Untuk Noni

"Apa bapak yakin saya bisa mendapatkan beasiswa?" tanyaku menjawab semua pertanyaan di kepala pak Rudi.

"Cintya, jalan selalu ada. Permasalahannya sekarang adalah, apakah kamu mau melangkah di jalan itu." jelas wali kelasku itu membuatku membisu bersama banyak tanya yang kini mengisi kepalaku.

"Selalu ada hasil bagi mereka yang memilih untuk berjuang. Entah hasilnya baik atau buruk, tetap saja namanya hasil. Dan hal terbaik yang kamu bisa miliki adalah buah dari proses perjuangan itu sendiri. Keputusan ada padamu Cintya, walau Bapak sangat berharap kamu cukup berani untuk berjuang." ujar beliau panjan lebar mencoba menjawab keraguan yang kini tergambar jelas di wajah ku.

"Beri saya waktu untuk memikirkannya lagi pak." pinta ku.

"Saya tunggu kamu diruangan ini, minggu depan di hari dan jam yang sama." jawab Pak Rudy setuju.

"Terimakasih pak, saya kembali ke kelas." ucapku undur diri.

Sepulangnya dari kantor guru, aku melangkah pelan masuk ke dalam kelas. Tinggal hitungan minggu, ujian nasional akan tiba. Kelas yang dulu riuh kini berubah menjadi tenang. Tidak ada lagi mereka yang sibuk bergosip, pamer barang mahal, ataupun bermain gadget. Teman-teman di kelasku kini fokus belajar, bahkan di jam olahraga seperti saat ini.

"Dari mana Cin?" tanya Noni padaku.

"Kantor guru." jawabku singkat sambil duduk di kursi yang terletak di sisi kiri Noni.

"Gua perhatiin akhir-akhir ini loe sering dipanggil sama guru. Ada masalah apa Cin?" Noni memasang wajah serius dan mulai mengibtrogasiku.

"nggak sering juga sih Non. Biasa aja." ujarku tenang.

"Main rahasia-rahasiaan nih sekarang?" Amel mulai menampilkan ekspresi kesalnya.

"Gue.." ujarku terputus oleh suara seseorang yang tiba-tiba memanggil Noni.

"Sorry Cin, gue tinggal sebentar." ujar Noni sambil berlari menuju pintu kelas, tempat dimana sang pemilik suara sedang berdiri.

Noni menghampiri pria tampan berwajah bule itu. Merdeka terlihat berdiskusi sebelum akhirnya pria itu menyerahkan sebuah kotak bekal pada Noni. Lelaki itu terlihat berusia awal 20-an. Dari cara berpakaiannya yang modis dan formal dapat disimpulkan dia seorang mahasiswa. Noni terlihat ceria saat berbicara dengan lelaki itu. Setelah sekian menit, lelaki itu berlalu dan Noni kembali ke tempat duduknya, tepat di sebelahku.

"Apa Non?" tanyaku penasaran setelah gadis itu mendarat di kursinya.

"Ini bekal makan siang gue." ujar Noni sambil mengangkat kotak makan siangnya di udara.

"Ada angin apa loe? Tumben bawa bekal, pakai acara dianterin lagi. Siapa doi? pacarmu?" aku semakin penasaran.

"Bertanya itu satu-satu Cin. Dia itu kak Dave, kakak satu-satunya di dalam hidup gue." Noni mencoba menjelaskan siapa pria tadi padaku.

"kok nggak mirip Non? Gue juga gak pernah ketemu dia setiap kali kita main di rumah loe." ujarku kemudian.

"Kak Dave, bukan kakak kandung gue. Dia dari Australia. Orang tuanya juga. Kebetulan aja bokap nyokap gue rekan bisnis keluarga mereka sejak dulu. Jadi dari kecil kami udah saling kenal. Karena kami sama-sama anak tunggal yah akhirnya kami memutuskan jadi Abang-Adik." Jelas Noni panjang lebar.

"Terus kok dia di Indonesia? Lagi libur ya Non?" tanyaku lagi.

"Penasaran amat loe sama kakak gue. Naksir ya?" goda Noni.

"Sembarangan aja loe. Gue cuman tertarik karena dia kakakmu. Nggak ada faktor lainnya tau." protesku pada Noni.

"Jangan cemberut gitu dong. Kak Dave lagi ngambil cuti kuliah, karena ada urusan penting di sini." Jawab Noni.

"Udah ah, dari tadi ngomongin kak Dave mulu ah. Kalau Cinta mau kenal sama kak Dave langsung aja ketemuan sama dia. Kan bisa Cin." tambah Noni protes.

"Lha? Cinta siapa lagi? Gue Cintya." jawabku sambil akting merajuk.

"Mulai hari ini gue mau manggil loe Cinta. Nggak pakai protes." gumam Noni memaksa.

"Kenapa?" tanyaku penuh selidik.

"Nurut aja, jangan melawan takut nanti kamu menyesal." ujarnya sambil tersenyum manis.

"Terserah loe deh Non." jawabku santai.

"Jadi kenapa tadi loe dipanggil ke kantor guru?" tanya Noni meminta penjelasan dariku.

"Masalah kuliah Non." gumamku pelan, khawatir ada siswa lain yang mendengar perkataanku.

"Tolong yang jelas jawabnya Cinta." pinta Noni.

Kemudian aku mulai menjelaskan pada Noni pertemuan ku dengan kepala sekolah, keraguan ku, dan tawaran dari Bapak Rudi, wali kelas kami.

"Jangan ragu Cin. Gue pasti dukung loe." ujar Noni setelah mendengar penjelasan ku.

"Gue nggak yakin Non, nggak ada jaminan kan beasiswanya bisa cover biaya pendidikan gue sampai wisuda. Belum lagi program magang nya." aku akhirnya memilih menuangkan rasa khawatirku pada gadis ini.

"Loe coba aja dulu Cin. Nggak ada pelari yang pernah tahu titik finish sebuah lomba sebelum mereka memilih untuk berlari kesana." Noni mencoba meyakinkan ku.

"Gue pikir-pikir lago deh." jawabku masih ragu.

"Cin, apa loe lebih memilih jadi tenaga kerja yang di kirim ke luar negeri?" tanya Noni prihatin.

"Apa yang salah dengan TKI Non? apa kerja begitu dosa?" tanyaku serius. Bukankah tidak akan menjadi masalah selama pekerjaan itu halal dan menghasilkan uang?

"Nggak gitu juga sih Cin. Loe itu orang paling cerdas yang pernah gue temui. Sayang banget kalau loe nggak kejar mimpimu buat jadi dokter." gumam Noni menjelaskan.

"Cin, loe punya waktu dan kemampuan. Manfaatin dengan baik Cin, di luar sana banyak orang yang harus berjuang melawan waktu. Banyak orang yang harus mati muda." tambah Noni dengan suara pelan.

"Non, jangan buat sedih dong." pintaku kemudian.

"Gue bakalan senang banget, kalau loe memilih untuk mengejar mimpi loe." gumam Noni.

"Enggak selamanya mimpi harus dikejar Non." jawabku.

Aku cukup familiar dengan keadaan sekarang. Saat seseorang meyakinkan orang lain mengejar mimpinya. Bukankah dulu aku dan George juga saling mendukung begini? Tapi pada akhirnya Goerge harus mengubur mimpinya dalam-dalam dan memilih mengabulkan impian keluarganya. Memiliki hidup yang lebih layak, adalah impian keluargaku. Dan jika dengan bekerja keras aku bisa mewujudkannya, mengapa tidak?

"Hei, jangan melamun." seru Noni yang menyadari aksi membisuku.

"hmmm... nggak kok." jawabku berbohong.

"Nanti main kerumah gue ya." pinta Noni.

"Ngapain?" tanyaku.

"Ada deh." Ujarnya mencoba terkesan misterius.

"Loe nyetir sendiri lagi? bukannya kemarin udah janji sama gue nggak bakalan nyetir sendiri sampai loe dapat SIM?" tanyaku kesal.

"Tenang aja. Dijemput supir kok. Nanti pulangnya loe diantar aja." jawabnya riang.

"Oke." ujarku setuju.

Kami berdua akhirnya memutuskan kembali fokus belajar. Setelah jam pelajaran terakhir berakhir, aku dan Noni melangkah beriringan menuju parkiran. Disana terparkir mobil milik Noni, bersama sopir pribadinya yang siaga menunggu. Mobil yang kami tumpangi kini melaju perlahan, membelah keramaian jalan raya.

"Loe mau nggak Cin, nerima bantuan dari orangtua gue?" tanya Noni tiba-tiba.

"Non, tolonglah." pintaku meminta pengertiannya.

"Iya.. iya.. gue ngerti." ujar Noni kemudian.

Kami berdua memutuskan untuk berdiam diri disepanjang perjalanan menuju kerumah Noni.

Terpopuler

Comments

Ika Kirana🌷SSC🌹

Ika Kirana🌷SSC🌹

semangat othor kesayangaan 😘😘😘

2020-12-04

0

Gabriella

Gabriella

lanjut ka.


udah ku mampir 2 novel mu Thor.

Aku BOOM like

2020-03-17

1

Seiba.

Seiba.

Semangatt nulis seiba ada di sini❤

2020-03-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!