Rahasia yang terungkap

Suasana ruang tamu malam itu seakan berhenti. Hujan di luar kian deras, petir sesekali menyambar, menerangi wajah tegang Pak Ardi dan Bu Sinta. Raka duduk di sofa, tangannya gemetar, matanya masih merah karena emosi.

Pak Ardi akhirnya bangkit perlahan, langkahnya berat menuju lemari kayu tua di sudut ruangan. Dari balik tumpukan map dan buku lusuh, ia mengeluarkan sebuah kotak hitam berdebu. Tangannya sempat berhenti beberapa detik, seakan ragu apakah benar ini saat yang tepat. Namun akhirnya, ia kembali ke sofa dan meletakkan kotak itu di hadapan Raka.

“Segala jawaban yang kau cari… ada di sini,” ucapnya lirih.

Dengan hati-hati, Pak Ardi membuka kotak itu. Di dalamnya tersimpan beberapa dokumen kusam, kertas yang sudah menguning, dan sebuah amplop berisi foto lama. Aroma kertas tua segera menyeruak, membuat dada Raka semakin sesak.

Pak Ardi menarik satu map cokelat, mengeluarkan selembar salinan akta kelahiran. Ia meletakkannya di atas meja. Nama di sana jelas terbaca: Raka Adiwijaya. Namun di bawahnya, ada catatan kecil berstempel rumah sakit—catatan yang selama ini tak pernah ditunjukkan padanya.

Raka mengerutkan dahi, membaca detailnya. Ada tanda khusus di kolom catatan medis: “Kondisi kritis – kelainan hati bawaan. Rekomendasi operasi transplantasi segera.”

Jantung Raka serasa berhenti berdetak. Ia menatap ayahnya, bingung sekaligus ketakutan. “Apa… maksudnya ini? Kelainan hati? Transplantasi…?”

Pak Ardi menghela napas panjang, lalu membuka amplop foto. Ia mengeluarkan gambar lama, dengan warna yang sudah memudar. Foto itu menampilkan seorang perempuan muda berbaring di ranjang rumah sakit—Bu Sinta, terlihat pucat namun memeluk bayi mungil di pelukannya. Di sampingnya, ada seorang perempuan lain dengan wajah mirip, jelas adik perempuan Pak Ardi, yang juga tengah memangku bayi.

Dua bayi. Dua tangisan yang lahir di hari yang sama.

“Ini… saat persalinan itu,” kata Pak Ardi pelan. Suaranya bergetar, seakan mengulang luka lama yang selama ini ia kunci rapat. “Malam itu, dua kelahiran terjadi hampir bersamaan. Ibumu melahirkanmu, dan adik perempuanku, Ratri… melahirkan seorang bayi laki-laki juga. Rumah sakit penuh tangis bahagia. Dua ibu, dua bayi… semua tampak sempurna.”

Pandangan Raka terpaku pada foto itu. Dua bayi mungil terbungkus kain putih. Salah satunya adalah dirinya. Namun, siapa yang satunya lagi?

Pak Ardi melanjutkan, kini suaranya makin berat. “Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Kau lahir dengan kondisi hati yang cacat, Nak. Dokter mengatakan kau hanya bisa bertahan beberapa minggu… kecuali ada donor hati yang cocok. Saat itu… kami hampir kehilanganmu.”

Raka menelan ludah, tubuhnya mulai gemetar. “Lalu… bagaimana aku bisa selamat?”

Pak Ardi terdiam sesaat, menunduk, lalu menutup mata seakan menahan air mata. “Seminggu setelah itu, bayi Ratri—sepupumu—jatuh sakit. Kondisinya melemah, dan… dia tidak bisa diselamatkan.”

Bu Sinta yang sejak tadi terdiam akhirnya menutup wajahnya dengan tangan. Tangisnya pecah. “Itu masa paling kelam dalam hidup kami, Raka… adik ayahmu kehilangan anaknya… dan kami hampir kehilanganmu…”

Pak Ardi melanjutkan dengan suara serak, “Dokter mengatakan… hati bayi itu bisa menjadi penyelamat. Setelah mendapat izin—dengan restu dan air mata dari Ratri sendiri—proses cangkok hati dilakukan. Kau selamat, Nak… tapi sepupumu… harus pergi lebih dulu.”

Raka terhenyak. Dadanya serasa dihantam badai. Selama ini ia hidup, tumbuh, tertawa, dan bermimpi—semua itu berkat hati yang bukan sepenuhnya miliknya. Hati yang lahir dari bayi lain, darah daging keluarganya sendiri.

Tangannya bergetar hebat. “Jadi… aku hidup dengan hati… yang bukan milikku?”

Pak Ardi menatap putranya lekat-lekat, matanya merah. “Kau hidup karena pengorbanan yang begitu besar. Karena kasih sayang, bukan hanya dari kami… tapi juga dari orang yang rela kehilangan anaknya demi menyelamatkanmu. Kau harus tahu, Raka, hidupmu… bukan sekadar kebetulan. Ada alasan kau masih berdiri sampai hari ini.”

Keheningan menyelimuti ruang tamu. Hanya suara tangis Bu Sinta dan dentuman hujan di luar yang terdengar.

Raka menunduk, air matanya jatuh ke lantai. Tubuhnya bergetar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan—marah, sedih, atau bersyukur. Yang jelas, rahasia besar itu kini terbuka lebar.

Namun, di balik rasa syoknya, ada sesuatu yang menggelitik batinnya. Seolah-olah rahasia ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar… sesuatu yang selama ini mengintai dari balik kegelapan.

Hot

Comments

yongobongo11:11

yongobongo11:11

I'm on the edge of my seat. Please don't make us wait too long for the next update.

2025-08-20

1

See all

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play