Anna terpaksa ke kantor. Tapi bukan untuk bertemu dengan pak Tamhar, laki-laki bertampang harimau.
Perduli apa dengan ***** bengek tanda tangan. Ia ke kantor karena tiba-tiba pak Yuda Anggara seorang manager mall terbesar di kota itu menelponnya. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang akhirnya ia dan istrinya memutuskan mengambil program yang pernah Anna tawarkan. Anna tak menduga pria muda itu tiba-tiba menghubunginya dan ingin bertemu di kantor. Kalau bukan karena urusan dengan pak Yuda, ia masih engan datang ke kantor.
"Selamat pagi pak Yuda, saya senang sekali bapak menghubungi saya. Waktunya tepat sekali!"
Anna sengaja menunggu di tempat parkir. Ia tahu pak Edwing sedang menunggunya. Ia tak mau bertegur sapa dengan pria bosnya yang menurutnya kurang pengalaman itu. Ia ke kantor hanya untuk mengurus keperluan pak Yuda yang akan mengambil program perencanaan pendidikan untuk anak-anaknya. Anna masuk berdampingan dengan pak Yuda.
Saat pintu dikuakkan oleh Mas Jupri. Yakni seorang satpam muda yang ramah bersamaan pak Edwing tengah berjalan menuju pintu. Mau tak mau mereka berpapasan. Anna bergetar tubuhnya, serta merta Pak Edwing menyapa sembari tersenyum lebar.
"Hello Bu Anna selamat pagi."
Anna berpura-pura sibuk berbincang dengan pak Yuda. Ia mengajak pria itu ke ruang tamu dan mempersilahkan duduk. Sementara ia akan menyiapkan dokumen yang diperlukan. Setelah selesai ia duduk di hadapan pak Yuda dan kembali menjelaskan tentang program yang di ambil.
Tiba-tiba pak Edwing datang dan mengenalkan dirinya pada pak Yuda. Kedua laki-laki itu saling bersalaman dan tersenyum. Edwing menanyakan apakah perlu dijelaskan lagi tentang program yang diambil.
"Boleh, biar lebih mengelotok."
Pak Yuda tertawa, disambut senyum lebar pak Edwing. Pria itu segera menghadapkan laptop agar pria klien Anna tersebut bisa melihat jelas.
"Bu Anna, mengambil program apa?"
Cara bertanya pak Edwing seperti mereka sangat dekat.
"Program pendidikan Trem lima!, 25 juta rupiah."
Anna memberikan data ayah serta dua anak. Tak lama sebuah ilustrasi terpampang di laptop. Pak Edwing dengan gamblang menjelaskan bahwa setiap lima tahun anak bisa mengambil dana yang cukup besar. Bla bla bla, gaya pak Edwing sangat meyakinkan sebagai seorang bos. Dana tersebut langsung di transfer ke rekening ayah. Pak Yuda mengangguk-angguk pertanda sudah puas dan mengerti. Dana sebesar lima puluh juta masuk ke perusahaan.
Setelah pak Yuda memperlihatkan bukti pengiriman uang ke perusaahaan, Anna segera mengurusnya dibantu oleh mba Ratna Dumilah. Anna dan pak Yuda masing-masing menaruhkan tanda tangan. Terakhir mereka bertiga bersalaman.
"Terima kasih kepercayaannya ya Pak Yuda."
Erat sekali Edwing menggenggam jemari laki-laki itu.
"Sama-sama."
Pak Yuda lantas pamit. Anna dan juga Edwing sama-sama mengantar keluar. Anna dan pak Yuda saling melambaikan tangan.
"Selamat Bu Anna, Good job."
"Iya, terima kasih."
Edwing mencebirkan bibirnya. Ia berusaha menerima sikap perempuan muda itu.
Anna menyambar tasnya, sesaat ia ke ruangan mba Ratna, menanyakan apakah proses program pak Yuda tidak ada kekurangan. Perempuan muda itu menjawab, sudah ok semua.
"Kalau begitu saya keluar dulu ya Mba."
"Sebentar Bu Anna, ada beberapa surat yang perlu ibu tanda tangani, tapi."
Mba Ratna sejenak terdiam.
"Surat-suratnya ada pada pak Edwing Bu."
"Loh, kenapa ada pada pak Edwing? biasanya sama mba Ratna!"
"Sekarang kita sudah punya pimpinan Bu."
Anna terdiam. Ia akhirnya menghentak meninggalkan ruangan mba Ratna. Ia terpaksa menahan rasa bencinya.
“Pak katanya ada surat yang perlu ditanda tangani?”
Anna duduk di hadapan pak Edwing, wajahnya melengos ke tembok sekaligus menyilangkan kakinya.
Donny mengangkat wajahnya, memandang pada Anna. Seharusnya ia marah pada sikap bu Anna yang
seperti itu. Tetapi anehnya ia mentolerirnya. Malah ia tergelitik oleh cara perempuan itu kesal dan marah padanya.
"Oia betul Bu, sebentar saya ambil."
Pak Edwing melesat ke ruangannya di atas. Di bawah pun ia memiliki ruangan yang bersebelahan dengan ruangan admin-mba Ratna Dumilah. Ruangan yang bersifat pribadi berada di lantai dua. Sedangkan ruangan yang berada di tengah yang letaknya strategis untuk keperluan serba guna. Baik pak Edwing serta semua yang ada di perusahaan itu boleh memakainya untuk menerima tamu.
"Ini Bu suratnya, silahkan ditanda tangani.”
Anna tak terlalu perduli surat apakah gerangan itu, pokoknya selesai menanda tangani ia pergi.
“Ada lagi Pak?”
“Sudah hanya itu, terima kasih."
Sikap Anna yang acuh dan tampak terburu-buru menyurutkan keinginan pak Edwing untuk berbincang-bincang. Ia membawa berkasnya ke atas meninggalkan perempuan itu.
“Ok semua kan Mba?”
Sekali lagi Anna bertanya tentang program yang telah ditanda tangani olehnya dan pak Yuda.
“Yups dah benar semua Bu, segera kita kirim ke Jakarta.”
“Klo gitu saya pergi ya mba.”
“Kok buru-buru sih Bu, ada bu Suzane, bu Juliet dan bu Niki.”
“Yah biarlah, saya ada keperluan dulu mba.”
"Ok deh Bu, selamat ya atas closingnya."
Anna hanya mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya dia ingin naik ke atas, menempati kursinya dan bersantai di sana. Atau bercengkrama dengan teman-teman hingga lupa waktu. Tapi ia sekarang ia tak nyaman melakukannya. Masih tergiang-giang perkataan Bos arrogan yang mengatakan ia paling lemah dan tidak berkontribusi. Ia sakit hati dan sangat marah. Dasar Bos yang masih muda, menjaga kata-kata saja tidak bisa. Dasar!
Ia harap semua mengerti kenapa ia bersikap seperti itu. Sudah pasti teman-temannya ikut prihatin
dan menghiburnya, tapi ia belum perlu tawa, tepuk di pundak dan cubitan di dagu. Ia masih kecewa. Bahkan ia tak pernah mengikuti morning call yang rutin diadakan setiap senin pagi. Bu Ofin sempat menanyakannya tapi semua menggeleng. Pak Donny yang mengetahui masalah Anna hanya menelan ludah.
Pada akhirnya Niki dan Juliana membicarakan hal tersebut dengan bu Ofin. Perempuan itu mendengarkannya dan saat itu juga ia bersama Niki dan Juliana bicara pada Edwing. Sebagai seorang pebisnis yang sudah malang melintang tentu hal seperti itu mudah bagi bu Ofin menyelesaikannya. Ia menanyakan kenapa pak Edwing melakukan hal tersebut.
Pak Edwing mengutarakan alasannya. Bu Ofin bisa menerimanya, ia tidak menyalahkan Anna dan juga Edwing. Perempuan cantik bab barbie itu mengajak pak Edwing bekerja sama dengan agency pimpinannya. Bu Ofin secara halus mengatakan bahwa Anna dan yang lainnya berada dibawah pimpinannya. Sementara pak Edwing pimpinan management. Yang terbaik adalah bekerja sama.
Mau tak mau pak Donny terpaksa berpikir ulang tentang keputusannya. Ia menghisap rokok dalam-dalam lantas menghembuskan ke udara. Matanya menyipit mencari jalan bagaimana menghilangkan kekecewaan dan kemarahan bu Anna. Selain itu perempuan lain yang kedudukkannya sejajar dengannya, mulai bereaksi. Agaknya ia telah mengambil keputusan yang salah.
Edwing membuang puntung rokoknya dan masuk ke ruangannya. Ia menulis pesan melalui Whatsapp.
"Bu bisakah kita bicara besok jam sepuluh pagi di kantor?"
Anna tak segera menjawab. Bicara apa lagi? masih adakah yang perlu dibicarakan?
"Bisakan Bu?"
Sungguh pak Edwing tak kenal kata menyerah.
"Ya baiklah~"
Balasan yang sangat singkat. Anna tidak memiliki jawaban lagi kecuali menuruti kemauan pria itu.
Edwing sendiri setelah bicara dengan bu Ofin merasa bersalah serta terlalu tergesa-gesa dengan keputusannya karena hal tersebut justru mengecilkan bahkan memadamkan semangat seorang Anna.
Pagi itu tak seperti biasanya Anna sibuk memilih-milih baju yang akan dikenakannya. Biasanya ia tak terlalu perduli.
Kemeja lengan panjang rok serta blazer adalah baju kerja yang dikenakannya sehari-hari. Riasan wajah yang sederhana tak membuatnya buruk. Ia sangat bersahaja dan selalu tampil manis, begitu kesan setiap orang.
Kali ini entahlah ia berlama-lama mematut diri di kaca, mengusapkan bedak dan meratakannya, melebarkan bibir tersenyum dan memiringkan tubuh untuk melihat bagian belakang. Bulu mata yang jarang tersentuh mascara kali ini ia gulungkan dan tarik hingga bulu matanya menjadi panjang menjadi lentik.
Sentuhan akhir parfum kesukaannya tapi ups sudah kosong. Ia berpikir akan mampir ke toko parfum sebelum ke kantor.
“Selamat pagi Pak.”
Anna mengejutkan pak Edwing yang tengah tenggelam membaca berita.
"Oh Bu Anna , selamat pagi Bu silahkan duduk.”
Sesaat mereka saling menatap, Anna lebih dulu menarik pandangannya dan menarik kursi duduk di hadapan pak Edwing. Tak lupa ia selalu menyilangkan kaki. Sebuah sikap duduk yang menjadi trade marknya. Ia menyukai cara duduk seperti itu. Menurutnya sangat nyaman dan juga seksi.
Mata laki-laki muda itu menukik mengikuti gerak tubuhnya saat duduk dihadapannya.
“Bu, sebaiknya kita ke ruangan meeting.”
Anna ingin menolak tapi tubuh jangkung dan besar pak Edwing sudah melesat meninggalkannya dan terdengar
bunyi sepatunya naik ke lantai atas.
“Bu Anna saya menunggu!"
Anna termangu-manggu. Berdua saja di ruang meeting? Tapi ini mengenai pekerjaan, beberapa bulan ini keadaan
tak nyaman antara dia dan pria itu, tersiksa rasanya.
Ok, aku tak ingin berlarut-larut gencetan senjata dengan pak Edwing. Serta merta Anna keluar dari bangkunya dan menyusul naik ke atas
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Kinan Rosa
kak maaf mau tanya namanya yang benar itu Edwin apa Dony ya kak 🙏🙏
2022-11-05
0
Dahlia Anwar
namanya Donny pa edwing si
2021-11-27
0
ARSY ALFAZZA
keren 💕
2021-07-11
2