Aku melangkahkan kakiku masuk kedalam kelas, ada sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang kutemui di kelasku pagi ini. Seorang wanita asing sedang duduk di meja guru, entah menunggu siapa.
Aku menyimpan ranselku di meja. Seperti biasa aku meraih sebuah buku yang George pinjamkan dari dalam laci meja ku. Kami sengaja meninggalkan beberapa buku di sekolah agar mengurangi beban dalam tasku, mengingat kadang aku pulang sekolah dengan berjalan kaki.
plak, secara tiba-tiba sekumpulan foto tercampak diatas meja ku.
"Saya tidak butuh penjelasan kamu. Tapi tolong jauhi anak saya." Ucap wanita asing yang duduk di meja guru tadi. Kini dia telah berdiri tepat di sisi mejaku.
"Kamu simpan foto-foto busuk itu, dan jangan berani-beraninya kamu memberitahu George masalah ini. Awas aja kalau sampai anak saya tahu." ancam nya lagi, kemudian dengan terburu-buru wanita itu berlalu.
Aku yang masih shock dengan kejadian barusan langsung meraih foto-foto yang kini berhamburan di lantai dan meja belajarku. Dengan terburu-buru kusimpan semua foto itu di dalam tas sekolah. Satu persatu teman sekelas ku berdatangan. Tentu saja, tidak seorangpun tahu kejadian yang menimpaku. Termasuk George.
"Pagi Cin." sapa George yang tiba-tiba masuk kedalam kelas.
"Pagi juga." balasku.
"Nanti jadikan?" tanyanya kemudian. Kami berjanji untuk mengunjungi sebuah perpustakaan daerah di kotaku siang ini.
"Kayaknya gua gak bisa deh George. Next time aja ya?" aku mencoba membatalkan rencana kami.
"gua? George? kesambet apa kamu pagi-pagi begini?" protesnya dengan sapaan aku kamu yang tiba-tiba ku ubah ditambah lagi namanya yang kusebut George bukan Geo seperti biasa aku memanggilnya.
"gpp. ngantuk." jawabku singkat sambil menelungkupkan kepalaku di atas meja.
"Yaudah kamu tidur. Aku ikut anak-anak ya." pamitnya.
Kugoyangkan kepalaku tanda setuju.
"Kalau ada apa-apa cerita samaku Cin, jangan disimpan sendiri." ucap George sebelum akhirnya pergi bersama teman yang lain.
Aku mengabaikannya. Kejadian pagi ini cukup membuatku terkejut dan bingung tentang apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin menyakiti Geo, aku juga tidak ingin melawan ibu nya. Kepalaku terasa sakit. akhirnya aku benar-benar tertidur.
\*\*\*
"Bu, ibu yakin nggak ada masalah serius dengan Cyntia?"
"Dia hanya kelelahan George, kamu tenang aja."
Samar-samar aku mendengar percakapan di kejauhan. Perlahan-lahan kelopak mataku saling berpisah, menyisakan cahaya silau yang masuk kedalam retinaku. Aku bingung menyadari posisiku yang kini tergelatak di sebuah ranjang di ruangan yang bercat putih ini.
"Aduh.." aku meringis karena rasa sakit di kepalaku yang terasa menusuk saat aku mencoba untuk duduk di ranjang.
"Kamu udah bangun cin?" tanya George yang tiba-tiba berlari mendekati ku.
"Gue kenapa?" tanyaku bingung menyadari bahwa kini aku sedang di UKS.
"Kamu tadi katanya nggak ada apa-apa. tiba-tiba udah pingsan aja dikelas. untung dompetku ketinggalan." oceh George.
"Kayaknya gue istirahat dirumah aja. Bu, Cintya pulang aja ya Bu?" tanyaku pada guru piket di UKS.
"iya Cin, kamu istirahat yang banyak ya." jawab beliau.
"makasih Bu." jawabku sambil beranjak dari tempat tidur dan berjalan meninggalkan ruangan UKS.
"Cin..Cin..Cintya. tungguin aku." seru George yang kutinggalkan di UKS. Pria itu kini berlari menyusulku yang hanya terus berjalan tanpa menghiraukannya.
"Ya Tuhan, semoga Cyntia cepat sembuh. Biar dia nggak nyuekin aku lagi." Ucap George lebay.
Aku masih membisu. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya aku tiba di kelas. Kukeluarkan semua buku George dari dalam laci mejaku. Dan pria itu masih saja mengekor dibelakangku.
"Ini buku loe. Makasih ya." ucapku sambil mengembalikan buku-buku itu kepadanya.
"Loh, kamu nggak baca lagi?" tanyanya curiga.
"Udah selesai." jawabku singkat sambil membawa ranselku dan berjalan meninggalkan kelas.
"Cin.. tunggu Cin." panggilnya sambil melangkah buru-buru, mengejarku.
"Pulang sama aku aja ya Cin." sarannya.
"Enggak usah George, gue bisa sendiri. Loe balik kekelas aja sono."
"Enggak. Aku mau nganter kamu, bentar aku telepon supir ku dulu." protesnya.
"Jangan George. Gue bisa naik angkot." ujarku menolak tawarannya.
"Yaudah, aku gak jadi telepon supir. Kamu naik angkot, tapi aku temenin ya." pintanya
"Gue bukan anak kecil, gue bisa sendiri. Loe balik ke kelas aja." ucapku mulai marah.
"Enggak. Kamu galak begini karena kamu lagi sakit. Aku tau kamu nggak bermaksud ngejauhin aku."
"loe yang balik ke kelas, atau gue?" ancamku kemudian.
"Iya iya. Aku balik ke kelas. tapi tunggu kamu naik angkot dulu." jawabnya mengalah.
Setelah lima menit menunggu akhirnya angkot yang melintas dari area tempat tinggal ku muncul. Setelah angkot berhenti aku masuk dan duduk. Namun berapa terkejutnya aku, saat menyadari ternyata George juga ikut masuk kedalam angkot.
"Loe mau kemana?" tanyaku.
"Ya nemanin kamu pulanglah." jawabnya jujur.
Aku kehabisan kata-kata, tidak ingin berdebat lebih jauh akhirnya kupilih untuk bungkam seribu bahasa. Aku tiba dirumah ketika rumah benar-benar sepi.
"Udah nganter nya sampai sini aja. Pamali masuk rumah berdua-duaan." ujarku mencari alasan.
"Iya deh iya. Kamu langsung istirahat ya. Sana masuk." pintanya.
Tanpa menunggu lama aku melangkahkan kakiku memasuki area pekarangan tempat tinggalku, kemudian kubuka pintu dan masuk kedalamnya. Saat tiba dirumah diam-diam aku mengintip George yang masih menunggu angkot sampai beberapa menit kemudian.
"Maaf ya George." bisikku pelan. Tidak terasa airmata kini sudah membasahi pipiku. Kulangkahkan kaki kekamarku. Diatas ranjang kubuka kembali semua foto yang kudapatkan pagi ini. Disana ada wajahku dan George yang sedang tertawa ceria. Foto-foto itu diambil di area sekolah, aku curiga bahwa biang kerok kejadian ini adalah salah satu fans fanatik George.
Merasa lelah karena menangis kusimpan foto-foto itu ditempat yang aman. Kemudian kurebahkan tubuhku untuk kembali beristirahat.
\*\*\*
Sudah tiga hari aku tidak masuk sekolah karena sakit. Tiga hari juga George datang menjenguk kerumah namun tidak pernah kubukakan pintu. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tahu, menghindar adalah sebuah sikap pengecut. Tapi remaja sepertiku, punya kekuatan apa untuk melawan orang tua George?
Akhirnya hari ini aku kembali kesekolah. Dan seperti biasa aku orang pertama yang tiba di kelas. Dan betapa terkejutnya aku, menyadari wanita asing itu kini telah muncul dikelasku. Siapa lagi kalau bukan Ibu dari Geogre. Dengan ragu aku melangkah masuk kedalam kelas.
"Apa kamu tuli?" bentak wanita itu.
"Maaf tante, saya tidak tuli." jawabku.
"Saya sudah peringatkan kamu untuk tidak mengganggu anak saya. Tapi apa-apaan kamu? malah berpura-pura lemah untuk merebut perhatiannya." dia benar-benar meluapkan kemarahannya padaku.
"Tante, saya nggak ada mengganggu anak tante." protesku.
"Tidak ada katamu? Lalu kemana kamu bawa dia dengan angkot busuk itu? Ha? Kamu memang memberi pengaruh buruk pada anakku. Gara-gara kamu, dia membolos, bermain musik, dan apa lagi?" marah wanita itu.
"Tante, saya tidak pernah mempengaruhi dia. Tolong jaga ucapan tante." pintaku.
"Hei, berani kamu ya ngomong sama saya? Kamu, jangan harap bisa merusak masa depan anak saya. Dia itu calon kebanggan keluarga. Bukan seperti kamu, yang tidak jelas arah hidupnya." jelas wanita itu panjang lebar.
"Cukup tante. Anda tidak tahu masa depan saya, jadi jangan sembarangan menghakimi." pintaku. Bulir hangat itu kini membasahi pipiku.
"Berani melawan kamu?" bisiknya penuh amarah sambil mencengkram daguku kencang.
"MAMA!!" seru George yang tiba-tiba muncul dipintu.
"George.." batinku.
"Arrrh..." tiba-tiba wanita itu terduduk di lantai, seolah aku mendorongnya.
"Mama ada apa ini?" tanya George berlari kearah ibunya.
"Mama hanya ingin melihat-lihat kelas kamu. Tiba-tiba perempuan ini marah-marah pada mama. Dia menuduh mama sudah jahat sama kamu sayang, karena mama nyuruh kamu jadi dokter. Dan tiba-tiba dia mendorong mama sampai mama jatuh." dusta wanita itu.
"Cih, tidak kuduga seorang terpelajar seperti anda ternyata ratu drama." ucapku sinis.
"Cintya, cukup!! Kita emang teman, tapi bukan berarti kamu berhak bicara sembarangan pada mamaku." ujar George marah.
"Aku mengatakan kebenaranya." ucapku penuh emosi sambil berlalu kemeja belajarku.
Puluhan mata kini menyaksikan ketegangan yang terjadi antara aku dan George. Mata-mata yang tidak menyaksikan kebenaran yang sesungguhnya. Mata yang hanya menonton sekilas akhir cerita, namun akhirnya sukses melahirkan lidah berbisa yang menghakimi aku. Bahwa aku adalah anak tidak tahu malu, yang memaki-maki ibu dari temanku sendiri. Sejak hari itu, George berhenti berbicara denganku. Sementara aku tidak sedikitpun berniat untuk membela diri.
-Kembali ke hari ini-
Puluhan mata kini menyaksikan ketegangan yang terjadi antara aku dan George. Mata-mata yang tidak menyaksikan kebenaran yang sesungguhnya. Mata yang hanya menonton sekilas akhir cerita, namun akhirnya sukses melahirkan lidah berbisa yang menghakimi aku. Bahwa aku adalah anak tidak tahu malu, yang memaki-maki ibu dari temanku sendiri. Sejak hari itu, George berhenti berbicara denganku. Sementara aku tidak sedikitpun berniat untuk membela diri.
-Kembali ke hari ini-
Aku mengabaikan suara siswa yang mulai ramai memasuki ruangan kelas ku. Awalnya tadi hanya ada aku, Noni disusul oleh George. Kini kelas sudah ramai. Beberapa siswi bergosip ria seperti biasanya, sedang sekelompok lain sedang sibuk menyalin tugas.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Semua kembali ke meja masing-masing. Namun kelas masih riuh karena desas desis anak-anak yang masih sibuk bercerita.
"Cintya, kamu kan piket hari ini kok sampahnya masih dikelas?" Tanya Nico sang komisaris kelas tiba-tiba.
"Gue juga piket kok Nic, sorry tadi keadilan ngobrol jadi lupa." jawab George sambil beranjak dari posisi duduknya dan meraih keranjang sampah.
Kelas seketika menjadi hening, seolah hujan es batu sedang terjadi di sini. Aku yang tadi berniat membuang sampah pun mengurungkan niat dan memutuskan untuk kembali duduk.
"Yah, namanya juga sampah Nic. Mana mungkin dia sanggup buang keluarga sendiri." sindir Lydia sang ratu gosip sekolah.
Tiba-tiba kelas kembali riuh. Mereka kembali asik bernostalgia tentang kejadian yang terjadi antara aku, George dan ibunya tahun lalu.
"Gue heran aja, kenapa sampahnya masih stay di kelas ini." ujar seseorang kemudian. Dan seisi kelas pun tertawa riuh.
"Ramai sekali kelas kalian." Bapak Rudi sang wali kelas tiba-tiba muncul dari pintu.
"Selamat pagi pak." sontak seisi kelas menyapa.
"Dimana George?" tanya pak Rudi.
"Lagi buang teman-temannya Cintya Pak." ledek Lydia.
"Apa maksud kamu Lydia?" tanya pak Rudi serius.
"Nggak ada maksud apa-apa kok pak." jawab Lydia.
tok..tok..tok.. "Permisi Pak." ujar George yang kini berdiri di pintu sambil membawa keranjang sampah yang sudah kosong.
"Iya silahkan masuk." ujar Pak Rudi.
George melangkah kembali ke tempat duduknya.
"George, jam istirahat nanti temui saya dikantor guru." Minta pak Rudi.
"Siap pak." Sahut pria itu.
Sepanjang pelajaran pak Rudi pikiranku memutar kembali semua kenangan setelah pertengkaran antara aku dan ibunya George.
Seisi sekolah meledekku, dan bersikap seolah akulah yang salah. Bibir-bibir itu terus berkomentar tanpa tahu kebenaran yang sesungguhnya. Akhirnya kebenaran bagi mereka adalah desas desus yang mereka buat sendiri. Kalimat-kalimat bahwa aku menyerang ibu George. Satu hal yang membuatku heran adalah, sekolah tidak mengeluarkanku saat itu. Sementara George, dia sama saja dengan yang lainnya. Mereka memilih percaya pada apa yang mereka inginkan saja.
Bel istirahat kini berbunyi. Pak Rudi meninggalkan kelas bersama dengan George.
"Kantin nggak Cin?" tanya Noni padaku.
"Enggak ah. Gue mau keperpus aja." jawabku.
"Sorry gue lupa." ujar Noni tulus. "gue ikut loe aja ya." tambahnya lagi.
"Jangan, ntar loe lapar." jawabku tersenyum karena mengerti rasa bersalah Noni.
"Kamu aja nggak pernah jajan dikantin nggak sampai kelaparan kok." jawab Noni polos.
"Lah, aku kan Cintya bukan Noni." candaku sambil beranjak meninggalkan tempat dudukku.
"Cin tunggu." panggil Noni yang kini mengejar ku setengah berlari.
"Noni, kamu serius nggak kekantin?" tanyaku pada Noni yang kini sudah menyusul langkahku.
"Iya." jawab Noni.
"Yasudah. nanti kita share bekal aku aja ya." ujarku menawarkan.
"Kamu baik banget sih Cin. harusnya namamu Cinta, bukan Cyntia." Noni menyampaikan kata-katanya dengan sangat ceria.
Kami kini tiba di perpustakaan. Setelah mengembalikan beberapa buku yang ku pinjam beberapa hari lalu, aku berjalan menuju rak buku untuk menemukan beberapa buku menarik lainnya. Noni satu-satunya yang tahu, tentang aku yang jarang ke kantin. Uang saku yang kuterima dari mama, sengaja kusimpan. Selain itu, setiap pulang sekolah aku juga memilih untuk berjalan kaki. Uang untuk ongkos sehari-hari juga kusimpan. Untuk menyelamatkan perut dari rasa lapar di siang hari, aku biasanya menyediakan bekal makan siang. Sementara paginya aku pergi kesekolah dengan menggunakan angkutan umum, agar tidak terlambat. Jika tidak macet, dari rumahku hingga kesekolah memakan waktu perjalanan 20-25 menit jika menggunakan angkot.
Sementara itu di ruangan kepala sekolah, George sedang berdiskusi dengan guru-guru.
"George, sebenarnya dari segi nilai ada yang lebih berhak mendapatkan kesempatan ini daripada kamu. Jadi bapak harap kamu tidak menyia-nyiakannya." Ujar bapak kepala sekolah.
"Siapa pak? kalau ada yang lebih baik kenapa harus saya?" tanya George.
"Karena memang harus kamu." jawab kepala sekolah santai.
"Saya tahu. Pasti semua ini ada hubungannya dengan orang tua saya kan? Saya nggak mau pak mengambil peluang ini." tolak George.
"Kamu tidak punya pilihan lain." ujar kepala sekolah tegas.
"Saya hanya akan setuju dengan keputusan ini, jika siswa yang lain yang berhak untuk jalur ini juga mencoba mendaftarkan diri." jawab George tidak kalah tegas.
"Baiklah kalau itu yang kamu mau. Pak Rudi tolong panggil Joelin kemari." Pinta kepala sekolah pada wali kelas George.
"Pak, kalau orangnya dia, tolong jangan daftarkan kami ke universitas yang sama." pinta George.
"Bapak mengerti. Kamu bisa kembali ke kelas sekarang. Saya akan berdiskusi dengan Joelin nanti. Tunggu panggilan berikutnya dari saya." Ujar kepala sekolah.
Akhirnya George meninggalkan ruangan kepala sekolah bersamaan dengan bel masuk yang sudah berbunyi. George berjalan santai menuju kelasnya.
"Kepada siswa kami Cyntia dari kelas XII B agar segera datang ke kantor kepala sekolah." ujar pak Rudi melalui pengeras suara.
Cintya yang sedang bersiap meninggalkan perpustakaan merasa terkejut akan pengumuman yang baru saja dia dengar lewat pengeras suara itu.
"Ada apa ya cin?" tanya Noni.
"nggak tau Non. loe mau nggak nolongin gue bawa buku-buku ini kekelas?" pintaku pada Noni.
"siap bos." sahut Noni sambil mengambil alih buku yang dibawa Cintya.
"Kalau guru nanya, bilangin gue dipanggil kepsek ya Non." ujar ku lagi.
"Oke sip." Jawab Noni. kemudian kami berjalan terpisah. Aku langsung menuju kantor kepala sekolah, sedangkan Noni kembali ke kelas.
Tok tok tok.. aku mengetuk pintu kepala sekolah yang sedikit terbuka.
"Masuk Cin. " ujar bapak Rudi dari dalam ruangan kepala sekolah.
Aku melangkah hati-hati. "Ada apa pak?" tanyaku sopan ketika sudah memasuki ruangan itu. Disana ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan wali kelasku. "apa aku membuat kesalahan?" tanyaku dalam hati.
"Cintya, apakah kamu berniat untuk kuliah di jurusan kedokteran?" tanya kepala sekolah.
Mendengar kalimat itu, secercah harapan baru muncul di hati ku.
"Cintya, apakah kamu berniat untuk kuliah di jurusan kedokteran?" tanya kepala sekolah.
Mendengar kalimat itu, secercah harapan baru muncul di hati ku. Mendengar kata kedokteran jantungku berdegup kencang. Menjadi dokter adalah impianku. Kulihat aku yang kini mengenakan jas putih bersih ditambah stetoskop yang menggantung di leherku. Aku terlihat cantik sekali, wajahku lebih bercahaya memancarkan semangat kehidupan.
"Cintya, apa kamu dengar pertanyaan saya?" gumam kepala sekolah menyadarkanku dari euphoria hati.
"eh.. maaf pak. Apa saya tidak salah dengar?" tanyaku sopan.
"Jadi begini. Sekolah kita akan mendaftarkan beberapa siswa lewat jalur undangan. Salah satunya adalah kamu. Setelah Bapak dan Guru-Guru yang lain berdiskusi, kami sepakat untuk mendaftarkan beberapa kandidat untuk fakultas kedokteran. Itupun jika kamu bersedia, jika tidak jangan merasa sungkan." jelas kepala sekolah panjang lebar.
"Terimakasih Pak, saya akan berdiskusi dengan keluarga saya terlebih dahulu pak." jawabku kemudian.
"Baiklah. Kamu boleh kembali ke kelas." ujar kepala sekolah.
"Permisi Pak, Bu" ucap ku sopan sambil undur diri dari ruangan itu.
Aku meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan hati yang campur aduk. Kenyataan bahwa aku memiliki peluang untuk mengejar mimpiku sungguh berhasil membuatku senang, namun ada sesuatu yang merisaukan hati ini. Sebelum melangkah kedalam kelas kutarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar.
"Semoga ada jalan." batinku sambil mengetuk pintu namun tidak ada jawaban.
Merasa tidak direspon kuputuskan untuk mengetuk pintu sekali lagi. Namun hasilnya tetap saja nihil.
"Apa gurunya marah?" tanyaku gugup.
Tiba-tiba saja seseorang datang dan masuk kedalam kelas dengan santai nya. Seseorang yang bersikap seolah-olah aku tidak kelihatan. Pria itu, siapa lagi kalau bukan George. "oh ya." batinku yang tiba-tiba sadar akan sesuatu saat melihat seragam yang dikenakan oleh pria itu. Seragam olah raga. Aku bergegas masuk dan meraih seragam olah raga dari dalam tasku. Setelah mengganti seragam di ruang ganti aku langsung berlari kelapangan dan bergabung dengan siswa-siswi dari kelasku.
"Cintya.. lari." seru Pak Matrin sang guru olahraga.
"Maaf pak. Saya telat." ujarku saat kini bergabung di barisan bersama teman-temanku.
"Langsung ikuti gerakan pemanasan." perintahnya mengabaikan permohonan maaf ku.
"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan, dua dua tiga empat..." kami berhitung sambil mengikuti gerakan yang diinstruksikan oleh pak Martin.
Setelah pemanasan selama sepuluh menit pak Martin membagi seluruh siswa menjadi beberapa tim. Yang pria pergi bermain basket, sedangkan siswa perempuan kini sedang bermain voly. Setelah bermain satu ronde kebanyakan tim yang dihuni siswi menyerah bermain dan memilih duduk-duduk santai di taman sekolah. Sementara pak Martin sibuk mengawasi siswa yang asik bermain basket.
"Cin, nonton tim basket aja yok." ujar Noni sambil meraih tanganku dan menuntunku pergi menuju lapangan basket.
"Cin, loe nggak ada masalah apa-apa kan?" tanya Noni disela-sela langkah kaki kami.
"Gue baik-baik aja Non." jawabku singkat.
"Nah, terus kenapa kamu dipanggil sama kepala sekolah tadi?" tanyanya lagi.
"itu... ah, nggak usah dibahas Non. nggak terlalu penting kok." jawabku kemudian.
"Cintya, kalau ada apa-apa cerita sama gue ya. Gue khawatir banget sama loe, apalagi sebelumnya George juga dipanggil ke kantor Kepsek." ujar Noni jujur menyuarakan rasa khawatirnya.
"Tenang aja, gue baik-baik aja kok. Soal pertemuan dengan kepala sekolah tadi nggak ada hubungannya dengan dia." jelasku enggan menyebut nama pria itu.
"Gue memang belum pindah kesini saat loe dapat masalah sama dia Cin, tapi gue percaya loe nggak salah. Walaupun loe juga nggak pernah cerita kejadian sesungguhnya ke gua." ujar Noni.
"Naif banget sih loe. Gimana kalau ternyata omongan mereka benar?" aku menanyakan pendapat Noni tentang gossip yang beredar di sekolah.
"Kalau mereka benar, masa iya loe gak di DO dari sekolah ini?" tanya Noni serius kini kami sudah berada di lapangan basket. Kami memilih duduk di barisan penonton, menikmati permainan para cowok dari kelas kami.
"jadi itu alasannya loe memihak gue?' aku menjawab pertanyaan Noni pertanyaan lainnya.
"Bahkan nih ya Cin, sekalipun loe salah dan nyakitin mama nya George seperti gosip yang rame dibicarakan semua orang, gue yakin kok loe ngelakuin itu dengan alasan yang jelas. Jadi gue tetap di pihak loe." jelas Noni panjang lebar.
"Merinding gue." canda ku kemudian.
"Gue serius Cin. Loe dikeroyokin sama seisi sekolah aja belum tentu bereaksi, apalagi kalau satu lawan satu." ujarnya menyadari sikapku yang selalu tidak ambil pusing dengan keusilan beberapa siswa yang menggangguku.
"Mau nonton atau ngobrol?"tanyaku tajam.
"Ampun nyonya." jawabnya polos sambil tersenyum malu.
Kini Noni sedang menikmati permainan basket ala-ala oleh siswa dari kelas XII B. Sementara aku kembali sibuk dengan pikiranku. Tentang mimpi, harapan dan kenyataan yang harus ku hadapi dalam waktu yang bersamaan.
"Kalaupun aku diskusi dengan mereka, jawabannya sudah pasti tidak." gumamku dalam hati.
Aku benar-benar sadar, bahwa keinginan untuk menuntut pendidikan ke jenjang perkuliahan akan sangat membebani keluargaku. Jangankan kuliah, untuk bisa bertahan sekolah sampai hari ini saja banyak hal yang harus kami perjuangkan. Ibuku yang hanyalah tukang cuci piring di sebuah rumah makan, sementara ayahku hanya bekerja sebagai tukang bangunan membuat keluargaku menghadapi kesulitan ekonomi. Dulu keluargaku juga pernah memiliki kehidupan yang baik. Saat mama bekerja di sebuah perusahaan besar, dengan gaji yang besar pula. Namun tiba-tiba saja dia di PHK, sementara sejak saat itu juga borongan yang diperoleh oleh tim ayah semakin berkurang. Tiba-tiba saja kami harus banting stir, mobil, perhiasan, tabungan semua sudah habis digunakan untuk menyambung hidup. Kejadian tiga tahun lalu, saat aku masih SMP. Saat itu aku nyaris putus sekolah, tidak tega dengan perjuangan kedua orang tuaku. Namun karena tidak tega mengkhianati setiap keringat yang mengalir membasahi tubuh mereka, akupun memutuskan bertahan dan belajar menyesuaikan diri dengan kondisi keluargaku.
Di rumah kami gadis remaja yang dulu rutin perawatan kecantikan, kini hilang berubah menjadi gadis kucel. Yang tidak berubah dariku hanyalah hobby membaca dan mimpi untuk menjadi seorang dokter. Sementara hal lainnya kini sungguh berubah. Aku yang sejak kecil terbiasa diantar jemput supir pribadi, kini malah lebih sering berjalan kaki kemana-mana demi menghemat rupiah.
"Non, ayok. Kamu ini, lama-lama bisa kesambet. ngelamunin apa sih?" tanya Noni menyadarkan ku.
"eh.. udah selesai?" ujarku gugup.
"Dari sepuluh menit yang lalu. Loe nggak kenapa-kenapa kan? Buset dah Cin, gue sempat takut loe kesambet tadi." curhat Noni.
"Hush... jangan ngomong sembarangan, pamali." jawabku mengingatkan.
"Yaudah yok ke kelas." ajak Noni lagi.
Kami berdua beranjak meninggalkan lapangan basket dan langsung kembali ke kelas. Sementara siswa yang lain, tentu saja langsung menyerbu kantin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!