Demam Raka belum juga reda. Sejak semalam tubuhnya panas, keringat dingin membasahi bantal dan selimut. Ibunya berulang kali mengetuk pintu kamar, menyodorkan teh jahe dan obat penurun panas.
Namun bagi Raka, justru berada di rumah membuat dadanya terasa semakin sesak. Bayangan suara lirih yang ia dengar tempo hari—“Kembalikan…”—masih bergema. Bahkan ketika matanya tertutup pun, ia bisa merasakan tatapan mata hitam pekat itu menembus dirinya.
“Ra, jangan ke sekolah dulu,” suara Bu Sinta dari balik pintu terdengar lembut, tapi penuh tekanan. “Kamu butuh istirahat.”
Raka menatap langit-langit kamarnya, wajah pucatnya dipenuhi peluh. Ia menggenggam ujung selimut erat-erat. Tidak. Ia tidak bisa terus di sini. Rumah ini, tembok ini… seperti menyimpan rahasia yang menyesakkan.
Akhirnya, pagi itu ia turun ke ruang tamu dengan tubuh masih lemas.
“Ayah… tolong antar aku ke sekolah. Aku nggak mau bolos.”
Pak Ardi, yang sedang bersiap dengan jas kerjanya, sempat menoleh kaget. “Kamu yakin? Wajahmu pucat sekali.”
“Aku lebih baik di sekolah… daripada di rumah,” jawab Raka lirih, namun matanya memohon.
Sejenak, Pak Ardi hanya menatap anaknya. Ada sesuatu dalam tatapan itu—antara ragu, khawatir, sekaligus pengertian. Lalu ia menghela napas panjang.
“Baiklah. Tapi kalau kamu makin drop, langsung pulang. Mengerti?”
Raka mengangguk pelan.
Mobil keluarga itu meluncur pelan di jalanan basah sisa hujan semalam. Raka duduk di kursi penumpang, tubuhnya disandarkan pada jendela. Pikirannya kosong, namun perasaan was-was tak mau hilang.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Pak Ardi menghentikan mobil. Raka membuka pintu dengan tubuh agak goyah. Sebelum benar-benar keluar, ia menoleh ke ayahnya. Satu kali.
Wajah sang ayah terlihat letih, matanya sendu seakan menyimpan beban besar.
Raka menelan ludah, lalu menoleh lagi untuk kedua kalinya. Pandangan mereka bertemu. Ada sesuatu dalam tatapan itu, seolah sebuah pesan yang tak terucap—jaga dirimu.
Tanpa kata-kata, Raka menutup pintu dan melangkah masuk ke halaman sekolah.
Hari itu, Raka berusaha keras melupakan segala yang menyesakkan di rumah. Suara tawa teman-teman, derap sepatu di koridor, dan keramaian kelas bagai membawa dirinya kembali pada kehidupan normal.
“Eh, anak alim datang juga! Kirain masuk ICU,” suara cempreng seorang gadis memecah keheningan kelas.
Raka menoleh, menemukan sosok Widia berdiri di ambang pintu kelas dengan rambut dikuncir seadanya. Widia, teman masa kecilnya—barbar, tomboi, dan sama sekali tidak tahu cara menjaga citra.
“Widia…” Raka menghela napas, setengah pasrah.
“Kenapa? Jangan pasang muka kaku gitu, culun. Gue kira lo bakal absen sebulan penuh, soalnya kemarin gosipnya lo lagi sakit kan—bukan sakit hati karena cinta sih, tapi literally sakit kan,” ujarnya sambil terkekeh.
Teman-teman di kelas ikut tertawa, beberapa menyoraki Raka.
Raka hanya tersenyum kecut, mencoba menanggapinya dengan sabar. “Gue cuma demam biasa.”
“Demam? Ah masa sih? Jangan - jangan lo demam gara-gara kebanyakan belajar. Hidup lo hambar! Kayak hidup lo udah kurang dari sehari aja!” Widia mendekat, lalu menjentikkan jari ke dahi Raka dengan cukup keras.
“Aduh!” Raka meringis sambil mengusap dahinya.
Widia tertawa terbahak, puas melihat ekspresinya. “Ih, lo tuh gampang banget dibecandain. Makanya jangan terlalu baik sama semua orang. Dunia ini keras, Ra. Kalau lo kebanyakan senyum, orang bakal gampang ngerjain lo.”
Meski begitu, Raka tak bisa menahan senyum tipis. Entah kenapa, meski Widia kerap mengganggunya, kehadiran gadis itu membuat beban di dadanya berkurang. Setidaknya, saat bersama teman-temannya, ia bisa melupakan foto itu, suara misterius itu, dan rahasia keluarganya.
Kelas dimulai seperti biasa. Deretan buku, papan tulis penuh coretan, dan suara guru mengisi pagi yang basah hari itu. Namun sesekali, Raka menoleh ke arah jendela, mencari pantulan dirinya.
Dan untuk pertama kalinya sejak beberapa hari, ia berharap tidak ada lagi mata asing yang menatap dirinya dari balik kaca.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments