sukses melahirkan lidah berbisa yang menghakimi aku. Bahwa aku adalah anak tidak tahu malu, yang memaki-maki ibu dari temanku sendiri. Sejak hari itu, George berhenti berbicara denganku. Sementara aku tidak sedikitpun berniat untuk membela diri.

-Kembali ke hari ini-

Aku mengabaikan suara siswa yang mulai ramai memasuki ruangan kelas ku. Awalnya tadi hanya ada aku, Noni disusul oleh George. Kini kelas sudah ramai. Beberapa siswi bergosip ria seperti biasanya, sedang sekelompok lain sedang sibuk menyalin tugas.

Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Semua kembali ke meja masing-masing. Namun kelas masih riuh karena desas desis anak-anak yang masih sibuk bercerita.

"Cintya, kamu kan piket hari ini kok sampahnya masih dikelas?" Tanya Nico sang komisaris kelas tiba-tiba.

"Gue juga piket kok Nic, sorry tadi keadilan ngobrol jadi lupa." jawab George sambil beranjak dari posisi duduknya dan meraih keranjang sampah.

Kelas seketika menjadi hening, seolah hujan es batu sedang terjadi di sini. Aku yang tadi berniat membuang sampah pun mengurungkan niat dan memutuskan untuk kembali duduk.

"Yah, namanya juga sampah Nic. Mana mungkin dia sanggup buang keluarga sendiri." sindir Lydia sang ratu gosip sekolah.

Tiba-tiba kelas kembali riuh. Mereka kembali asik bernostalgia tentang kejadian yang terjadi antara aku, George dan ibunya tahun lalu.

"Gue heran aja, kenapa sampahnya masih stay di kelas ini." ujar seseorang kemudian. Dan seisi kelas pun tertawa riuh.

"Ramai sekali kelas kalian." Bapak Rudi sang wali kelas tiba-tiba muncul dari pintu.

"Selamat pagi pak." sontak seisi kelas menyapa.

"Dimana George?" tanya pak Rudi.

"Lagi buang teman-temannya Cintya Pak." ledek Lydia.

"Apa maksud kamu Lydia?" tanya pak Rudi serius.

"Nggak ada maksud apa-apa kok pak." jawab Lydia.

tok..tok..tok.. "Permisi Pak." ujar George yang kini berdiri di pintu sambil membawa keranjang sampah yang sudah kosong.

"Iya silahkan masuk." ujar Pak Rudi.

George melangkah kembali ke tempat duduknya.

"George, jam istirahat nanti temui saya dikantor guru." Minta pak Rudi.

"Siap pak." Sahut pria itu.

Sepanjang pelajaran pak Rudi pikiranku memutar kembali semua kenangan setelah pertengkaran antara aku dan ibunya George.

Seisi sekolah meledekku, dan bersikap seolah akulah yang salah. Bibir-bibir itu terus berkomentar tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya. Akhirnya kebenaran bagi mereka adalah desas desus yang mereka buat sendiri. Kalimat-kalimat bahwa aku menyerang ibu George. Satu hal yang membuatku heran adalah, sekolah tidak mengeluarkanku saat itu. Sementara George, dia sama saja dengan yang lainnya. Mereka memilih percaya pada apa yang mereka inginkan saja.

Bel istirahat kini berbunyi. Pak Rudi meninggalkan kelas bersama dengan George.

"Kantin nggak Cin?" tanya Noni padaku.

"Enggak ah. Gue mau keperpus aja." jawabku.

"Sorry gue lupa." ujar Noni tulus. "gue ikut loe aja ya." tambahnya lagi.

"Jangan, ntar loe lapar." jawabku tersenyum karena mengerti rasa bersalah Noni.

"Kamu aja nggak pernah jajan dikantin nggak sampai kelaparan kok." jawab Noni polos.

"Lah, aku kan Cintya bukan Noni." candaku sambil beranjak meninggalkan tempat dudukku.

"Cin tunggu." panggil Noni yang kini mengejar ku setengah berlari.

"Noni, kamu serius nggak kekantin?" tanyaku pada Noni yang kini sudah menyusul langkahku.

"Iya." jawab Noni.

"Yasudah. nanti kita share bekal aku aja ya." ujarku menawarkan.

"Kamu baik banget sih Cin. harusnya namamu Cinta, bukan Cyntia." Noni menyampaikan kata-katanya dengan sangat ceria.

Kami kini tiba di perpustakaan. Setelah mengembalikan beberapa buku yang ku pinjam beberapa hari lalu, aku berjalan menuju rak buku untuk menemukan beberapa buku menarik lainnya. Noni satu-satunya yang tahu, tentang aku yang jarang ke kantin. Uang saku yang kuterima dari mama, sengaja kusimpan. Selain itu, setiap pulang sekolah aku juga memilih untuk berjalan kaki. Uang untuk ongkos sehari-hari juga kusimpan. Untuk menyelamatkan perut dari rasa lapar di siang hari, aku biasanya menyediakan bekal makan siang. Sementara paginya aku pergi kesekolah dengan menggunakan angkutan umum, agar tidak terlambat. Jika tidak macet, dari rumahku hingga kesekolah memakan waktu perjalanan 20-25 menit jika menggunakan angkot.

Sementara itu di ruangan kepala sekolah, George sedang berdiskusi dengan guru-guru.

"George, sebenarnya dari segi nilai ada yang lebih berhak mendapatkan kesempatan ini daripada kamu. Jadi bapak harap kamu tidak menyia-nyiakannya." Ujar bapak kepala sekolah.

"Siapa pak? kalau ada yang lebih baik kenapa harus saya?" tanya George.

"Karena memang harus kamu." jawab kepala sekolah santai.

"Saya tahu. Pasti semua ini ada hubungannya dengan orang tua saya kan? Saya nggak mau pak mengambil peluang ini." tolak George.

"Kamu tidak punya pilihan lain." ujar kepala sekolah tegas.

"Saya hanya akan setuju dengan keputusan ini, jika siswa yang lain yang berhak untuk jalur ini juga mencoba mendaftarkan diri." jawab George tidak kalah tegas.

"Baiklah kalau itu yang kamu mau. Pak Rudi tolong panggil Joelin kemari." Pinta kepala sekolah pada wali kelas George.

"Pak, kalau orangnya dia, tolong jangan daftarkan kami ke universitas yang sama." pinta George.

"Bapak mengerti. Kamu bisa kembali ke kelas sekarang. Saya akan berdiskusi dengan Joelin nanti. Tunggu panggilan berikutnya dari saya." Ujar kepala sekolah.

Akhirnya George meninggalkan ruangan kepala sekolah bersamaan dengan bel masuk yang sudah berbunyi. George berjalan santai menuju kelasnya.

"Kepada siswa kami Cyntia dari kelas XII B agar segera datang ke kantor kepala sekolah." ujar pak Rudi melalui pengeras suara.

Cintya yang sedang bersiap meninggalkan perpustakaan merasa terkejut akan pengumuman yang baru saja dia dengar lewat pengeras suara itu.

"Ada apa ya cin?" tanya Noni.

"nggak tau Non. loe mau nggak nolongin gue bawa buku-buku ini kekelas?" pintaku pada Noni.

"siap bos." sahut Noni sambil mengambil alih buku yang dibawa Cintya.

"Kalau guru nanya, bilangin gue dipanggil kepsek ya Non." ujar ku lagi.

"Oke sip." Jawab Noni. kemudian kami berjalan terpisah. Aku langsung menuju kantor kepala sekolah, sedangkan Noni kembali ke kelas.

Tok tok tok.. aku mengetuk pintu kepala sekolah yang sedikit terbuka.

"Masuk Cin. " ujar bapak Rudi dari dalam ruangan kepala sekolah.

Aku melangkah hati-hati. "Ada apa pak?" tanyaku sopan ketika sudah memasuki ruangan itu. Disana ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan wali kelasku. "apa aku membuat kesalahan?" tanyaku dalam hati.

"Cintya, apakah kamu berniat untuk kuliah di jurusan kedokteran?" tanya kepala sekolah.

Mendengar kalimat itu, secercah harapan baru muncul di hati ku.

Terpopuler

Comments

IKA 🌹SSC🌷💋plf

IKA 🌹SSC🌷💋plf

apa krn Cintya orang gk punya!!!!!!!

2020-09-02

1

🦃fira yuniar wekwek🦃

🦃fira yuniar wekwek🦃

kasian cintya mentang2 susah di buly

2020-08-22

1

ig@aya_yaww

ig@aya_yaww

aku udah mampir thor,maaf blm sempat baca semuanya

2020-08-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!