NovelToon NovelToon

Pernikahan 2 Musuh Abadi

Membalas dan Terbalas

Di ruang tamu duduk dua keluarga yang saling bersitegang. Mereka menatap sepasang muda mudi yang kini duduk di hadapan kedua orang tua mereka. Keduanya hanya menunduk. Tak ada yang berani bersuara. Kedua tersangka utama ini hanya bisa pasrah menerima hukuman yang akan mereka terima. Entah apa hukumannya, mereka harap keadaan seperti ini segera berakhir. Mereka seperti berada di dekat gunung berapi yang siap meletus kapan saja.

"Kalian berdua benar-benar....!!!" Geram Lesmana, Ayah dari pihak perempuan.

"Tenang Yah, nanti sakit jantung Ayah kumat lagi!" Kata Nadine, istrinya, menenangkan.

"Bagaimana bisa tenang Bu setelah melihat kejadian tadi? Lihat apa yang telah putri kesayangan Ibu itu lakukan. Benar-benar memalukan!"

Semua terdiam. Tak habis pikir dengan jalan pikiran anak mereka masing-masing. Ya, mereka jelas tahu bahwa sejak kecil kedua anak mereka tidak pernah akur tapi semua tidak menyangka akan sampai sejauh ini permusuhan mereka.

Mereka sudah besar tak lagi sebagai dua bocah kecil yang bisa berbuat seenaknya. Seharusnya keduanya bisa berpikir sebelum bertindak. Apa konsekuensi dari apa yang mereka perbuat. Akan berdampak baik atau buruk untuk ke depannya. Tapi tidak untuk dua anak muda ini. Dengan seenaknya membuat kerusuhan dan menyebabkan nama kedua keluarga dipermalukan.

"Bagaimana ini Mas? Kami dari pihak perempuan pasti akan lebih dirugikan. Apalagi dengan pernyataan anak Mas tadi. Siapa yang mau menikah dengannya nanti?" Kata Lesmana yang ditujukan kepada Ayah pemuda itu.

"Kita nikahkan mereka berdua. Secepatnya!" Jawab tegas Rama, Ayah pemuda itu.

Semua orang tua setuju tapi tidak dengan mereka yang menjadi biang keroknya.

"Apa?" Teriak keduanya bersamaan.

"Aku tidak mau menikah dengannya!" Lagi-lagi bersamaan. Mereka pun saling tunjuk satu sama lain.

Kedua orang itu adalah Mandala dan Emilia.

*Flashback on*

Di sebuah restoran, Emilia sedang berkumpul dengan teman kerjanya. Hari libur begini, seperti biasa mereka para jomblowati memilih untuk hang out bersama para kaumnya. Sedih iya, karena kadang hinaan kerap mereka dapatkan karena status mereka yang masih jomblo. Bukan karena mereka tidak cantik tapi standart mereka yang terlalu tinggi. Mereka tidak ingin asal dalam memilih pasangan walaupun hanya untuk sekedar pacaran. Untuk itu demi mengisi waktu libur, mereka memilih untuk berkumpul. Bersenang-senang bersama.

Di ruang yang sama dengan nomer meja yang berbeda, ada sepasang kekasih yang tampak begitu bahagia. Mereka tertawa tanpa dosa seakan dunia hanya milik keduanya sedangkan yang lain cuma ngontrak.

Teman-teman Mili, panggilan Emilia, terus memperhatikan keduanya.

"Cih, sok romantis sekali mereka. Enek denger ketawanya. Seperti dibuat-buat. Apalagi ceweknya itu, terlihat sekali dibuat-buat!" Salah satu teman Mili berucap tak suka.

"Sudah biarin saja. Itu hak mereka. Kamu begini mungkin karena kamu merasa iri." Ucap bijak teman yang lain.

Emilia berada disana bersama kedua sahabatnya. Dinda dan Septa, itu nama keduanya. Dinda lebih banyak bicara. Apapun selalu ia komentari. Berbeda dengan Septa, ialah yang paling bijak diantara semua.

"Enak saja. Iri, enggaklah. Sembarangan kalau ngomong!" Dinda tak terima.

Keduanya hanya menyautinya dengan tawa. Mereka berdua suka sekali melihat Dinda saat sedang kesal. Wajahnya sangat lucu dan itu menghibur sekali.

"Aku ke toilet dulu ya!" Pamit Mili beranjak berdiri dan tanpa sengaja menabrak seseorang saat dia berbalik badan. Mereka saling berbenturan bahu.

"Auwww...!" Pekik keduanya sambil mengelus bahu mereka yang sakit.

"Hei, punya mata nggak sih. Kalau jalan tu lihat nggak main tabrak aja!"

Suara itu sangat familiar di telinga Mili. Terang saja karena saat ini yang sedang berbicara adalah musuh abadinya. Padahal bukan dia yang ditabraknya tapi justru dia yang nyolot nggak terima.

"Nih mata kalau belum jelas!" Tunjuk Mili matanya sendiri. "Lagian kenapa kamu yang sewot? Yang aku tabrak aja dari tadi diem aja tuh!"

"Karena aku nggak terima. Dia ini kekasihku. Jadi, aku harus melindunginya dari pengacau sepertimu ini!"

"Hah..hah...nggak salah. Bukankah kamu yang selalu jadi pengacaunya?"

"Kau ini...!" Seperti biasa, tak ada kata rukun di antara keduanya.

"Apa?" Mili tak kalah menantang.

"Sudah, Yang, aku nggak papa. Kita pergi saja!" Ajak kekasih Mandala. Mencoba melerai pertengkaran tak mutu mereka.

Mandala mengangguk. Namun sebelum pergi seringai jahatnya timbul. Kata-kata pedas terlontar dari mulutnya yang akhirnya justru mengacaukan hidupnya.

"Lihatlah. Perempuan itu harus lemah lembut seperti ini biar cepet laku. Nggak kayak dirimu. Kasihan umur segini pacar pun belum punya. Makanya jadi perempuan jangan galak-galak. Jauh jodoh!"

Di depan banyak pengunjung restoran dengan mudahnya Mandala berkata seperti itu. Menghina Emilia. Menjadikan mereka pusat perhatian. Menahan setiap gejolak amarah di hatinya, Mili mengepalkan tangannya.

"Minggir!" Mandala dengan kasarnya mendorong tubuh Mili agar dia dan kekasihnya bisa lewat.

Dengan senyum penuh kemenangan Mandala melangkah meninggalkan Mili yang masih terdiam.

Aku akan membalasmu. Kau bilang aku tidak laku. Lihat saja siapa yang bakal nikah duluan, batin Mili.

Plok...plok...plok...Mili bertepuk tangan membuat semua kembali menatap padanya termasuk Mandala dan kekasihnya.

"Bagus. Kuakui kamu memang aktor yang baik. Setelah puas denganku, kau mencampakkan aku begitu saja. Menghinaku di depan kekasihmu dan semua orang disini. Tak ingatkah dirimu pada malam-malam indah yang sudah kita lewati berdua? Setelah kamu bosan, kau campakkan aku begitu saja. Dulu aku terima dan diam saja tapi tidak untuk sekarang!" Emilia berkata penuh penjiwaan.

"Dan kau, kuharap kamu berhati-hati dengan kekasihmu ini. Kita berdua sama-sama wanita, aku tidak ingin apa yang kualami terjadi juga padamu nantinya. Habis manis sepah dibuang!"

"Ja-jadi kalian dulu sepasang kekasih!" Emilia mengangguk.

"Tidak sayang, dia bohong!" Kinan tak percaya, kekasih Mandala itu geleng kepala.

"Dan kalian juga sudah berhubungan sejauh itu?" Sekali lagi Mili mengangguk.

"Hei, jangan bohong!" Mandala menatap Mili tajam.

Plak...sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Mandala.

"Kita putus. Aku akan bicara dengan orang tuaku untuk membatalkan rencana pernikahan kita. Aku tidak ingin menikah dengan pria brengsek sepertimu!" Kinan pergi begitu saja.

"Kinan tunggu. Dia berbohong. Aku tidak pernah melakukan apapun dengannya. Percayalah!" Pinta Mandala. Dia terus berteriak mengejar Kinan.

Mandala menarik tangan Kinan. Memaksa Kinan untuk berhenti agar dia bisa menjelaskan semuanya namun segera dihempaskan dengan kasar oleh Kinan.

Kinan melambaikan tangannya menghentikan sebuah taksi yang melintas di hadapannya. Buru-buru masuk dan langsung meminta sang sopir untuk segera melaju pergi.

"Kinan, tunggu!" Usaha Mandala gagal. Kinan telah pergi.

"Shittt!" Mandala mengumpat. Ini seperti senjata makan tuan baginya. " Tunggulah pembalasanku!"

***

Di dalam restoran, Emilia dan Dinda temannya tertawa puas. Bukannya mendukung kebohongan temannya tapi dia ikut tidak terima temannya dipermalukan begitu. Di depan umum lagi.

"Mili, kau memang temanku ter the best lah. Ku akui jiwamu...!!!" Ucapan Dinda terpotong.

"Terganggu!" Lanjut Septa seenak jidatnya.

"Kamu mengataiku gila?" Mili menunjuk dirinya sendiri.

"Kalau bukan gila lalu sebutan apa yang pantas untukmu. Aku memang tidak terima pria itu menghinamu tapi kamu juga keterlaluan. Bagaimana kalau mereka beneran putus?"

"Mana gue pikirin. Hahaha....!" Mili dan Dinda justru terbahak. Tak menyadari ada sepasang mata yang menatap Mili penuh amarah.

"Tunggulah pembalasanku!" batin orangnya.

***

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian di restoran itu. Malam hari setelah kejadian di siang itu, orang tua Kinan bertandang ke rumah Mandala. Rencana pernikahan Mandala dan Kinan pada akhirnya dibatalkan. Mandala bertekad akan membalas semua ini pada Emilia.

Malam ini orang tua Mandala mengajak anak mereka untuk makan malam di luar. Awalnya Mandala menolak. Dia sedih. Dia patah hati. Dengan gigih kedua orang tua Mandala berhasil mengajak anaknya itu. Mereka tidak ingin melihat anaknya terus larut dalam kesedihan. Beberapa hari ini Mandala kurang tidur dan susah makan.

Melangkah dengan tak bersemangat Mandala mengikuti kedua orang tuanya memasuki sebuah restoran. Tatapan Mandala langsung berbinar saat melihat pemandangan di depannya. Saatnya tiba juga, batinnya.

"Mas Rama!" Panggil Lesmana saat melihat orang yang di kenalnya.

Rama menoleh saat ada seseorang yang memanggilnya. Rama dan Sinta, istrinya, berjalan menghampiri saat Lesmana melambaikan tangannya.

"Nggak nyangka bisa bertemu Mas Rama disini!" Sapa Lesmana menjabat tangan Rama kemudian mereka berpelukan. Disusul dengan para istri mereka yang melakukan hal yang sama.

Emilia mencium tangan Rama dan Sinta bergantian sebagai tanda hormat. Tapi tatapan permusuhan langsung ia perlihatkan saat menatap musuh abadinya. Mandala.

Mandala pun melakukan hal yang sama terhadap kedua orang tua Emilia. Mencium tangan keduanya. Ia masih menjaga sopan santun walau begitu membenci anaknya.

"Ayo Mas, bergabung disini saja. Jarang-jarang kita bisa makan bersama!" Ya Lesmana dan Rama sudah berteman lama karena mereka bertetangga. Rumah mereka masih di blok yang sama. Hanya saja rumah Rama bagaikan di kutub utara sedangkan rumah Lesmana di kutub selatan. Arti kata yang satu ada di pojok sana, satunya lagi di pojok sini.

"Ah..tidak usah. Takut mengganggu." Rama merasa tidak enak.

"Ayolah Mas, jangan menolak. Perkenalkan ini Mas Bayu beserta istri dan anaknya!" Lesmana memperkenalkan temannya. Yang diperkenalkan segera berdiri dan saling berjabat tangan.

"Rencananya aku ingin menjodohkan Emilia dengan putranya Mas Bayu!" Jelas Lesmana.

"Aku ikut senang mendengarnya. Kalau begitu aku permisi saja. Kalian pasti ingin bicara penting!"

"Tidak apa-apa Pa, kita gabung disini saja!" Sela Mandala menuruti permintaan Lesmana. Kedua orang tuanya pun akhirnya menyetujui.

Emilia sudah merasakan firasat buruk akan menimpa dirinya. Dan benar dugaannya.

"Saya setuju-setuju saja menerima perjodohan ini Paman asalkan dek Mili setuju juga!"

"Bagaimana sayang, kamu mau kan? Ayah tidak akan memaksa. Kalian bisa berkenalan dulu. Mencari kecocokan satu sama lain!" Emilia tersenyum dan mengangguk malu. Pria yang dikenalkan Ayahnya cukup tampan. Dia juga baik dan sopan. Tidak mungkin Emilia menolaknya.

"Bagaimana sayang?" Tanyanya lagi. Memastikan jawaban putrinya.

"Ya Ayah. Mili mau...!!"

"Hahaha..!!!" Mandala tertawa garing. "Kamu memang perempuan yang hebat. Apa kamu lupa dengan kondisimu saat ini yang sedang berbadan dua? Dan apa kamu juga lupa, pria yang menghamilimu juga ada disini. Duduk di meja makan ini juga. Bisa-bisanya kamu malah mau menikah dengan pria lain. Sungguh keterlaluan!" Geram Mandala. Dengan sekuat tenaga menahan tawanya.

"Apaaaa????" Semua syok mendengar semua itu.

Akhirnya terbalaskan juga, batin Mandala.

Kalian sama saja

Semua mata menatap tajam ke arah dua orang yang menjadi tersangka utama itu bergantian.

"Bohong...semua itu bohong. Ayah, Ibu, jangan percaya dengan yang dia katakan. Aku tidak hamil. Beneran!"

"Jangan bilang kamu sudah menggugurkannya. Kenapa kamu setega itu? Bukankah aku sudah bilang, aku akan bertanggung jawab!"

"Kau...tutup mulutmu atau kucekik kau sekarang!" Mili sudah beranjak berdiri dan langsung mencekik leher Mandala.

"Hei, lepas...kalau aku mati, anak kita akan menjadi yatim sebelum melihat indahnya dunia ini!" Dalam hati Mandala sedang bertepuk tangan.

Rasakan apa yang kurasakan kemarin, batinnya bersorak.

Mandala segera menggenggam tangan Mili yang ada di lehernya.

"Kau tahu, aku merindukan sentuhan tangan lembutmu ini. Apa semudah itu kamu melupakan malam-malam indah yang sudah kita lewati bersama?"

"Kau...!!" Mili sungguh geram.

Mandala bersorak hore di dalam hatinya. Senyum tipis diperlihatkan olehnya. Sangat tipis hingga tidak ada yang bisa melihatnya selain Mili tentunya.

Namun kesenangannya langsung lenyap begitu saja saat dia mendengar suara seseorang yang berdiri di belakangnya.

"Jadi, semua itu benar! Kemarin kamu bilang wanita ini telah berbohong. Tapi barusan aku mendengarnya sendiri. Ternyata apa yang dia katakan tentangmu itu benar. Kamu pria brengsek!"

"Kinan!" Mandala terkejut dengan kehadiran Kinan disini. Mandala ingin mendekat tapi Kinan menyuruhnya berhenti dengan isyarat tangannya.

"Kemarin perempuan ini bilang, kalian sudah melewati malam-malam yang indah bersama. Tapi waktu itu kamu menyangkalnya. Tapi sekarang kamu malah bilang dia sedang hamil. Mengandung anak darimu. Kamu benar-benar pembohong. Awalnya aku ingin mempercayaimu, kembali bersama memperbaiki hubungan kita tapi sepertinya itu tidak mungkin, semua sudah berakhir." Kinan berkata di tengah isak tangisnya.

Semua yang berada disana mendengarkan apa yang dikatakan Kinan dengan jelas. Semua sangat terkejut kecuali orang tua Mandala. Karena Mandala sudah menceritakan apa yang terjadi sebelumnya yang membuat hubungannya dengan Kinan kandas.

Itu sebabnya saat Lesmana mengajaknya makan bersama, Rama menolaknya. Namun mungkin ini memang sudah jalannya harus berakhir begini.

Pak Bayu dan keluarganya merasa tidak enak sendiri mendengar semua itu. Bukankah itu adalah sebuah aib yang harus ditutupi dari orang luar. Tapi mereka justru berada disana.

"Sebaiknya kami pergi dari sini sekarang. Permisi Pak Lesmana, Pak Rama!"

"Maaf atas ketidaknyamanan ini. Anda juga harus mendengar aib keluarga kami. Saya benar-benar tidak enak!" Permintaan maaf terlontar dari mulut Lesmana.

"Tidak masalah Pak Lesmana. Setiap keluarga punya masalahnya sendiri. Mungkin kita tidak ditakdirkan menjadi besan!" Setelah berjabat tangan, Keluarga Bayu undur diri.

Mili sangat marah. Setelah melihat keluarga Pak Bayu pergi, amarah Mili langsung meledak. Jangan harap Mandala akan lolos dari amarahnya.

Kinan pun setelah mengatakan itu segera pergi. Awalnya dia bermaksud menemui Mandala di rumahnya. Dia ingin mempercayainya dan memintanya untuk kembali. Tapi sesampainya di rumah Mandala, Kinan tak menemuinya. Kata pembantu di rumahnya, Mandala makan di luar dengan kedua orang tuanya. Setelah meminta alamat restorannya, Kinan bergegas menyusulnya. Tapi lihatlah...apa yang ia dapat setelah sampai di sana. Sebuah pengakuan yang begitu menyakitkan menghantam hatinya. Dadanya langsung sesak seperti tertimpa batu besar.

"Kinan tunggu!" Mandala mencoba mengejar Kinan. "Aku hanya ingin membalas perempuan ini karena itu aku berbohong. Percayalah!" Teriak Mandala yang berhasil menghentikan langkah kaki Kinan. Kemudian Kinan berbalik menatap Mandala.

Yes, berhasil. Sekarang aku tinggal merayunya saja, pikir Mandala dengan senyum yang sudah terbit di bibirnya.

Mandala ingin mendekati Kinan. Baru langkah pertama, ada tangan yang sudah menahan lengannya.

"Mau kemana? Setelah berhasil mengacaukan hidupku, sekarang kamu ingin pergi begitu saja. Pergi mengejar perempuan lain. Hik..hik..hik..!!" Tangis Mili menghayati.

"Seandainya kamu membiarkanku bersama pria lain, pasti kamu bisa bersama dengan kekasihmu lagi. Kamu tidak perlu bertanggung jawab atas kehamilanku ini. Kamu jahat Mandala!" Lanjut Mili semakin terisak.

Kinan yang masih memandang sepasang manusia yang berada di hadapannya merasa muak. Cukup sudah. Dia tidak tahan lagi melihat keduanya. Secepat kilat Kinan berbalik dan segera pergi. Mandala tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa memandang punggung Kinan yang semakin lama semakin menghilang.

Kedua orang tua mereka hanya bisa geleng kepala. Sekarang semua tahu bahwa apa yang anak mereka ucapkan hanyalah suatu kebohongan. Mereka tak habis pikir, dimana otak anak mereka. Kenapa bisa bercanda sejauh ini. Sekarang nama baik keluarga mereka sedang dipertaruhkan.

Apalagi orang tua Mili. Mereka dari pihak perempuan. Pastilah akan berdampak besar bagi masa depan Mili jika kabar ini sampai tersebar luas. Lesmana benar-benar geram. Dia kecewa dengan putri kesayangannya itu.

"Kita pulang sekarang!" Lesmana memerintahkan keluarganya untuk pulang.

"Mas Lesmana tunggu! Sebaiknya kita bicarakan masalah ini di tempat saya. Bagaimanapun semua ini harus segera diselesaikan!"

"Baiklah."

Dan disinilah mereka semua berada. Di ruang tamu rumah Pak Rama.

*flasback off*

"Gara-gara kamu semua jadi begini!"

"Kau dulu yang memulainya." Bantah Mandala.

"Lihatlah kau sudah mengacaukan hidupku. Dasar pengacau!" Bentak Mili.

"Kau yang pengacau!" Tak kalah tingginya.

"Kau!"

"Sudah-sudah cukup. Diam semua. Kalian sama saja!" Akhirnya kesabaran Rama habis sudah. Menghadapi dua sosok di hadapannya ini, dia tidak bisa bersikap lembut lagi. Dia harus tegas dan keras pada keduanya.

"Kita nikahkan mereka. Secepatnya!" Akhirnya Rama memutuskan hal itu. Mungkin dengan menikahkan keduanya, mereka bisa hidup berdampingan dengan rukun.

Orang tua yang lain menyetujuinya. Mungkin mereka mempunyai pemikiran yang sama.

***

Tanggal pernikahan sudah ditetapkan Rencananya sebulan lagi mereka akan menikah. Kedua orang tua menyambut dengan antusias pernikahan anak-anaknya. Dulu mereka memang berencana ingin menjodohkan anak-anak mereka. Namun melihat hubungan anak-anak mereka yang tidak pernah akur, memupuskan harapan mereka untuk berbesanan. Namun hal yang sebelumnya tidak mungkin untuk terjadi itu, justru sekarang akan segera terwujud. Akhirnya sebentar lagi mereka bisa berbesanan.

Semua rencana pernikahan diatur oleh para orang tua. Mandala dan Mili sama sekali tidak ingin terlibat. Mereka masih belum terima dengan pernikahan itu. Ingin rasanya keduanya kabur. Pergi ke tempat yang jauh hingga tidak ada yang bisa mencarinya.

Keduanya masih berusaha membatalkan rencana pernikahan mereka. Mili berusaha membujuk Ibunya. Siapa tahu Ibunya akan luluh. Karena Mili tahu betapa sulitnya mengubah keputusan Ayahnya itu.

"Bu, tolong Mili. Bujuk Ayah agar membatalkan pernikahan ini!" Rengek Mili saat Ibunya sedang mengantarkan makanan ke kamarnya. Intinya sekarang Mili sedang mogok makan. Ia melakukan protes. Tapi percuma, sudah seharian dia tidak makan, Ayahnya sama sekali tidak peduli. Itulah kenapa Nadine membawakan makanan ke kamar Mili.

"Ibu tidak bisa, Nak. Bercandaan kalian sudah kelewatan. Dan pernikahan ini, ini juga demi kebaikanmu sendiri kelak."

"Kebaikan apa yang Ibu maksud? Ibu tahu, Mili selalu berharap akan menikah sekali seumur hidup. Tapi kalau pasangan Mili itu Mandala sepertinya itu tidak bisa terwujud. Setelah ini mungkin akan ada pernikahan lagi!" Mili menghela napas pelan.

"Hush...jangan ngawur. Berkata yang baik. Karena perkataan itu ibarat doa. Percayalah, setelah kalian menikah, semua pasti berbeda. Yang penting kamu sebagai perempuan harus bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri. Sama seperti yang Ibu ajarkan padamu selama ini. Jangan kecewakan Ibu, Nak!"

"Tapi Bu..."

"Semua akan baik-baik saja. Percayalah!"

Kali ini Emilia hanya bisa pasrah. Menunggu akan datangnya keajaiban yang bisa menggagalkan pernikahannya.

Di sisi lain, Mandala terus saja membuntuti kemanapun Mamanya pergi. Bekerja pun dia tidak bisa fokus. Pernikahan yang harus dia jalani dengan musuh abadinya, harus bisa ia gagalkan. Mamanya sampai risih dibuatnya.

"Ma...!" Rengek Mandala setelah pulang bekerja.

"Tidak bisa. Semua sudah dipesan. Undangan juga sudah disebar. Jika kamu ingin kabur, silahkan. Tapi jika Mamamu ini tidak berada di dunia setelah itu. Salahkan dirimu sendiri. Karena kamulah penyebabnya!"

Ini kali kesekian Mandala merengek. Namun tetap saja usahanya selalu gagal. Haruskah ia pasrah dan menerima pernikahan ini begitu saja. Lalu pernikahan seperti apa yang akan ia hadapi jika yang menjadi istrinya saja musuh abadinya.

Malam pertama yang selalu diimpikan setiap pasangan, mungkinkah. Kemesraan bagi setiap pengantin baru, bisakah.

Aaahhhh....teriaknya frustasi. Mandala tidak bisa membayangkan apa jadinya dengan kehidupan pernikahannya kelak. Baginya semua terasa suram dan kelam tak ada sinar kebahagiaan. Benarkah?

Malam harinya saat Mandala berdiri di balkon kamarnya ada sebuah tepukkan di bahunya.

"Papa!" Ternyata Rama yang mendatanginya.

"Sedang apa? Pasti sedang membayangkan wajah cantik Mili?" Tebak Rama. Tak digubris oleh Mandala.

"Papa mau apa ke sini?" Mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa kamu bersikap kasar sama Papa? Seharusnya kamu berterima kasih sama Papa?"

"Untuk?"

"Berkat Papa akhirnya kamu bisa mendapatkan Emilia!" Ucap Rama bangga.

"Papa tahu sendiri sejak dulu seperti apa hubungan kami berdua. Seharusnya Mandala marah bukannya berterima kasih."

"Benarkah. Emilia itu gadis yang cantik. Dia juga baik. Papa bingung kenapa kamu membencinya?" Ucapan Itu sangat menohok di hati Mandala. Iya, dia sendiri juga bingung kenapa dia sangat membenci Emilia. Mandala hanya diam.

"Kamu sebenarnya membencinya karena kamu tidak suka. Atau kamu membencinya karena kamu sebenarnya mencintainya tapi tak bisa memilikinya? Pikirkan itu!"

Rama menepuk kembali bahu anaknya sebelum pergi.

Sebelum keluar dari kamar Mandala, Rama berbalik dan berteriak...

"Setelah menikah, jadikan dia musuh abadimu di atas ranjang!" Setelah itu pintu ditutup.

Mandala hanya tersenyum mendengar perkataan Papanya. Mandala mulai memikirkan ucapan Papanya barusan.

Pernikahan

Akhirnya hari yang ditunggu oleh kedua orang tua datang juga. Hari pernikahan kedua anaknya. Pernikahan Mandala dan Emilia.

Acara ijab qabul berjalan dengan lancar. Mandala begitu lancar saat menyebutkan nama lengkap istrinya. Tak rugi mereka bermusuhan selama ini. Karena sering bertengkar, Mandala sering menyebut nama Emilia dengan lengkap saat dia sedang geram akan tingkah ajaib perempuan itu.

Sekarang keduanya sudah sah menjadi suami istri. Semua proses telah dilalui. Dari proses ijab qabul sampai acara resepsi yang di gelar secara megah dan meriah di sebuah ballroom hotel berbintang milik Pak Rama.

Pukul sepuluh malam acara baru selesai. Semua tamu sudah meninggalkan hotel termasuk kedua orang tua sang pengantin. Kini tinggal kedua pengantin yang masih tinggal di hotel. Sebuah suite room sudah Rama siapkan untuk malam pertama putranya.

Emilia duduk di tepi ranjang sambil meremas tangannya. Walau bagaimanapun dia tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya. Setelah masuk ke kamar, Mandala langsung masuk ke kamar mandi. Sampai sekarang, sudah hampir setengah jam dia belum juga keluar.

Emilia beranjak berdiri melangkah ke depan kaca meja rias disana. Tangannya diulurkan ke belakang untuk membuka rit gaunnya.

Susah sekali, umpatnya. Dari tadi dia hanya bisa membuka sedikit rit gaunnya. Ingin ke bawah lagi tapi susah sekali menggerakkan benda itu turun. Rasanya Mili ingin langsung menyobek gaun yang dipakainya. Tapi jiwa waras dan rasa sayang setelah melihat berapa uang yang di keluarkan untuk membeli gaun ini, membuatnya mengurungkan niatnya.

Mili segera berbalik saat dari kaca terlihat bayangan Mandala yang sudah keluar dari kamar mandi sedang memperhatikannya. Entah sejak kapan dia berdiri disana. Mili tidak ingin Mandala melihat punggung polosnya yang sedikit terbuka. Enak saja, batinnya.

Mandala berjalan ke arah Mili. Makin lama makin dekat jarak keduanya. Antara takut dan juga gugup, itu yang Mili rasakan saat ini.

"Ka-kau mau apa? Jangan mendekat...jauh-jauh sana...hus...hus...hus...!!!" Mili seolah mengusir seekor kucing.

Mandala mengeluarkan seringai iblisnya. Bukannya menjauh, Mandala semakin maju. Maju terus pantang mundur mengikuti langkah Mili yang mundur ke belakang.

"Berhenti disitu!" Bentak Mili saat dia tidak bisa melangkah lagi. Punggungnya sudah membentur meja rias. Tak bisa mundur lagi.

"Kenapa? Takut?"

Sekarang Mandala sudah berdiri tepat di hadapan Mili. Tangannya menjulur ke belakang tubuh Mili.

Sreeet....terdengar suara benda bergeser.

"Hei...mau apa kau? Jangan macam-macam!" Suara Mili sedikit melunak karena sekarang dia berada di dada Mandala. Wangi aroma sabun terasa mengganggu indra penciuman Mili.

"Sudah selesai!" Ucap Mandala saat dia sudah berhasil membuka rit gaun Mili dengan sempurna. Mandala segera menjauhkan tubuhnya.

"Mandilah..setelah itu aku akan melahap mu!" Goda Mandala.

"Jangan bermimpi!" Mili berjalan menghadap Mandala. Karena punggungnya sudah terespos dengan sempurna sekarang. Dia tidak ingin Mandala melihatnya.

Karena terlalu fokus dengan Mandala, Mili tidak menyadari bahwa pintu kamar mandi dalam keadaan tertutup.

Dugh...kening Mili membentur pintu.

"Auw...!" Pekik Mili kesakitan sambil mengusap keningnya. Dia melupakan punggungnya yang bebas dilihat oleh Mandala.

"Hati-hati istri ku kalau jalan!" Teriakkan Mandala menyadarkan Mili.

Mili segera membuka pintu kamar mandi dan masuk. Braaakkk....Mili membanting pintu dengan keras. Setelah itu dia mengumpat di dalam kamar mandi.

Mandala senang melihat wajah kesal Mili. Tapi senyumnya sirna saat ada yang bergejolak di bagian bawahnya.

"Shiittt...," umpatnya. Juniornya bangun hanya dengan melihat punggung Mili.

Hampir satu jam Mili belum juga keluar dari kamar mandi.

"Istri ku, kamu mandi atau tidur di dalam? Ini sudah satu jam kamu di dalam!" Teriak Mandala dari luar.

"Bukan urusan mu!" Balas Mili dari dalam.

"Ayolah buruan keluar! Aku sudah ngantuk!" Teriaknya lagi.

"Tidurlah. Aku tidak menyuruh mu untuk menunggu ku!"

"Kau lupa ini malam pertama kita. Atau kau juga melupakan bahwa sekarang kau sudah menjadi istri. Istri dari seorang Mandala!"

"Ya...aku lupa. Saat ini aku sedang amnesia. Sebaiknya tidurlah dulu. Jangan menunggu ku. Dan jangan mengharap malam pertama dari ku!"

"Lalu aku harus melakukan malam pertama dengan siapa kalau bukan dengan istri ku? Ayolah Mili, keluarlah. Aku sudah tidak sabar!"

"Bodo amat!!!"

"Kalau kelamaan nanti bulu-bulu mu rontok semua Mili. Bulu yang di atas, bulu yang di bawah, bahkan yang di sela-sela juga ikut rontok. Mau kamu?"

"Aku ini manusia bukan binatang berbulu Mandala!" Geram Mili dari dalam.

Setelah itu tak ada perbincangan lagi.

Mandala diam. Mili pikir Mandala sudah tidur karena sebelumnya Mandala bilang dia sudah mengantuk.

Mili membuka pintu pelan. Tak ingin membangunkan Mandala yang disangkanya sudah tidur. Mili mengambil tasnya. Mengeluarkan crem malam. Dia duduk di depan meja rias yang berada di sebelah ranjang. Selesai memakaikan semua yang biasa ia pakai sebelum tidur, Mili beranjak berdiri. Ia melangkah ingin menuju ke sofa di dekat pintu. Rencananya malam ini ia akan tidur disana.

"Mau kemana?" Mandala yang tidur di dekat meja rias, menahan tangan Mili yang ingin pergi. Sebenarnya tadi dia hanya pura-pura tidur saja. Tapi karena melihat Mili yang akan menuju sofa, terpaksa dia harus menahannya.

"Aku mau tidur di sofa malam ini. Atau kau saja yang tidur disana?"

Mandala bukannya menjawab, dia justru menarik tangan Mili. Membuat Mili jatuh di atas badannya dan langsung menguncinya dengan memeluk pinggang Mili.

Mili terus saja meronta di dekapan Mandala.

"Lepasin nggak?"

Cuuuppp...Mandala mencium bibir Mili. Hanya sebuah kecupan sebentar. Mili membelalakkan matanya.

"Kau...kenapa berani mencium ku seenak jidat mu?"

"Kenapa? Kau istri ku. Apapun yang ada pada mu adalah milik ku. Salah mencium milik sendiri?"

"Kau...jangan pernah bermimpi bisa memiliki ku?" Mili masih saja bergerak-gerak di atas tubuh Mandala. Membuat Mandala tersiksa karena harus menahan hasratnya.

"Diam atau aku akan melakukannya sekarang!" Ancam Mandala untuk menghentikan gerak Mili di atasnya.

Berhasil. Mili diam. Mandala tersenyum. Dia melupakan bahwa yang dihadapinya seorang Mili. Melihat Mandala lengah, Mili langsung menggigit lengan Mandala yang masih bisa dijangkaunya.

"Auw...Mili sakit!"

"Rasain!" Gantian Mili yang tersenyum puas. Dia juga akhirnya bisa bebas karena Mandala melepas pelukannya.

Mili berdiri tapi lagi-lagi Mandala menariknya. Sekarang gantian Mandala yang berada di atas tubuh Mili. Mandala mengungkung tubuh Mili. Menjadikan kedua tangan dan lututnya sebagai penopang agar tidak menindih Mili.

Tak bisa bergerak, itu yang Mili rasakan saat ini. Ketakutan pun seketika muncul dari wajahnya. Mandala bisa melihatnya.

"Puas...hari ini kamu sudah menggigit tangan ku dua kali di tempat berbeda!"

"Hari ini kamu juga sudah mencium diri ku dua kali di tempat yang berbeda! Mili membela dirinya.

"Baik...artinya kita impas?" Tanya Mandala.

Mili menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Minggir. Aku mau tidur!"

Mandala segera membuang tubuhnya ke samping dan langsung memeluk tubuh Mili yang masih terlentang.

"Singkirkan tangan mu! Aku mau tidur di sofa!"

"Diam dan tidurlah. Jangan ganggu tidur ku atau kau ingin aku menyantap mu sekarang!"

Tak ada jawaban. Mili juga sudah terlalu lelah untuk terus bertengkar. Rasa ngantuk sudah menyerangnya. Secepat kilat dia sudah tertidur.

Melihat Mili yang hanya diam saja. Mandala menaikkan wajahnya. Dilihatnya wajah cantik itu sudah terlelap. Mandala tersenyum. Dia tidak menyangka akan menikahi Mili yang sejak kecil selalu bertengkar dengannya. Menikah dengan musuh abadinya. Entah seperti apa perjalanan kehidupan rumah tangganya selanjutnya.

Mandala mencium kening Mili sebelum dirinya ikut terlelap di sampingnya.

Ada yang penasaran tidak, kenapa Mandala bilang Mili telah menggigitnya dua kali begitupun dengan Mili yang mengatakan Mandala juga menciumnya dua kali?

Jawabannya...

Setelah selesai mengucapkan ijab qabul, semua menyuruh Mili untuk mencium tangan Mandala.

Dengan rasa enggan dan terpaksa Mili melakukannya. Senyum puas jelas terpancar di bibir Mandala. Tapi seperti biasa hanya berlangsung sebentar karena setelah itu ia merasakan sakit di punggung tangannya. Kali ini Mili bukannya mencium tapi menggigit tangannya. Siaaalll.

Acara selanjutnya setelah Mili mencium tangan Mandala. Kini gantian Mandala yang mencium kening Mili. Haruskah Mandala membalasnya dengan menggigit kening Mili. Tentu saja Mandala masih waras untuk tidak berbuat begitu. Mana mungkin dia menggigit kening Mili di depan banyak orang. Orang akan berpikir dia drakula jika berbuat begitu.

Setidaknya sakitnya berbuah manis dengan bisa mencium Emilia. Kenapa dia bisa merasa sesenang ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!