Bos Arrogan Jatuh Cinta Pada Mama Muda
Anna Leanita terburu-buru memasuki kantornya setelah tadi memarkir kenderaannya. Ia sedikit pangling melihat tatanan kantor yang berubah.
"Pagi Mba Ratna, wah kantor ini beda banget. Sesuatu mba."
Perempuan itu menyapa wanita muda yang bekerja sebagai admin di perusahaan itu.
Anna sejenak terkagum-kagum oleh tatanan baru kantornya.
Pot-pot bunga yang mungil berisi tanaman hijau menyebar di beberapa sudut dan tempat. Lemari berisi file-file, foam, brosur, kwitansi diletakkan pada tempat strategis sehingga mudah bagi setiap orang menjangkaunya.
Beberapa peraturan baru tampak terpampang di dinding pengumuman. Semua berubah dan menjadi lebih dinamis dan hidup.
Agaknya hari Sabtu dan Minggu telah dipergunakan untuk mengubah penampilan kantor Ungu. Sehingga saat senin pagi itu semua karyawan termasuk Anna tercekat oleh perubahan yang lebih segar.
Ruangan pimpinan yang selama ini kosong sekarang tampak jelas teronggok tas kerja elegan berwarna hitam, laptop yang menyala, koran serta dua majalah bisnis. Juga tersedia segelas air putih dalam gelas besar. Satu lagi ada mangkok berisi permen jahe.
"Wah, agaknya pimpinan kali ini memiliki selera tersendiri."
Anna membatin sembari memandangi perubahan kantornya.
Pimpinan yang dijanjikan sudah menempati posisinya dan ini adalah hari pertamanya bertugas di kantor ungu.
Tak salah lagi karena mba Ratna Dumilah admin kantor ungu segera menyilahkannya naik ke ruangan meeting di lantai tiga.
"Pagi bu Anna, sebaiknya ibu cepat naik ke ruang meeting sebab bos baru ingin berkenalan dan mengenalkan diri."
"Ok mba, apakah sudah lama meetingnya?"
Tanyanya setelah menikmati sesaat perubahan tatanan kantor ungu.
“Baru saja Bu, cepatlah naik.”
“Apa yang lain sudah datang semua?”
Anna berharap bukan hanya dirinya yang terlambat memasuki ruangan meeting, karena nanti saat ia mendorong pintu semua mata akan terangkat untuk menatapnya. Tentu bapak pimpinan baru juga akan menatapnya.
“Sudah datang semua Bu, dan sudah di atas.”
Oh, tak banyak kata wanita itu bergegas menaiki tangga menuju ruangan meeting yang letaknya di lantai tiga. Kantor ungu adalah sebuah gedung mungil di tengah-tengah pertokoan dan perkantoran. Belum ada lift sehingga semua yang ada di kantor ungu jika hendak naik ke tempat meeting menaiki tangga yang membuat kelelahan.
Ada kabar, sebentar lagi mereka akan pindah kesebuah kantor baru berlantai lima belas yang modren serta memiliki lift menjadi salah satu gedung perkantoran tertinggi di kota kecil mereka.
"Sabar sabar."
Phuh, Anna menghembuskan napas agak tersengal saat tiba di lantai tiga, ia elus dadanya terlebih dahulu sebelum melangkah menuju ruangan meeting.
Tok tok tok ketuknya tiga kali sembari mendorong pintu.
“Assalamualaikum, selamat pagi semua. Maaf saya terlambat.”
Seperti dugaannya. Semua mata menoleh padanya dan perbincangan terhenti, hening.
“Pagi Bu, silahkan masuk tidak apa-apa baru dimulai.”
Suara siapakah itu?
Anna mengangkat wajahnya dan pria di ujung meja berdiri menyambut serta mengulurkan tangannya menyalami,
”Saya Edwing Bu.”
Anna tercekat, tapi ia mendatangi pria muda itu menyambut uluran tangan perkenalannya. Sebersit sinar mata yang tajam menyambar wajahnya. Sepersekian detik hujaman mata setajam silet dan sedingin es itu saat keduanya bertemu pandang.
“Saya Anna Pak."
Tukasnya sembari menarik tatapannya, bibir berbentuk sedikit tebal itu tersenyum tipis.
"Ibu Anna Leanita bukan? Saya sudah mendengar nama ibu."
O, Anna hanya tersenyum. Tak bermaksud membahas lebih jauh. Ia mengambil buku agenda dan bersiap mengikuti meeting.
Bos baru itu tersenyum hingga menampakkan suatu lekuk di pipinya.
"Silahkan bu Anna."
Pria itu menyilahkan dirinya untuk menempati bangkunya.
“Baiklah terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu semua. Saya sangat menghargai kedatangan kalian ini.
Sekaligus saya memperkenalkan diri. Nama saya Edwing Leonardo Piere, Dipl.Ing. Sebelum bekerja di sini saya bekerja di sebuah perusahaan yang berafialiasi dengan negara Jerman. Sekarang saya ditempatkan di perusahaan yang juga masih berhubungan dengan Jerman."
"Saya senang berkenalan dengan bapak dan ibu semua, bekerja sama dan akan memberikan perubahan serta warna yang berbeda bagi perusahaan. Karena itu saya harap kita semua bisa menjadi team yang solid."
“Dasar miss telat.”
Ujung sepatu seseorang menyodok betis di bawah meja. Sementara suara renyah pak Edwing terdengar menjelaskan visi, misi serta harapan yang ingin ia capai sebagai pimpinan.
Anna melirik perempuan cantik di sebelahnya yang mengerling dan tersenyum. Bibir Anna mencebik sinis.
“Kotor tau, bisa bikin tetanus sepatumu itu huh!"
Sembari menarik selembar tisu untuk menghapus betisnya.
"Alah!"
Berbisik-bisik sesaat, tapi agaknya mata bak the six milion dollar man, menangkap mereka. Suaranya ia besarkan sehingga suara kecil bisik-bisik terhenti dengan paksa. Keduanya lantas fokus dengan apa yang dibicarakan pak pimpinan.
Berbeda dengan bos mereka terdahulu pak Edwing terasa unik. Ada beberapa hal yang membuat tergelitik saat ia bicara. Pria muda tampan itu mengalami kesulitan dalam pengucapan hurup er. Setiap kali mengucapkan kalimat yang di dalamnya mengandung hurup er maka yang terdengar adalah el. Anna menggigit bibir menahan keinginan
untuk tertawa, kok ganteng-ganteng cadel begitu kata hatinya.
Hanya saja kekurangan itu tertutupi oleh ketampanan pria Indonesia asli itu, Dan juga sikap agak arrogannya. kalimat yang mengandung hurup er diucapkan dengan cepat tegas. Disertai pandangan menyambar pada setiap mata. Gerak t ubuh serta sesekali tangannya di udara untuk lebih menekankan maksud dari perkataan.
Menghanyutkan serta memaku setiap mata pada kharismatik sekaligus diseling sisi humorisnya yang ternyata kental, hingga kadang ruangan itu terdengar suara geerrr…tertawa.
“Hemmm sampai tak berkedip menatap pak Edwing, Dia tampan ya?”
Perempuan di sebelah Anna mencubit dagunya.
Anna melebarkan mata, memajukan bibirnya.
“Hee, Mami melihatnya juga kan?"
Mereka berbisik-bisik lagi, lantas melebarkan senyum. Bersamaan Anna menatap kearah pak Edwing. Perempuan itu tersirap darahnya karena pria itu menatapnya pula dengan kilatan tajam. Buru-buru Anna mengalihkan tatapannya, ia menyentuh dada yang berdebar.
Pantaslah guru mengajinya berulang-ulang menasehati agar merundukkan mata dari pandangan laki-laki karena
dari matalah banyak hal bisa terjadi.
“Baiklah bapak dan ibu. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih pada kehadiran kalian semua di sini.
Apa pun kendala yang bapak atau ibu hadapi saya ada bersama kalian untuk memecahkan masalah dan jangan
sungkan mengutarakan kesulitan kalian, tapi satu hal jangan berkonsultasi masalah keluarga ha ha ha, karena
saya satu-satunya di sini yang belum menikah dan saya belum mengerti hal-hal tersebut.”
Sembari menebarkan senyum yang membuatnya sangat tampan.
"Heh, dengar tidak? pak bos masih single."
"Maksud LOoeh?"
Anna menjulurkan lidahnya. Membuat teman disebelahnya tergelak.
“Tenang saja Pak, kalau masalah keluarga kami sudah ada tempat berkonsultasi ini loh pak, ibu Yuliana he he he.”
Alah!
Perempuan separo baya yang masih sangat cantik dan sexi di sebelah Anna mencubit gemes dagunya
itu memang kesukaan bu Yuliana
“Benar itu Pak, kami semua mengadu padanya tentang kegalauan.”
"Alah! galau nich yee!"
Perempuan bermata sipit dan putih di sebrang Florin dan bu Yuliana angkat bicara sembari menebarkan senyum sumringah.
“Iya benar, saya juga kalau ada masalah selalu meminta nasehat pada beliau.”
Perempuan yang memakai bedak tebal untuk menutupi titik-titik bekas jerawat menyambar tak lupa mengibaskan
rambut ikal tergerai dengan jemari berkuku panjang dengan cat kuku hitam, diam-diam orang sekantor menjuluki
dengan Suzana kantor ungu he he he. Bahkan ia tak marah dipanggil ibu Suzana.
Mengapa tidak, Suzana adalah artis cantik yang terkenal, dia sangat senang dipanggil nama itu.
“Ya, saya hanya membesarkan hati mereka pak. Masa mereka datang saat sedih saya diam saja, yang bisa saya berikan sekedar nasehat. Habis kalau mau kasih uang wong saya juga hanya pas-pasan.”
Pak Edwing tersenyum, “Jadi nanti kalau saya sudah berkeluarga dan punya masalah sudah tak bingung mau
kemana ya Bu, saya sudah punya reprensi yang tak diragukan lagi.”
“Waduh! gara-gara Jeng Anna nih.”
Bu Yuliana menggeleng-gelengkan kepala, "Saya pensiun sekarang saja ya pak dan membuka praktek konsultasi keluarga?”
“Ha ha ha, jangan dong Bu, nanti perusahaan kita mengalami kemunduran kalau ibu buka praktek.”
Alah!
Seringkali sepasang mata yang dinaungi alis lebat itu singgah pada wajah Anna, menghujam dan berakhir dengan sinar mata mesteri. Anna tak mengindahkannya biasa saja. Bukankah pak Edwing juga memandang dengan cara seperti itu pada yang lain.
Tapi pria muda bertubuh tinggi, tegap tampan, jantan, kharismatik, cemerlang membuat Anna berpikir-pikir.
Kesan mendalam tentang pria muda itu tersimpan di otaknya.
Usai meeting Anna bergegas ke ruang kerjanya. Meneguk segelas air putih dan menghempaskan pantatnya pada
kursi yang empuk dan bisa berputar mengikuti kemauan siapa saja yang duduk di atasnya.
"Uch."
Anna menghembuskan napas, begitu saja hadir wajah tampan dan muda di pikiran. Senyum yang melelehkan
setiap perempuan, rambut yang lebat kemilau rapi, bidang dada tempat bersandar yang nyaman serta lengan-lengan yang kekar kokoh tempat bergantung kehidupan yang menjanjikan.
"Ach! hanya perempuan bodoh dan kuat iman saja yang tidak merasakan ketertarikkan itu."
Dan menurutnya dia adalah perempuan yang lemah iman.
"Hi melamun ya?"
Bu Yuliana menyelinap mencolek dagu.
“Sok tau! seperti biasa aku tengah berpikir untuk peluang baru.”
“Ngapain pusing, Pak Edwing Leonardo Peire sudah punya terobosan baru. Memboroskan pikiran saja, mau ikut makan siang?”
“Di mana?”
“Terserah ibu saja, namanya juga ditraktir."
“Di traktir bu Arnolfine?”
"Yes."
"Dia nggak ikut meeting tadi."
"Mana pernah mau ikut meeting seperti itu, yang benar saja."
"Iya juga, tadi pun sudah mau pulang."
"Huh! apa jabatanmu berani nggak mengikuti meeting dan morning call."
"He he he, kalau senior bisa suka-suka ya."
Ibu Arnolfine adalah senior mereka di perusahaan itu. Sekaligus pimpinan team mereka. Ia Wanita bernaluri bisnis yang tinggi, berkomitmen, tegas sekaligus baik hati. Karena royal dan sering mengajak berpesta dan makan enak di berbagai tempat makan. Tapi tentu saja dengan persyaratan, telah memenuhi target yang ia minta. Tidak ada yang namanya makan siang atau malam gratis.
Beruntung sekali Anna, meski ia sosok yang tak meyakinkan, toh dirinya cukup sering berkontribusi sehingga selalu ikut setiap kali bu Ofin, panggilan sayang mereka ada pesta. Atau sekedar makan siang. Kali ini pun Ia dan bu Yuliana menyusul rombongan bu Ofin yang telah duluan ke luar kota.
Ketika sampai di rumah makan dan saat menunggu hidangan, mereka membicarakan bos baru mereka. Di luar dugaan bu Ofin memiliki pandangan yang berbeda terhadap pak Edwing.
"Dia itu lulusan luar negeri, sekolah bisnis di Jerman. Lihat saja bagaimana ia menata ulang kantor yang tadinya monoton menjadi segar dan keren. Ia pasti bisa mengembangkan kantor Ungu lebih maju dan berkembang."
Luar biasa sekali, ibu Arnolfine yang biasanya tidak pernah memuji siapa pun kali ini memberikan komentar pujian. Semoga saja dibawah kepemimpinan pak Edwing Leonardo Pieere, Dipl.Ing. Perusahaan maju pesat. Aamiin.
Bersambung
Taraaaa! Karya baru Othor nih, dukung othor ya teman-teman beri like, komen, serta bintang lima ya
Othor sangat berterima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Kinan Rosa
sudah ku baca ceritanya kak dan sudah aku kasih bunga mawar 🌹 lo
2022-11-05
1
Toni Hartono
☺😘🙃😅😆😁(∿°○°)∿ ︵ ǝʌol◌⑅⃝ᵐᶦˢˢ(꜆˘͈ෆ˘͈꜀)ʸᵒᵘ⑅⃝◌◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌π^®©®℅{{¶π•€^®©™ novel:aku memanggil manggil clara. entah di mana. clara tak menjawab.
2022-07-27
0
Toni Hartono
terduga teror inisial tentara... beradab rumah GEDEK dia agak basa basi.....
2022-07-27
0