"Cintya, apakah kamu berniat untuk kuliah di jurusan kedokteran?" tanya kepala sekolah.
Mendengar kalimat itu, secercah harapan baru muncul di hati ku. Mendengar kata kedokteran jantungku berdegup kencang. Menjadi dokter adalah impianku. Kulihat aku yang kini mengenakan jas putih bersih ditambah stetoskop yang menggantung di leherku. Aku terlihat cantik sekali, wajahku lebih bercahaya memancarkan semangat kehidupan.
"Cintya, apa kamu dengar pertanyaan saya?" gumam kepala sekolah menyadarkanku dari euphoria hati.
"eh.. maaf pak. Apa saya tidak salah dengar?" tanyaku sopan.
"Jadi begini. Sekolah kita akan mendaftarkan beberapa siswa lewat jalur undangan. Salah satunya adalah kamu. Setelah Bapak dan Guru-Guru yang lain berdiskusi, kami sepakat untuk mendaftarkan beberapa kandidat untuk fakultas kedokteran. Itupun jika kamu bersedia, jika tidak jangan merasa sungkan." jelas kepala sekolah panjang lebar.
"Terimakasih Pak, saya akan berdiskusi dengan keluarga saya terlebih dahulu pak." jawabku kemudian.
"Baiklah. Kamu boleh kembali ke kelas." ujar kepala sekolah.
"Permisi Pak, Bu" ucap ku sopan sambil undur diri dari ruangan itu.
Aku meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan hati yang campur aduk. Kenyataan bahwa aku memiliki peluang untuk mengejar mimpiku sungguh berhasil membuatku senang, namun ada sesuatu yang merisaukan hati ini. Sebelum melangkah kedalam kelas kutarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar.
"Semoga ada jalan." batinku sambil mengetuk pintu namun tidak ada jawaban.
Merasa tidak direspon kuputuskan untuk mengetuk pintu sekali lagi. Namun hasilnya tetap saja nihil.
"Apa gurunya marah?" tanyaku gugup.
Tiba-tiba saja seseorang datang dan masuk kedalam kelas dengan santai nya. Seseorang yang bersikap seolah-olah aku tidak kelihatan. Pria itu, siapa lagi kalau bukan George. "oh ya." batinku yang tiba-tiba sadar akan sesuatu saat melihat seragam yang dikenakan oleh pria itu. Seragam olah raga. Aku bergegas masuk dan meraih seragam olah raga dari dalam tasku. Setelah mengganti seragam di ruang ganti aku langsung berlari kelapangan dan bergabung dengan siswa-siswi dari kelasku.
"Cintya.. lari." seru Pak Matrin sang guru olahraga.
"Maaf pak. Saya telat." ujarku saat kini bergabung di barisan bersama teman-temanku.
"Langsung ikuti gerakan pemanasan." perintahnya mengabaikan permohonan maaf ku.
"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan, dua dua tiga empat..." kami berhitung sambil mengikuti gerakan yang diinstruksikan oleh pak Martin.
Setelah pemanasan selama sepuluh menit pak Martin membagi seluruh siswa menjadi beberapa tim. Yang pria pergi bermain basket, sedangkan siswa perempuan kini sedang bermain voly. Setelah bermain satu ronde kebanyakan tim yang dihuni siswi menyerah bermain dan memilih duduk-duduk santai di taman sekolah. Sementara pak Martin sibuk mengawasi siswa yang asik bermain basket.
"Cin, nonton tim basket aja yok." ujar Noni sambil meraih tanganku dan menuntunku pergi menuju lapangan basket.
"Cin, loe nggak ada masalah apa-apa kan?" tanya Noni disela-sela langkah kaki kami.
"Gue baik-baik aja Non." jawabku singkat.
"Nah, terus kenapa kamu dipanggil sama kepala sekolah tadi?" tanyanya lagi.
"itu... ah, nggak usah dibahas Non. nggak terlalu penting kok." jawabku kemudian.
"Cintya, kalau ada apa-apa cerita sama gue ya. Gue khawatir banget sama loe, apalagi sebelumnya George juga dipanggil ke kantor Kepsek." ujar Noni jujur menyuarakan rasa khawatirnya.
"Tenang aja, gue baik-baik aja kok. Soal pertemuan dengan kepala sekolah tadi nggak ada hubungannya dengan dia." jelasku enggan menyebut nama pria itu.
"Gue memang belum pindah kesini saat loe dapat masalah sama dia Cin, tapi gue percaya loe nggak salah. Walaupun loe juga nggak pernah cerita kejadian sesungguhnya ke gua." ujar Noni.
"Naif banget sih loe. Gimana kalau ternyata omongan mereka benar?" aku menanyakan pendapat Noni tentang gossip yang beredar di sekolah.
"Kalau mereka benar, masa iya loe gak di DO dari sekolah ini?" tanya Noni serius kini kami sudah berada di lapangan basket. Kami memilih duduk di barisan penonton, menikmati permainan para cowok dari kelas kami.
"jadi itu alasannya loe memihak gue?' aku menjawab pertanyaan Noni pertanyaan lainnya.
"Bahkan nih ya Cin, sekalipun loe salah dan nyakitin mama nya George seperti gosip yang rame dibicarakan semua orang, gue yakin kok loe ngelakuin itu dengan alasan yang jelas. Jadi gue tetap di pihak loe." jelas Noni panjang lebar.
"Merinding gue." canda ku kemudian.
"Gue serius Cin. Loe dikeroyokin sama seisi sekolah aja belum tentu bereaksi, apalagi kalau satu lawan satu." ujarnya menyadari sikapku yang selalu tidak ambil pusing dengan keusilan beberapa siswa yang menggangguku.
"Mau nonton atau ngobrol?"tanyaku tajam.
"Ampun nyonya." jawabnya polos sambil tersenyum malu.
Kini Noni sedang menikmati permainan basket ala-ala oleh siswa dari kelas XII B. Sementara aku kembali sibuk dengan pikiranku. Tentang mimpi, harapan dan kenyataan yang harus ku hadapi dalam waktu yang bersamaan.
"Kalaupun aku diskusi dengan mereka, jawabannya sudah pasti tidak." gumamku dalam hati.
Aku benar-benar sadar, bahwa keinginan untuk menuntut pendidikan ke jenjang perkuliahan akan sangat membebani keluargaku. Jangankan kuliah, untuk bisa bertahan sekolah sampai hari ini saja banyak hal yang harus kami perjuangkan. Ibuku yang hanyalah tukang cuci piring di sebuah rumah makan, sementara ayahku hanya bekerja sebagai tukang bangunan membuat keluargaku menghadapi kesulitan ekonomi. Dulu keluargaku juga pernah memiliki kehidupan yang baik. Saat mama bekerja di sebuah perusahaan besar, dengan gaji yang besar pula. Namun tiba-tiba saja dia di PHK, sementara sejak saat itu juga borongan yang diperoleh oleh tim ayah semakin berkurang. Tiba-tiba saja kami harus banting stir, mobil, perhiasan, tabungan semua sudah habis digunakan untuk menyambung hidup. Kejadian tiga tahun lalu, saat aku masih SMP. Saat itu aku nyaris putus sekolah, tidak tega dengan perjuangan kedua orang tuaku. Namun karena tidak tega mengkhianati setiap keringat yang mengalir membasahi tubuh mereka, akupun memutuskan bertahan dan belajar menyesuaikan diri dengan kondisi keluargaku.
Di rumah kami gadis remaja yang dulu rutin perawatan kecantikan, kini hilang berubah menjadi gadis kucel. Yang tidak berubah dariku hanyalah hobby membaca dan mimpi untuk menjadi seorang dokter. Sementara hal lainnya kini sungguh berubah. Aku yang sejak kecil terbiasa diantar jemput supir pribadi, kini malah lebih sering berjalan kaki kemana-mana demi menghemat rupiah.
"Non, ayok. Kamu ini, lama-lama bisa kesambet. ngelamunin apa sih?" tanya Noni menyadarkan ku.
"eh.. udah selesai?" ujarku gugup.
"Dari sepuluh menit yang lalu. Loe nggak kenapa-kenapa kan? Buset dah Cin, gue sempat takut loe kesambet tadi." curhat Noni.
"Hush... jangan ngomong sembarangan, pamali." jawabku mengingatkan.
"Yaudah yok ke kelas." ajak Noni lagi.
Kami berdua beranjak meninggalkan lapangan basket dan langsung kembali ke kelas. Sementara siswa yang lain, tentu saja langsung menyerbu kantin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
IKA 🌹SSC🌷💋plf
kehidupan cintya yg berubah drastis😢
2020-09-02
1
naj
best thor
2020-08-04
0