NovelToon NovelToon

Bos Arrogan Jatuh Cinta Pada Mama Muda

Chapter I. Perkenalan

Anna Leanita terburu-buru memasuki kantornya setelah tadi memarkir kenderaannya. Ia sedikit pangling melihat tatanan kantor yang berubah.

"Pagi Mba Ratna, wah kantor ini beda banget. Sesuatu mba."

Perempuan itu menyapa wanita muda yang bekerja sebagai admin di perusahaan itu.

Anna sejenak terkagum-kagum oleh tatanan baru kantornya.

Pot-pot bunga yang mungil berisi tanaman hijau menyebar di beberapa sudut dan tempat. Lemari berisi file-file, foam, brosur, kwitansi diletakkan pada tempat strategis sehingga mudah bagi setiap orang menjangkaunya.

Beberapa peraturan baru tampak terpampang di dinding pengumuman. Semua berubah dan menjadi lebih dinamis dan hidup.

Agaknya hari Sabtu dan Minggu telah dipergunakan untuk mengubah penampilan kantor Ungu. Sehingga saat senin pagi itu semua karyawan termasuk Anna tercekat oleh perubahan yang lebih segar.

Ruangan pimpinan yang selama ini kosong sekarang tampak jelas teronggok tas kerja elegan berwarna hitam, laptop yang menyala, koran serta dua majalah bisnis. Juga tersedia segelas air putih dalam gelas besar. Satu lagi ada mangkok berisi permen jahe.

"Wah, agaknya pimpinan kali ini memiliki selera tersendiri."

Anna membatin sembari memandangi perubahan kantornya.

Pimpinan yang dijanjikan sudah menempati posisinya dan ini adalah hari pertamanya bertugas di kantor ungu.

Tak salah lagi karena mba Ratna Dumilah admin kantor ungu segera menyilahkannya naik ke ruangan meeting di lantai tiga.

"Pagi bu Anna, sebaiknya ibu cepat naik ke ruang meeting sebab bos baru ingin berkenalan dan mengenalkan diri."

"Ok mba, apakah sudah lama meetingnya?"

Tanyanya setelah menikmati sesaat perubahan tatanan kantor ungu.

“Baru saja Bu, cepatlah naik.”

“Apa yang lain sudah datang semua?”

Anna berharap bukan hanya dirinya yang terlambat memasuki ruangan meeting, karena nanti saat ia mendorong pintu semua mata akan terangkat untuk menatapnya. Tentu bapak pimpinan baru juga akan menatapnya.

“Sudah datang semua Bu, dan sudah di atas.”

Oh, tak banyak kata wanita itu bergegas menaiki tangga menuju ruangan meeting yang letaknya di lantai tiga. Kantor ungu adalah sebuah gedung mungil di tengah-tengah pertokoan dan perkantoran. Belum ada lift sehingga semua yang ada di kantor ungu jika hendak naik ke tempat meeting menaiki tangga yang membuat kelelahan.

Ada kabar, sebentar lagi mereka akan pindah kesebuah kantor baru berlantai lima belas yang modren serta memiliki lift menjadi salah satu gedung perkantoran tertinggi di kota kecil mereka.

"Sabar sabar."

Phuh, Anna menghembuskan napas agak tersengal saat tiba di lantai tiga, ia elus dadanya terlebih dahulu sebelum melangkah menuju ruangan meeting.

Tok tok tok ketuknya tiga kali sembari mendorong pintu.

“Assalamualaikum, selamat pagi semua. Maaf saya terlambat.”

Seperti dugaannya. Semua mata menoleh padanya dan perbincangan terhenti, hening.

“Pagi Bu, silahkan masuk tidak apa-apa baru dimulai.”

Suara siapakah itu?

Anna mengangkat wajahnya dan pria di ujung meja berdiri menyambut serta mengulurkan tangannya menyalami,

”Saya Edwing Bu.”

Anna tercekat, tapi  ia mendatangi pria muda itu menyambut uluran tangan perkenalannya. Sebersit sinar mata yang tajam menyambar wajahnya. Sepersekian detik hujaman mata setajam silet dan sedingin es itu saat keduanya bertemu pandang.

“Saya Anna Pak."

Tukasnya sembari menarik tatapannya, bibir berbentuk sedikit tebal itu tersenyum tipis.

"Ibu Anna Leanita bukan? Saya sudah mendengar nama ibu."

O, Anna hanya tersenyum. Tak bermaksud membahas lebih jauh. Ia mengambil buku agenda dan bersiap mengikuti meeting.

Bos baru itu tersenyum hingga menampakkan suatu lekuk di pipinya.

"Silahkan bu Anna."

Pria itu menyilahkan dirinya untuk menempati bangkunya.

“Baiklah terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu semua. Saya sangat menghargai kedatangan kalian ini.

Sekaligus saya memperkenalkan diri. Nama saya Edwing Leonardo Piere, Dipl.Ing. Sebelum bekerja di sini saya bekerja di sebuah perusahaan yang berafialiasi dengan negara Jerman. Sekarang saya ditempatkan di perusahaan yang juga masih berhubungan dengan Jerman."

"Saya senang berkenalan dengan bapak dan ibu semua, bekerja sama dan akan memberikan perubahan serta warna yang berbeda bagi perusahaan. Karena itu saya harap kita semua bisa menjadi team yang solid."

“Dasar miss telat.”

Ujung sepatu seseorang menyodok betis di bawah meja. Sementara suara renyah pak Edwing terdengar menjelaskan visi, misi serta harapan yang ingin ia capai sebagai pimpinan.

Anna melirik perempuan cantik di sebelahnya yang mengerling dan tersenyum. Bibir Anna mencebik sinis.

“Kotor tau, bisa bikin tetanus sepatumu itu huh!"

Sembari menarik selembar tisu untuk menghapus betisnya.

"Alah!"

Berbisik-bisik sesaat, tapi agaknya mata bak the six milion dollar man, menangkap mereka. Suaranya ia besarkan sehingga suara kecil bisik-bisik terhenti dengan paksa. Keduanya lantas fokus dengan apa yang dibicarakan pak pimpinan.

Berbeda dengan bos mereka terdahulu pak Edwing terasa unik. Ada beberapa hal yang membuat tergelitik saat ia bicara. Pria muda tampan itu mengalami kesulitan dalam pengucapan hurup er. Setiap kali mengucapkan kalimat yang di dalamnya mengandung hurup er maka yang terdengar adalah el. Anna menggigit bibir menahan keinginan

untuk tertawa, kok ganteng-ganteng cadel begitu kata hatinya.

Hanya saja kekurangan itu tertutupi oleh ketampanan pria Indonesia asli itu, Dan juga sikap agak arrogannya. kalimat yang mengandung hurup er diucapkan dengan cepat tegas. Disertai pandangan menyambar pada setiap mata. Gerak t ubuh serta sesekali tangannya di udara untuk lebih menekankan maksud dari perkataan.

Menghanyutkan serta memaku setiap mata pada kharismatik sekaligus diseling  sisi humorisnya yang ternyata kental, hingga kadang ruangan itu terdengar suara geerrr…tertawa.

“Hemmm sampai tak berkedip menatap pak Edwing, Dia tampan ya?”

Perempuan di sebelah Anna mencubit dagunya.

Anna melebarkan mata, memajukan bibirnya.

“Hee, Mami  melihatnya juga kan?"

Mereka berbisik-bisik lagi,  lantas melebarkan senyum. Bersamaan Anna menatap kearah pak Edwing.  Perempuan itu tersirap darahnya karena pria itu menatapnya pula dengan kilatan tajam.  Buru-buru Anna mengalihkan tatapannya, ia menyentuh dada yang berdebar.

Pantaslah guru mengajinya berulang-ulang menasehati agar merundukkan mata dari pandangan laki-laki karena

dari matalah banyak hal bisa terjadi.

“Baiklah bapak dan ibu. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih pada kehadiran kalian semua di sini.

Apa pun kendala yang bapak atau ibu hadapi saya ada bersama kalian untuk memecahkan masalah dan jangan

sungkan mengutarakan kesulitan kalian, tapi satu hal jangan berkonsultasi masalah keluarga ha ha ha, karena

saya satu-satunya di sini yang belum menikah dan saya belum mengerti hal-hal tersebut.”

Sembari menebarkan senyum yang membuatnya sangat tampan.

"Heh, dengar tidak? pak bos masih single."

"Maksud LOoeh?"

Anna menjulurkan lidahnya. Membuat teman disebelahnya tergelak.

“Tenang saja Pak, kalau masalah keluarga kami sudah ada tempat berkonsultasi ini loh pak, ibu Yuliana he he he.”

Alah!

Perempuan separo baya yang masih sangat cantik dan sexi di sebelah Anna mencubit gemes dagunya

itu memang kesukaan bu Yuliana

“Benar itu Pak, kami semua mengadu padanya tentang kegalauan.”

"Alah! galau nich yee!"

Perempuan bermata sipit dan putih di sebrang Florin dan bu Yuliana angkat bicara sembari menebarkan senyum sumringah.

“Iya benar, saya juga kalau ada masalah selalu meminta nasehat pada beliau.”

Perempuan yang memakai bedak tebal untuk menutupi titik-titik bekas jerawat menyambar tak lupa mengibaskan

rambut ikal tergerai dengan jemari berkuku panjang dengan cat kuku hitam, diam-diam orang sekantor menjuluki

dengan Suzana kantor ungu he he he. Bahkan ia tak marah dipanggil ibu Suzana.

Mengapa tidak, Suzana adalah artis cantik yang terkenal, dia sangat senang dipanggil nama itu.

 

“Ya, saya hanya membesarkan hati mereka pak. Masa mereka datang saat sedih saya diam saja, yang bisa saya berikan sekedar nasehat. Habis kalau mau kasih uang wong saya juga hanya pas-pasan.”

Pak Edwing tersenyum, “Jadi nanti kalau saya sudah berkeluarga dan punya masalah sudah tak bingung mau

kemana ya Bu, saya sudah punya reprensi yang tak diragukan lagi.”

“Waduh! gara-gara Jeng Anna nih.”

Bu Yuliana menggeleng-gelengkan kepala, "Saya pensiun sekarang saja ya pak dan membuka praktek konsultasi keluarga?”

“Ha ha ha, jangan dong Bu, nanti perusahaan kita mengalami kemunduran kalau ibu buka praktek.”

Alah!

Seringkali sepasang mata yang dinaungi alis lebat itu singgah pada wajah Anna, menghujam dan berakhir dengan sinar mata mesteri. Anna tak mengindahkannya biasa saja. Bukankah pak Edwing juga memandang dengan cara seperti itu pada yang lain.

Tapi pria muda bertubuh tinggi, tegap tampan, jantan, kharismatik, cemerlang membuat Anna berpikir-pikir.

Kesan mendalam tentang pria muda itu tersimpan di otaknya.

Usai meeting Anna bergegas ke ruang kerjanya. Meneguk segelas air putih dan menghempaskan pantatnya pada

kursi yang empuk dan bisa berputar mengikuti kemauan siapa saja yang duduk di atasnya.

"Uch."

Anna menghembuskan napas, begitu saja hadir wajah tampan dan muda di pikiran. Senyum yang melelehkan

setiap perempuan, rambut yang lebat kemilau rapi, bidang dada tempat bersandar yang nyaman serta lengan-lengan yang kekar kokoh tempat bergantung kehidupan yang menjanjikan.

"Ach! hanya perempuan bodoh dan kuat iman saja yang tidak merasakan ketertarikkan itu."

Dan menurutnya dia adalah perempuan yang lemah iman.

"Hi melamun ya?"

Bu Yuliana menyelinap mencolek dagu.

“Sok tau! seperti biasa aku tengah berpikir untuk peluang baru.”

“Ngapain pusing, Pak Edwing Leonardo Peire sudah punya terobosan baru. Memboroskan pikiran saja, mau ikut makan siang?”

“Di mana?”

“Terserah ibu saja, namanya juga ditraktir."

“Di traktir bu Arnolfine?”

"Yes."

"Dia nggak ikut meeting tadi."

"Mana pernah mau ikut meeting seperti itu, yang benar saja."

"Iya juga, tadi pun sudah mau pulang."

"Huh! apa jabatanmu berani nggak mengikuti meeting dan morning call."

"He he he, kalau senior bisa suka-suka ya."

Ibu Arnolfine adalah senior mereka di perusahaan itu.  Sekaligus pimpinan team mereka. Ia Wanita bernaluri bisnis yang tinggi, berkomitmen, tegas sekaligus baik hati. Karena royal dan sering mengajak berpesta dan makan enak di berbagai tempat makan. Tapi tentu saja dengan persyaratan, telah memenuhi target yang ia minta.  Tidak ada yang namanya makan siang atau malam gratis.

Beruntung sekali Anna, meski ia sosok yang tak meyakinkan, toh dirinya  cukup sering berkontribusi sehingga selalu ikut setiap kali bu Ofin, panggilan sayang mereka ada pesta. Atau sekedar makan siang. Kali ini pun Ia dan bu Yuliana menyusul rombongan bu Ofin yang telah duluan ke luar kota.

Ketika sampai di rumah makan dan saat menunggu hidangan, mereka membicarakan bos baru mereka. Di luar dugaan bu Ofin memiliki pandangan yang berbeda terhadap pak Edwing.

"Dia itu lulusan luar negeri, sekolah bisnis di Jerman. Lihat saja bagaimana ia menata ulang kantor yang tadinya monoton menjadi segar dan keren. Ia pasti bisa mengembangkan kantor Ungu lebih maju dan berkembang."

Luar biasa sekali, ibu Arnolfine yang biasanya tidak pernah memuji siapa pun kali ini memberikan komentar pujian. Semoga saja dibawah kepemimpinan pak Edwing Leonardo Pieere, Dipl.Ing. Perusahaan maju pesat. Aamiin.

 

 

Bersambung

Taraaaa! Karya baru Othor nih, dukung othor ya teman-teman beri like, komen, serta bintang lima ya

Othor sangat berterima kasih.

 

 

Chapter 2. Pertengkaran

Pagi jam delapan,  Anna dan teman-temannya sudah berada di kantor. Pimpinan agency mereka yakni  ibu Arnolfine selalu menekankan untuk berangkat pagi-pagi ke kantor agar terhindar dari kesialan.

"Pagi Bu Anna, dipanggil pak Edwing ke ruangannya."

Saat Anna melewati ruangan mba Admin, ia mendengar pemberitahuan itu.

"O, ok makasih mba."

Anna bergegas ke ruangannya di atas. Meletakkan tasnya dan segera ke ruangan pimpinan yakni pak Edwing. Pria muda dengan penampilan rapi serta berkharisma.

Tok tok tok

"Assalamualaikum, selamat pagi pak."

Anna mendorong pintu setelah terdengar sahutan pria bosnya yang menyuruh masuk, mereka bertatapan. Anna merasakan suasana dingin serta mencekam. Wajah pak Edwing berbeda dengan kemarin saat mereka meeting. Pagi ini dingin dan angker.

“Silahkan duduk!"

Anna lantas duduk di hadapan pria itu. Ia menyilangkan kakinya di bawah meja. Ia mencium wangi parfum yang menggoda. Sudah lama ia tak mencium aroma parfum laki-laki, membuatnya agak terguncang.

Setelah meminggirkan pekerjaannya, pak Edwing mengangkat wajahnya dan langsung menatap dengan menusuk menembus tubuhnya.

"Ibu Anna sudah lama bekerja di perusahaan ini?"

Tanyanya tiba-tiba seperti seorang kepala polisi yang mengintrogasi pencuri. Anna mengangkat wajahnya dan bertemu tatap. Ia berusaha melawan tatapan itu.

"Sudah pak. saya bergabung di sini sejak tahun 2008, jadi sekitar tiga belas tahun."

Pak Edwing membetulkan duduk, menyipitkan mata dan meraih semua kewibawaan seorang pimpinan hingga perempuan di depannya jatuh kedalam pengaruh kharismatik seorang bos.

“Bu Anna, setelah mengevaluasi semuanya, saya bermaksud menghapus divisi yang ibu pimpin. Ada beberapa alasan. Diantaranya kebijaksanaan perusahaan dalam hal keefektifitasan pekerjaan. Saya melihat divisi ibu paling lemah dan tidak produktif."

Suara itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Anna membesarkan matanya tak percaya.

“Paling lemah? Maksud Bapak bagaimana?”

“Ibu lihat saja pencapaian team ibu, agaknya semua orang tengah tertidur, ibu bekerja sendiri dan hasilnya

sangat jauh dari target, apa ibu tidak menyadari hal itu?”

Laki-laki muda itu memperlihatkan angka-angka pencapaiaannya di dalam tahun demi tahun. Kenyataan yang diperlihatkan di depan mata membuat tubuhnya serasa dijatuhi batu es berton-ton. Dingin, perih dan menyakitkan.

"Ta-tapi beberapa tahun yang lalu saya mencapai target kok pak, hanya setahun belakangan ini. Karena di sebabkan wabah pak, dan bukan saya saja."

Anna membela diri. Suaranya meninggi. Ia dan beberapa teman lainnya telah terpengaruh ibu Ofin yang selalu tak mudah menerima begitu saja. Mereka dibiasakan untuk berdebat.

"Dua tahun ini tidak ada pencapaian yang berarti, saya memutuskan akan menghapus divisi ibu!"

Tegas dan mematikan tanpa kompromi.

“Bapak mau menghapus divisi saya, lalu s-saya?”

Anna tak sanggup meneruskan. Sesaat yang lalu ia demikian percaya diri saat menghadapi laki-laki pimpinan baru itu. Saat berikutnya ia seperti tikus got yang naik ke jalanan. Laki-laki tampan dan keren itu seketika membuatnya melemah dan tak berarti.

“Bu Anna tidak perlu cemas, masih bisa bekerja tanpa team rapuh ibu itu."

"Apa bapak pikir mudah membangun sebuah team? saya dengan susah payah meniti dan menatanya pak! dengan pikiran, tenaga, waktu juga dana yang tidak sedikit. Kemudian bapak datang dan begitu saja ingin menghapusnya! heh! saya tak bisa terima pak!"

Anna mengelegar. Ia harus mempertahankan bisnisnya, hal itu yang terpikir.

Laki-laki itu terlihat mengepalkan jemarinya. Wajahnya menegang, matanya menghujam ke wajah Anna. Tapi wanita itu tak memperdulikan bahwa pak Edwing tak pernah dibantah.

"Setidaknya bapak memberi waktu agar saya memperbaiki team saya! tidak mendadak menghapus begitu saja."

"Arrgghhh!!!"

“Untuk apa Bu Anna? Membuang energi saja!”

Keduanya bersitegang tapi pak Edwing serta merta mengetukkan palu.

“Team ibu sudah parah! tidak akan bangun lagi!”

“Bapak tega sekali berkata seperti itu!”

“Ini kenyataan bu Anna, dan ini bisnis! bukan sekedar persinggahan dan batu loncatan, ibu harus hadapi kenyataan.”

Keras sekali suara pak Edwing, dan ia menikmati keputusannya. Wajahnya mendongak memperlihatkan kearoganan seorang bos.

"Bapak tidak bisa begitu saja menghapus divisi saya, bukan wewenang anda!"

Anna melebarkan matanya, ia setengah berteriak.

"Bu Anna! saya pimpinan di kantor ini, dan saya berhak mengatur semuanya dibawah kendali saya, ingat itu!"

Pak Edwing berteriak. Wajahnya yang tampan berubah menyeringai dan memgerikan.

"Apa bapak lupa? saya bukan karyawan perusahaan, melainkan mitra!"

Anna menatap tajam telak laki-laki di depannya.

"Oh begitu! saya kesini untuk bekerja memperbaiki perusahaan, jika saya anggap team ibu Anna tidak sesuai dengan kebutuhan bisnis, saya berhak membubarkannya!"

Anna menggigit bibir, ia terlihat gemetar. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan bergegas meninggalkan ruangan pak Edwing. Rasanya ia ingin meledak oleh kemarahan.

Semula betapa ia terpukau oleh semua yang dilakukan pak Edwing. Suasana kantor yang segar serta ceria. Tak terduga teamnyalah yang pertama di hantam tanpa perasaan.

"Oh, hancur! hancur! semuanya."

Anna menghentakkan high heelnya ke lantai menimbulkan bunyi tok tok tok yang keras di lantai. Ia naik ke lantai atas menyambar tasnya dan bergegas meninggalkan kantor. Meremas-remas jemari, kebiasaan jika ia sedang gundah, marah ataupun kecewa.

"Jeng! Jeng mau kemana?"

Niki dan Yuliana yang ruangannya berdekatan melihatnya yang tergesa.

"A-aku keluar dulu!"

Anna memaksakan senyum di bibirnya, lantas melambaikan tangan menuruni tangga dengan hati yang hancur.

Pria muda itu baru saja datang ke tempat itu dan mengubah dunia kerjanya, seenak perutnya sendiri. Memangnya mudah bertahan di dunia kerja seperti itu?

"Uch!"

Anna  meremas tas kerjanya di dada. Ada yang ingin runtuh dari dalam dirinya.

“Bu Anna mau kemana?"

Mba Ratna Dumilah menyapa saat berpapasan di pintu masuk, agaknya ia baru saja dari Bank di sebrang kantor.

“Ada perlu mba.”

Sahut Anna menyembunyikan sakit dan hatinya yang terluka.

Brakk!

Suara  pintu mobil yang terbanting serta starter diikuti raungan keras di tempat parkir.

"Memangnya Dia siapa? Beraninya mengusik dan membubarkan divisiku!"

Anna mengigit bibir. Tak ada yang bisa dipikirkan saat seperti itu kecuali melampiaskan kekesalannya  pada mobil yang tak bersalah. Ia  menginjak gas, membuatnya meraung-raung hingga beberapa orang yang berada di dekat parkir berpaling.

Masih melekat kuat perkataan Pak Edwing

“Saya bermaksud meniadakan divisi ibu, bla bla bla."

"Team ibu terlemah diantara yang lain, terlemah!Terlemah!! tidak produktif!"

Lemahhh mah! mah! menggema di kepalanya.

"Oh, tidak!"

Anna terisak-isak di atas setir, sama sekali tidak mengindahkan keselamatannya dan orang lain, hingga

klakson mengingatkan dirinya karena keluar jalur.

“Iyaaaaa! aku minggir!"

Teriaknya sengit dan memberi jalan pengendara di belakang untuk mendahului,

“Kalau ngantuk tidur dulu Bu!”

Si pengendara sempat-sempatnya membuka jendela mobil dan berteriak padanya.

“Aku bukan mengantuk bodoh! aku sedang kesal setengah mati!"

Rutuknya kesal.

Ya Rabb kedatangan bos baru itu merupakan kehancuran baginya. Di balik wajah tampan mempesona itu

ternyata ada sebongkah hati yang kejam tak berperasaan. Senyum hangat seperti mentari pagi itu. Senyum yang

membuat pipinya berlubang menggemaskan.  Ternyata hanya racun berbisa kedok menutupi kekejamannya.

Huh!

Sementara Edwing mengelus dagunya sendiri.

"Aku sudah melakukan tugasku yang pertama."

Ia menggigit bibir, hampir saja ia gagal karena ia dan Anna sempat bersitegang tentang

keputusan.  Ia hanya ingin menolong dari Anna dari anggota team yang tidak memberikan kontribusi.

Sayang sekali Anna tak mengerti maksud baiknya, semoga setelah amarahnya mereda ia datang kembali

memohon bimbingan untuk melakukan pekerjaan selanjutnya yang diharapkan membawa kemajuan baik bagi

Anna istimewa untuk perusahaan.

Edwing mengigit bibir lantas meraih bungkus rokok di atas meja dan bergegas keluar.

Ia tau ia sudah melukai perasaan seorang perempuan, membuat  bu Anna rekan kerjanya menangis. Ia ingat sekali

kelopak mata Anna di penuhi air mata saat ia mengucapkan kebenaran demi kebenaran yang terpapar jelas

dalam kertas laporan kerja. Bibir ketipisan miliknya gemetar dan suaranya tersendat saat berusaha menyelamatkan

divisi serta teman-temannya, tapi ia tak membiarkan hal itu.

"Tega sekali bapak berkata seperti itu! tega! tega! Ga ga ga ga!"

Bibir yang mengucapkannya itu entah kenapa membuat jantung Edwing gemeletar, mata yang terbelalak serta

sikap tubuh yang menampakkan kejengkelan. Sama sekali bukan temperamen lemah dan tak berdaya, juga

bukan perempuan yang dengan begitu mudahnya menerima keputusan. Ia pikir akan sangat mudah!

ternyata ada sisi perempuan itu yang juga keras.

Edwing menghembuskan kepulan asapnya ke udara, tergiang suara bu Anna yang membantah keputusannya. Terus terang ia nyaris kehilangan muka oleh kata-kata perempuan itu. Ia memang tidak berwenang. Tugasnya adalah membantu setiap team untuk sukses.

"Bapak tega! tega sekali!"

"Saya tak sangka bapak  sekejam ini! Kejam! Kejam! jam jam jam."

Edwing mengeleng-gelengkan kepalanya. Ia melakukan hal itu untuk membantu. Tapi berubah menjadi tragedi pertama di hari-hari pertama ia bertugas.

 

Bersambung

Jangan lupa dukung othor yaa dengan likenya, komennya, votenya dan juga bintang limanya. Othor sangat berterima kasih.

Chapter 3. Aku Benci Kepadamu

Sejak kejadian itu Anna membenci pimpinannya. Malas dan kehilangan semangat untuk berangkat ke kantor. Selalu teringat pertengkaran antara dirinya dan Pak Edwing. Sangat membekas dan menyakitkan. Lebih baik ia  menghindar dan membolos ke kantor.

Bagaimana tidak? selama tiga belas tahun  bekerja di perusahaan itu, baru kali ini ada yang mengusik. Dan dia adalah pria muda yang mungkin saja pengalamannya kurang. Hanya saja keberuntungan berpihak kepadanya. Menjadi pimpinan! itu saja. Anna yakin belum tentu pria itu bisa bekerja sepertinya.

"Lihat saja nanti bahwa anda membutuhkan saya!"

Anna menghapus air mata yang sempat mengalir jatuh ke pipinya. Jiwanya berontak terhadap perlakuan arrogan serta semena-mena dari bos baru itu.

"Anda pikir mudah membina sebuah team dari sejumlah orang-orang yang berbeda? Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali saya. Tidak ibu Juliana, Niki, Rosa, Betty, Cila bahkan juga ibu Arnolfine!. Mereka hanya bisa bekerja sendirian. Tidak dengan team. Hanya saya yang melakukannya."

"Anda tidak tahu, saya telah bekerja siang dan malam membina dan membimbing anggota team. Banyak yang telah saya korbanlan. Waktu, tenaga, pikiran bahkan uang. Saya berusaha membina mereka bukan hitungan hari dan bulan bahkan bertahun-tahun. Dan anda begitu saja membubarkan team saya dalam hitungan menit! arrrgh!"

Anna sangat marah dan terluka. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan menuju ke puncak. Ia menyandarkan kepalanya pada setir. Ia berusaha tak menangis. Namun tetap saja air mata membanjiri kelopak mata hingga tak bisa menampung dan mengalir ke pipi.

"Keterlaluan Dia!"

Anna memukulkan kepalan tangannya pada tembok pembatas jalan.  Menimbulkan bekas kemerahan yang perih.

"Seenaknya mengusirku dari perusahaan setelah aku memberikan hidupku di sana."

Anna  menunduk, kelopak matanya kembali  digenangi air mata. Ia membenci pak Edwing yang baru saja

datang ke perusahaan itu.

"Ya Tuhan aku membencinya!"

Tak ada yang perlu dikerjakan di sana, ia sudah kehilangan kursinya dan orang-orang yang dipimpinnya.

Meski sebenarnya pak pimpinan hanya menghapus devisi saja, ia toh masih bisa bekerja di bagian lain di perusahaan itu.

"Tidak! aku tak akan ke kantor lagi!"

Anna gemas sekali pada laki-laki yang semula membuatnya kagum, namun berakhir dengan kebencian

Sekarang ia merasa tidak memiliki ikatan apa pun. Ia hanya akan menyuruh mba Ratna Dumilah untuk

mengurusi administrasinya.

Biasanya pagi-pagi Anna telah berangkat ke kantor. Tapi kali ini ia terbengong dikesunyian rumah. Kedua anaknya yakni Jessika dan Januareza baru saja berangkat ke sekolah mereka dengan mobil jemputan. Anna sangat menyukai pekerjaannya, itu adalah salah satu kebahagian juga kebanggaan baginya. Sejak remaja ia sudah merencanakan bahwa ia akan bekerja di perkantoran. Mengenakan kemeja-kemeja yang bagus. Rok berbagai model, blazer, jas serta pasmina yang membuatnya tampak gaya serta keren. Tas kerja hingga sepatu-sepatu tinggi yang memberi kesan seksi.

Anna tidak mau berdiam diri di rumah, menunggu suami pulang, mengurus rumah dan anak-anak. Pakaiannya hanya daster atau gamis. Ia takut membayangkan dirinya hanya menjadi ibu rumah tangga, melayani suami, melahirkan, menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia.

Sebab itu Anna mencari pekerjaan yang bisa ia atur sendiri waktunya. Beberapa tahun lalu setelah ia menyelesaikan akademiknya, ia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginanannya. Ia menjadi mitra sebuah perusahaan multi nasional dan dengan tekun serta bekerja keras hingga akhirnya bisa menjadi seperti sekarang.

Sudah  banyak yang ia dapatkan. Rumah mungil minimalis, mobil, motor serta perabot rumah yang beli satu demi satu dari komisi serta bonus tahunan. Meski begitu anak-anaknya masih kecil, ia masih ingin bekerja di perusahaan yang sudah memberinya banyak. Hanya saja pria menyebalkan itu telah mematahkan dirinya.

Anna berusaha melupakan problem yang  menerpa dirinya. Ia membereskan rumah, memeriksa isi kulkas dan berencana  ke swalayan. Hanya belanja dan memasak yang bisa mengalihkan dia  dari ingatan pada  pria arrogan yang merubah hidupnya. Ia bisa melupakan kebencian pada pria di kantor.

Setelah berbelanja mungkin ia bisa ke salon, memotong rambutnya yang mulai panjang, spa menikmati pijatan-pijatan dengan aroma therapi yang membuat tenang gejola jiwanya. Anna tak mau membuang waktu dengan memikirkan kantor dan pria muda yang bernama Edwing Leonardo Pierre,Dipl.Ing. Persetan dengannya!

Anna gemas sendiri.

Satu hari, dua, hingga seminggu Anna tak menampakkan hidungnya di kantor. Teman-temannya mulai bertanya-tanya. Bukankah biasanya Anna paling rajin ke kantor. Ada juga mereka mendengar selentingan itu. Niki dan Juliana berinisiatif  menelpon Anna. Mereka bertiga janjian bertemu untuk membahas apa yang terjadi.

"Jeng, kita ketemuan ya. Sambil makan malam di strowberry restoran,ok."

Semula Anna menolak. Tapi Juliana meyakinkan bahwa mereka tidak akan ikut campur, hanya berbincang-bincang saja sebagai teman yang dekat.

"Baiklah."

Putus Anna. Bagaimana pun seseorang memerlukan tempat berbagi masalah. Bukankah Niki juga menelponnya ketika membutuhkan teman. Begitu juga Juliana, mereka bertukar  pikiran tentang masalah yang mereka hadapi.

"Ya begitu Jeng, masak si pak tamhar itu membubarkan team blessing sapphire milikku."

Kata Anna berapi-api saat ketiganya telah bertemu dan tengah menunggu menu yang telah dipesan.

"Pak tamhar tuh siapa? kayaknya nggak ada loh di perusahaan nama itu."

Sambar Juliana.

"Ih itu, pak Edwing si tampang harimau!"

Niki dan Juliana tergelak mendengarnya. Jika marah memang begitulah, ia memberikan julukan sesuka hatinya.

"Nggak bisa begitu. Pak Edwing salah. Karena kita bukan karyawan melainkan mitra, nggak berhak dia menghapus kebijakkan agency."

"Nah benarkan? aku juga udah berdebat dengan si tamhar itu. Tapi tetap saja ia bilang bahwa sekarang kantor berada di bawah kendalinya, ia bisa berlaku sesukanya."

"Bagaimana menurutmu jeng?"

Juliana menolehi Niki yang sedang membalas pesan.

"I-ya jeng sebentar ya, ini anak saya mau pamit keluar."

"Menurut saya mending bicarakan dengan bu Ofin, nanti dia yang bicara sama pak Edwing jeng. Ibu Ofin bagaimana pun adalah pimpinan kita, pimpinan agency."

"Iya, bener jeng. Daripada didiamkan begini, kan yang rugi jeng Anna sendiri,"

Mereka bertiga panjang lebar membicarakan masalah yang terjadi pada Anna. Sekiranya penyelesaian yang terbaik. Anna setuju saja ketika Niki dan Juliana membicarakan masalah Anna pada ibu Ofin pimpinan agency di perusahaan itu. Setelah puas menikmati makan malam, ketiganya pulang.

Setelah pembicaraan Anna dengan Niki dan Juliana tidak ada yang terjadi. Agaknya mereka mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan ibu Ofin. Sebagai seorang wanita pebisnis tak mudah menemuinya. Waktunya padat dengan berbagai agenda. Selain ia harus mendampingi ibu walikota mengurus berbagai program. Ia juga harus terbang ke berbagai kota untuk berpresentasi. Pokoknya sulit bertemu dengan ibu Ofin.

Dua minggu berlalu. Sampai ia terkejut saat ia memeriksa ada panggilang dari kantor sebanyak 20 kali. Anna juga takjub melihat ada pesan masuk dari nomer tak dikenal.

"Selamat siang bu Anna, ada hal penting yang perlu dibicarakan, saya menunggu ibu Anna hari ini,"

Anna melihat profile yang ternyata di sana tertulis, Edwing. Buru-buru Anna menutup handphone. Ia tak berminat membalas. Malah ia menyambar kunci mobilnya dan bersiap pergi menjemput Jessy di tempat kursus."

"Loh, Mama kok jemput Jessy? Biasanya mama super sibuk,"

Gadis kecilnya terheran-heran.

"Ah! kamu ini bikin mama serba salah, mama menyempatkan waktu salah, tidak sempat juga salah."

Anna cemberut.

Ha ha ha, gadis kecil itu tertawa melihat wajah mamanya merajuk jelek sekali.

"Mam, mampir ke gramedia ya sebentar," Jessy menolehi  Anna."

"Bukannya baru beli buku Doraemon minggu lalu?"

Jessy memajukan bibirnya, pertanda bakal merajuk jika tak dituruti. Sedikit terpaksa akhinrya Anna menuruti putri kecilnya itu. Lagi pula Jessy rajin membaca meski baca komik. Biarlah saat ini sekedar latihan membaca dan hiburan bagi putrinya. Nanti  sedikit demi dikit ia akan  mengarahkan bacaan yang lebih bagus.

"Ayo lah, mama juga mau cari buku."

"Asyik, beli buku baru."

"Hem, dari pada beli boneka barbie."

Anna membatin, ia menipiskan bibir dan menyipitkan matanya.

Jessy segera berlari ke tempat biasa ia mendapatkan komik kesukaannya Doraemon. Gadis kecil itu mencari-cari nomer yang belum ia miliki.

Anna mengikuti dan berdiri tak jauh dari Jessy, ia memilih-milih buku motivasi.

Beberapa menit ia asyik memilih-milih. Sampai ia mendengar suara Jessy yang bicara dengan seseorang.

"I-ini buku Aku Om!"

Ia setengah berteriak, pada seorang laki-laki yang tiba-tiba mengambil bukunya.

"Coba kamu cari lagi, kan banyak. Om buru-buru."

"Om aja yang cari! aku juga buru-buru, mamaaa!"

Anna serta merta berbalik dan jantungnya gemuruh melihat laki-laki yang sangat ia benci.

Ia mendatangi Jessy dan membesarkan matanya.

"Mama, om itu mengambil buku yang sudah kupilih! Dia seenaknya Ma!"

Anna menatap pria tinggi menjulang di depan Jessy. Ia membesarkan matanya, lantas seperti seekor burung walet ia menyambar buku di tangan pria itu, lalu menarik lengan Jessy pergi.

Edwing tercekat. Ia tak menduga kalau gadis kecil yang ia ambil bukunya adalah putri Anna, sebab ia jelas sekali mendengar anak kecil itu memanggil Anna dengan Mama.

"Ibu Anna tunggu!"

Pria itu bergegas mengejar Anna dan anaknya. Terlihat Anna sudah maju ke meja kasir dan membayar. Lalu dengan cepat pergi membawa jessy.

Edwing melihat kemarahan di mata perempuan itu. Bahkan ia tak mengangkat telepon dan membalas pesan darinya. Pria itu putus asa. Ia harus membicarakan tentang bisnis mereka. Bagaimana pun ia mesti bisa bicara dengan Anna. Maka ia terus mengikuti Anna, setengah mengejarnya. Sesekali ia lihat putri kecil Anna menolehinya dengan mata terheran-heran.

"Pak satpam tolong hentikan mereka!"

Tiba-tiba Edwing berteriak, membuat satpam di pintu gerbang menghentikan Anna dan anaknya. Pria muda itu terengah-engah menghampiri Anna. Ia tak bisa melewati pintu yang dijaga dengan tali rantai yang terpasang.

"Bu, kita harus bicara."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan pak! saya bisa mencari pekerjaan lain kok, silahkan hapus saja blessing Sapphire dari perusahaan. Saya nggak masalah."

Edwing menghela napas.

"Iya, ibu harus menanda tangani beberapa dokumen mengenai penghapusan itu."

"Anda saja yang menanda tanganinya, toh itu kemauan anda."

"Bu Anna, jangan keras kepala. Besok saya tunggu ibu di kantor. Hargai saya ya Bu."

Suara laki-laki itu menggelegar membuat beberapa orang memperhatikan mereka. Anna menjadi malu menjadi tontonan. Bahkan ada yang sudah mengarahkan handphone ke mereka.

"Pak, tolong buka! biar kami bicara di luar."

Anna setengah memaksa. Akhirnya pak satpam menyingkirkan penghalang. Anna buru-buru pergi.

Edwing merasa ia tak bisa memaksa perempuan itu. Terlihat kalau Anna perempuan yang keras kepala dan pembangkang. Ia hanya menatap sosok ramping berisi yang tergesa menghindar darinya.

 

 

 

 

Bersambung

 

Hello, jangan lupa beri like, komen, bintang lima, vote juga ya. Author sangat berterima kasih.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!