Kami berdua beranjak meninggalkan lapangan basket dan langsung kembali ke kelas. Sementara siswa yang lain, tentu saja langsung menyerbu kantin.
"Loe yakin nggak ke kantin?" tanyaku pada Noni. Kami berdua kini sudah di ambang pintu.
"Pasti dong. kan ada bekal loe." jawabnya licik.
"Iya deh." ujarku kemudian.
"Non, mau makan di sini atau di mana?" tanyaku sambil mengangkat bekal makan siangku di udara.
"Taman yok. lagian pelajaran berikutnya free." jawabnya.
"ha? tau darimana loe?" tanyaku kemudian.
"Semua orang udah tau kali. Loe nya aja yang ketinggalan info." jawabnya santai.
"Maksud loe?" tanyaku penasaran.
"Nih." Jawab Noni sambil menyodorkan ponselnya padaku. aku menangkap sebuah pengumuman layar ponselnya, pengumuman yang sengaja dipasang di web sekolah.
"Oh, rapat guru. Jadi kita pulang lebih awal dong." ujarku ceria.
"Cin..Cin.. makanya beli ponsel." ujar Noni.
"Yaelah Non, gue juga pengen kali. masalahnya kan no money." gumamku tersenyum ikhlas.
"Sorry ya. gue keterlaluan banget tadi." jawabnya minta maaf.
"Santai aja neng. Yok ke taman." ajakku sambil membawa kotak bekal makan siang yang kusiapkan dari rumah.
Usai menyantap masakanku, kami berdua memutuskan untuk berdiam diri di taman belakang sekolah. Menikmati angin sejuk dibawah sebuah pohon rimbun. Noni tentu saja sibuk dengan gadget. Sementara aku sibuk membaca buku yang tadi sengaja kubawa kesini. Kami berdua akhirnya terlena dengan kesibukan masing-masing hingga kami lupa waktu, hingga suara bel akhirnya menyadarkan kami berdua, disusul dengan pemumuman oleh bapak kepala sekolah lewat pengeras suara.
"yaaah.. akhirnya pulang." seru Noni bahagia.
"Giliran pulang aha loe langsung semangat. Coba kalau ujian." sindirku halus.
"Ah.. loe mah jahat amat sih." protes Noni.
"duluan ya." godaku sambil berlalu meninggalkannya yang masih duduk di taman.
"Tungguin gue Cin.." panggil Noni sambil menyusulku.
"Loe mau kemana siang ini?" tanya Noni yang kini sudah menyusulku.
"Pulang kerumah." jawabku singkat.
"Gue ikut ya." jawab Noni.
"Gue jalan." jawabku mengingatkan.
"Bareng gue aja Cin. Tadi gue nyetir." ujarnya lagi.
"Yaampun Non.. emang loe udah punya SIM?" tanyaku serius.
"Belum sih. tapi kan nggak apa-apa juga kali Cin. Anak lain juga banyak yang pada nyetir sendiri. Mereka juga belum punya SIM kan?' jawab Noni santai.
"Bukan SIM nya yang jadi masalah di sini. Tapi keselamatan berkendaraan buat loe. which mean, keselamatan jiwa loe sendiri." jelasku kesal.
"Iya gue janji, lain kali nggak nyetir sendiri lagi. Tapi hari ini aja, loe mau ya nebeng sama gue. Sekalian gue mampir." ujar Noni penuh harap.
"Iya sudah. Dengan syarat ini pertama dan terakhir kalinya loe ngelakuin hal bodoh begini." jawabku kemudian.
"Siap bos." Noni menyetujui persyaratan yang kuberikan tepat saat kami masuk kedalam kelas untuk mengambil tas masing-masing.
Akhirnya dengan bantuan kendaraan Noni, kami tiba lebih awal dirumah. Rumah ini satu-satunya harta yang tersisa setelah kejatuhan ekonomi keluargaku. Aku dan Noni langsung masuk ke kamar. Kami asik bermain dan mengobrol sampai akhirnya kami berdua terlelap diatas ranjangku yang empuk. Pukul 5 sore akhirnya Noni undur diri, dan aku memutuskan segera bergegas melakukan pekerjaan rumah. Memasak makan malam, mencuci piring dan beberapa pakaian kotor milik orangtua dan adikku.
Sebelum pukul 8 malam semua anggota keluarga sudah kembali berkumpul di rumah. Seperti biasa kami makan malam bersama.
"Cin, sebentar lagi kamu akan lulus dari SMA. Bagaimana kalau kamu bergabung dengan perusahaan om Gery?" tanya papa setelah menyelesaikan makanannya.
"Apa mas? Maksud kamu Cintya disuruh jadi TKW?" tanya mama tidak percaya mendengar nama om Gery disebutkan oleh papa.
Ya, om Gery memang agen yang membantu memberi fasilitas bagi para tenaga kerja untuk bekerja di negara asing.
"apa yang salah dengan menjadi TKW?" tanya papa menahan emosi.
"Cintya masih kecil mas. Seharusnya juga dia belajar, bukan bekerja." protes mama.
"Lalu apa kamu sanggup menguliahkannya?" tanya papa emosi sambil beranjak meninggalkan meja makan.
"Cintya sayang, omongan papamu tadi jangan dimasukin ke hati ya." pinta mama sambil membelai halus kepalaku.
"Kak, loe kan cerdas. Kenapa nggak cari beasiswa aja kak buat kuliah? Lagian kuliah sambil kerja juga bisa kan? daripada kakak harus ngikutin omongan papa yang tadi." ujar Gio adikku sambil menundukkan kepala.
Gio biasanya paling takut melawan omongan papa, namun kali ini entah kenapa dia memberanikan diri untuk mengatakan hal-hal seperti itu.
"Sudahlah Ma, jangan terlalu dipikirkan. Mama istirahat aja." pintaku mencoba menenangkan suasana.
"Cin, maafin mama ya sayang. Mama nggak bisa ngasih yang terbaik buat kamu." ucap wanita itu sambil berlalu meninggalkanku dan Gio dimeja makan.
Aku bisa melihat pundaknya yang terguncang. Mama sedang menyembunyikan air matanya dariku dan Gio.
"Kak.." panggil Gio yang masih duduk di sebelahku.
"Iya?" jawabku singkat.
"Kita harus melakukan sesuatu kak. Dan Gio nggak mau kakak berhenti mengejar mimpi kakak. Biar Gio aja yang nggak usah sekolah kak. Toh Gio juga nggak cerdas seperti kakak." Ujar adikku risau. Kali ini wajah tampaknya terlihat begitu murung.
"Hei, jangan sedih." jawabku sambil memaksakan sebuah senyuman.
"Gio akan terus sekolah, pasti ada solusi dibalik setiap masalah. Jangan sedih Gio, sana kamu masuk kamar duluan. Biar kakak rapikan peralatan makanan ini." pintaku lembut.
"Maaf ya kak." jawab Gio sebelum beranjak meninggalkan kursinya.
"Langsung belajar ya." ujarku mengingatkannya yang kini berlalu.
"Gio.." panggilku setengah berteriak saat dia melangkah menjauh.
"Iya kak?" Gio memutar punggungnya dan memandang lurus padaku.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan." ujarku mencoba meyakinkan adikku bahwa semua baik-baik saja.
Tanpa menunggu reaksi Gio, aku langsung membawa peralatan makan kembali ke dapur dan langsung membersihkannya.
"Ah, bahkan jika aku harus ikut om Gery, semua akan baik-baik saja." gumamku dalam hati.
Mimpiku memang menjadi seorang dokter, namun yang terpenting saat ini bukanlah mimpi. Melainkan bagaimana aku bisa menyelamatkan keluargaku dari krisis ini. Tiba-tiba aku teringat pada George yang ingin menjadi musisi sementara orang tuanya memaksanya menjadi seorang dokter.
"Tentu saja mereka berharap yang terbaik untuk anaknya." gumamku kemudian.
Malam itu sebelum tidur seperti biasa aku melantunkan doa-doa malam ku. Memohon kekuatan dari Tuhan dalam menjalani hari-hari ini.
\*\*\*
"Permisi Pak, Bapak memanggil saya?" tanyaku pada Pak Rudi wali kelasku. Kini aku sedang menemuinya di kantor guru. Beliau yanh sedang sibuk dengan komputernya kini mendongakkan kepala memandang ku.
"Cintya ada yang ingin saya diskusikan denganmu." jawabnya.
"Silahkan duduk dulu." ujar beliau kemudian.
"Terimakasih pak." jawabku sopan sambil duduk pada salah satu kursi di seberang meja pak Rudi.
"Cintya, sudah seminggu berlalu sejak kepala sekolah memanggilmu. Apakah kamu sudah mengambil keputusan?" tanyanya serius.
"Saya tidak ingin kuliah Pak." jawabku mantap sambil menundukkan kepala.
"Kamu jangan bercanda Cintya. Apa kamu yakin dengan keputusan ini?" tanyanya lagi.
"Iya pak." jawabku singkat.
"Apa masalahnya karena uang? Jangan khawatir, jika masalahnya karena dana saya akan membantu kamu mencari sponsor untuk beasiswa." Ujarnya menjanjikan.
Mendengar kata beasiswa tiba-tiba saja secercah harapan yang baru melintas dipikiranku.
"Apa bapak yakin saya bisa mendapatkan beasiswa?" tanyaku menjawab semua pertanyaan di kepala pak Rudi.
**Pengumuman:
Terimakasih ya readers sudah membaca sejauh ini. Maaf alurnya belum sampai di acara baper-baperan. BTW, please like , vote dan komen sebanyak-banyaknya ya. Author rindu membaca ocehan kalian. I love you
-Best**-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ika Kirana🌷SSC🌹
jgn patah semangat Cintya raihlah cita2mu selagi kamu mampu aq yakin pasti ada jalan
2020-12-03
0
🦃fira yuniar wekwek🦃
semangat cintya pasti ada jln terbaik dr author krna dia yg buat skrip nya
2020-08-22
1
Umma Amyra
Semangat thoor...
2020-07-29
1