Pernikahan 2 Musuh Abadi

Pernikahan 2 Musuh Abadi

Membalas dan Terbalas

Di ruang tamu duduk dua keluarga yang saling bersitegang. Mereka menatap sepasang muda mudi yang kini duduk di hadapan kedua orang tua mereka. Keduanya hanya menunduk. Tak ada yang berani bersuara. Kedua tersangka utama ini hanya bisa pasrah menerima hukuman yang akan mereka terima. Entah apa hukumannya, mereka harap keadaan seperti ini segera berakhir. Mereka seperti berada di dekat gunung berapi yang siap meletus kapan saja.

"Kalian berdua benar-benar....!!!" Geram Lesmana, Ayah dari pihak perempuan.

"Tenang Yah, nanti sakit jantung Ayah kumat lagi!" Kata Nadine, istrinya, menenangkan.

"Bagaimana bisa tenang Bu setelah melihat kejadian tadi? Lihat apa yang telah putri kesayangan Ibu itu lakukan. Benar-benar memalukan!"

Semua terdiam. Tak habis pikir dengan jalan pikiran anak mereka masing-masing. Ya, mereka jelas tahu bahwa sejak kecil kedua anak mereka tidak pernah akur tapi semua tidak menyangka akan sampai sejauh ini permusuhan mereka.

Mereka sudah besar tak lagi sebagai dua bocah kecil yang bisa berbuat seenaknya. Seharusnya keduanya bisa berpikir sebelum bertindak. Apa konsekuensi dari apa yang mereka perbuat. Akan berdampak baik atau buruk untuk ke depannya. Tapi tidak untuk dua anak muda ini. Dengan seenaknya membuat kerusuhan dan menyebabkan nama kedua keluarga dipermalukan.

"Bagaimana ini Mas? Kami dari pihak perempuan pasti akan lebih dirugikan. Apalagi dengan pernyataan anak Mas tadi. Siapa yang mau menikah dengannya nanti?" Kata Lesmana yang ditujukan kepada Ayah pemuda itu.

"Kita nikahkan mereka berdua. Secepatnya!" Jawab tegas Rama, Ayah pemuda itu.

Semua orang tua setuju tapi tidak dengan mereka yang menjadi biang keroknya.

"Apa?" Teriak keduanya bersamaan.

"Aku tidak mau menikah dengannya!" Lagi-lagi bersamaan. Mereka pun saling tunjuk satu sama lain.

Kedua orang itu adalah Mandala dan Emilia.

*Flashback on*

Di sebuah restoran, Emilia sedang berkumpul dengan teman kerjanya. Hari libur begini, seperti biasa mereka para jomblowati memilih untuk hang out bersama para kaumnya. Sedih iya, karena kadang hinaan kerap mereka dapatkan karena status mereka yang masih jomblo. Bukan karena mereka tidak cantik tapi standart mereka yang terlalu tinggi. Mereka tidak ingin asal dalam memilih pasangan walaupun hanya untuk sekedar pacaran. Untuk itu demi mengisi waktu libur, mereka memilih untuk berkumpul. Bersenang-senang bersama.

Di ruang yang sama dengan nomer meja yang berbeda, ada sepasang kekasih yang tampak begitu bahagia. Mereka tertawa tanpa dosa seakan dunia hanya milik keduanya sedangkan yang lain cuma ngontrak.

Teman-teman Mili, panggilan Emilia, terus memperhatikan keduanya.

"Cih, sok romantis sekali mereka. Enek denger ketawanya. Seperti dibuat-buat. Apalagi ceweknya itu, terlihat sekali dibuat-buat!" Salah satu teman Mili berucap tak suka.

"Sudah biarin saja. Itu hak mereka. Kamu begini mungkin karena kamu merasa iri." Ucap bijak teman yang lain.

Emilia berada disana bersama kedua sahabatnya. Dinda dan Septa, itu nama keduanya. Dinda lebih banyak bicara. Apapun selalu ia komentari. Berbeda dengan Septa, ialah yang paling bijak diantara semua.

"Enak saja. Iri, enggaklah. Sembarangan kalau ngomong!" Dinda tak terima.

Keduanya hanya menyautinya dengan tawa. Mereka berdua suka sekali melihat Dinda saat sedang kesal. Wajahnya sangat lucu dan itu menghibur sekali.

"Aku ke toilet dulu ya!" Pamit Mili beranjak berdiri dan tanpa sengaja menabrak seseorang saat dia berbalik badan. Mereka saling berbenturan bahu.

"Auwww...!" Pekik keduanya sambil mengelus bahu mereka yang sakit.

"Hei, punya mata nggak sih. Kalau jalan tu lihat nggak main tabrak aja!"

Suara itu sangat familiar di telinga Mili. Terang saja karena saat ini yang sedang berbicara adalah musuh abadinya. Padahal bukan dia yang ditabraknya tapi justru dia yang nyolot nggak terima.

"Nih mata kalau belum jelas!" Tunjuk Mili matanya sendiri. "Lagian kenapa kamu yang sewot? Yang aku tabrak aja dari tadi diem aja tuh!"

"Karena aku nggak terima. Dia ini kekasihku. Jadi, aku harus melindunginya dari pengacau sepertimu ini!"

"Hah..hah...nggak salah. Bukankah kamu yang selalu jadi pengacaunya?"

"Kau ini...!" Seperti biasa, tak ada kata rukun di antara keduanya.

"Apa?" Mili tak kalah menantang.

"Sudah, Yang, aku nggak papa. Kita pergi saja!" Ajak kekasih Mandala. Mencoba melerai pertengkaran tak mutu mereka.

Mandala mengangguk. Namun sebelum pergi seringai jahatnya timbul. Kata-kata pedas terlontar dari mulutnya yang akhirnya justru mengacaukan hidupnya.

"Lihatlah. Perempuan itu harus lemah lembut seperti ini biar cepet laku. Nggak kayak dirimu. Kasihan umur segini pacar pun belum punya. Makanya jadi perempuan jangan galak-galak. Jauh jodoh!"

Di depan banyak pengunjung restoran dengan mudahnya Mandala berkata seperti itu. Menghina Emilia. Menjadikan mereka pusat perhatian. Menahan setiap gejolak amarah di hatinya, Mili mengepalkan tangannya.

"Minggir!" Mandala dengan kasarnya mendorong tubuh Mili agar dia dan kekasihnya bisa lewat.

Dengan senyum penuh kemenangan Mandala melangkah meninggalkan Mili yang masih terdiam.

Aku akan membalasmu. Kau bilang aku tidak laku. Lihat saja siapa yang bakal nikah duluan, batin Mili.

Plok...plok...plok...Mili bertepuk tangan membuat semua kembali menatap padanya termasuk Mandala dan kekasihnya.

"Bagus. Kuakui kamu memang aktor yang baik. Setelah puas denganku, kau mencampakkan aku begitu saja. Menghinaku di depan kekasihmu dan semua orang disini. Tak ingatkah dirimu pada malam-malam indah yang sudah kita lewati berdua? Setelah kamu bosan, kau campakkan aku begitu saja. Dulu aku terima dan diam saja tapi tidak untuk sekarang!" Emilia berkata penuh penjiwaan.

"Dan kau, kuharap kamu berhati-hati dengan kekasihmu ini. Kita berdua sama-sama wanita, aku tidak ingin apa yang kualami terjadi juga padamu nantinya. Habis manis sepah dibuang!"

"Ja-jadi kalian dulu sepasang kekasih!" Emilia mengangguk.

"Tidak sayang, dia bohong!" Kinan tak percaya, kekasih Mandala itu geleng kepala.

"Dan kalian juga sudah berhubungan sejauh itu?" Sekali lagi Mili mengangguk.

"Hei, jangan bohong!" Mandala menatap Mili tajam.

Plak...sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Mandala.

"Kita putus. Aku akan bicara dengan orang tuaku untuk membatalkan rencana pernikahan kita. Aku tidak ingin menikah dengan pria brengsek sepertimu!" Kinan pergi begitu saja.

"Kinan tunggu. Dia berbohong. Aku tidak pernah melakukan apapun dengannya. Percayalah!" Pinta Mandala. Dia terus berteriak mengejar Kinan.

Mandala menarik tangan Kinan. Memaksa Kinan untuk berhenti agar dia bisa menjelaskan semuanya namun segera dihempaskan dengan kasar oleh Kinan.

Kinan melambaikan tangannya menghentikan sebuah taksi yang melintas di hadapannya. Buru-buru masuk dan langsung meminta sang sopir untuk segera melaju pergi.

"Kinan, tunggu!" Usaha Mandala gagal. Kinan telah pergi.

"Shittt!" Mandala mengumpat. Ini seperti senjata makan tuan baginya. " Tunggulah pembalasanku!"

***

Di dalam restoran, Emilia dan Dinda temannya tertawa puas. Bukannya mendukung kebohongan temannya tapi dia ikut tidak terima temannya dipermalukan begitu. Di depan umum lagi.

"Mili, kau memang temanku ter the best lah. Ku akui jiwamu...!!!" Ucapan Dinda terpotong.

"Terganggu!" Lanjut Septa seenak jidatnya.

"Kamu mengataiku gila?" Mili menunjuk dirinya sendiri.

"Kalau bukan gila lalu sebutan apa yang pantas untukmu. Aku memang tidak terima pria itu menghinamu tapi kamu juga keterlaluan. Bagaimana kalau mereka beneran putus?"

"Mana gue pikirin. Hahaha....!" Mili dan Dinda justru terbahak. Tak menyadari ada sepasang mata yang menatap Mili penuh amarah.

"Tunggulah pembalasanku!" batin orangnya.

***

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian di restoran itu. Malam hari setelah kejadian di siang itu, orang tua Kinan bertandang ke rumah Mandala. Rencana pernikahan Mandala dan Kinan pada akhirnya dibatalkan. Mandala bertekad akan membalas semua ini pada Emilia.

Malam ini orang tua Mandala mengajak anak mereka untuk makan malam di luar. Awalnya Mandala menolak. Dia sedih. Dia patah hati. Dengan gigih kedua orang tua Mandala berhasil mengajak anaknya itu. Mereka tidak ingin melihat anaknya terus larut dalam kesedihan. Beberapa hari ini Mandala kurang tidur dan susah makan.

Melangkah dengan tak bersemangat Mandala mengikuti kedua orang tuanya memasuki sebuah restoran. Tatapan Mandala langsung berbinar saat melihat pemandangan di depannya. Saatnya tiba juga, batinnya.

"Mas Rama!" Panggil Lesmana saat melihat orang yang di kenalnya.

Rama menoleh saat ada seseorang yang memanggilnya. Rama dan Sinta, istrinya, berjalan menghampiri saat Lesmana melambaikan tangannya.

"Nggak nyangka bisa bertemu Mas Rama disini!" Sapa Lesmana menjabat tangan Rama kemudian mereka berpelukan. Disusul dengan para istri mereka yang melakukan hal yang sama.

Emilia mencium tangan Rama dan Sinta bergantian sebagai tanda hormat. Tapi tatapan permusuhan langsung ia perlihatkan saat menatap musuh abadinya. Mandala.

Mandala pun melakukan hal yang sama terhadap kedua orang tua Emilia. Mencium tangan keduanya. Ia masih menjaga sopan santun walau begitu membenci anaknya.

"Ayo Mas, bergabung disini saja. Jarang-jarang kita bisa makan bersama!" Ya Lesmana dan Rama sudah berteman lama karena mereka bertetangga. Rumah mereka masih di blok yang sama. Hanya saja rumah Rama bagaikan di kutub utara sedangkan rumah Lesmana di kutub selatan. Arti kata yang satu ada di pojok sana, satunya lagi di pojok sini.

"Ah..tidak usah. Takut mengganggu." Rama merasa tidak enak.

"Ayolah Mas, jangan menolak. Perkenalkan ini Mas Bayu beserta istri dan anaknya!" Lesmana memperkenalkan temannya. Yang diperkenalkan segera berdiri dan saling berjabat tangan.

"Rencananya aku ingin menjodohkan Emilia dengan putranya Mas Bayu!" Jelas Lesmana.

"Aku ikut senang mendengarnya. Kalau begitu aku permisi saja. Kalian pasti ingin bicara penting!"

"Tidak apa-apa Pa, kita gabung disini saja!" Sela Mandala menuruti permintaan Lesmana. Kedua orang tuanya pun akhirnya menyetujui.

Emilia sudah merasakan firasat buruk akan menimpa dirinya. Dan benar dugaannya.

"Saya setuju-setuju saja menerima perjodohan ini Paman asalkan dek Mili setuju juga!"

"Bagaimana sayang, kamu mau kan? Ayah tidak akan memaksa. Kalian bisa berkenalan dulu. Mencari kecocokan satu sama lain!" Emilia tersenyum dan mengangguk malu. Pria yang dikenalkan Ayahnya cukup tampan. Dia juga baik dan sopan. Tidak mungkin Emilia menolaknya.

"Bagaimana sayang?" Tanyanya lagi. Memastikan jawaban putrinya.

"Ya Ayah. Mili mau...!!"

"Hahaha..!!!" Mandala tertawa garing. "Kamu memang perempuan yang hebat. Apa kamu lupa dengan kondisimu saat ini yang sedang berbadan dua? Dan apa kamu juga lupa, pria yang menghamilimu juga ada disini. Duduk di meja makan ini juga. Bisa-bisanya kamu malah mau menikah dengan pria lain. Sungguh keterlaluan!" Geram Mandala. Dengan sekuat tenaga menahan tawanya.

"Apaaaa????" Semua syok mendengar semua itu.

Akhirnya terbalaskan juga, batin Mandala.

Terpopuler

Comments

Siti Julaeha Julai

Siti Julaeha Julai

kayaknya seru thor

2024-07-22

0

Nad

Nad

suka bgt ama ceritanya,,, lanjuuttttt

2024-01-08

0

Diandra

Diandra

Hadeuh para anak ini

2023-01-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!