Wajah Yang Bukan Milikku
Malam itu, rumah keluarga Ardi diselimuti oleh hujan deras yang memukul genting dengan ritme nyaris mengerikan. Angin malam merayap melalui celah-celah jendela kayu, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terguyur hujan. Lampu-lampu ruang tamu berpendar hangat, namun bayangan yang terbentuk di dinding tampak bergerak seperti menari—seolah menyembunyikan sesuatu.
Raka, remaja berusia tujuh belas tahun, baru saja pulang dari sekolah. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi dengan tugas-tugas menumpuk dan percakapan ringan dengan teman-temannya.
Namun begitu melangkah masuk ke rumah, semua itu hilang seketika. Ada hening yang aneh malam itu, sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia berjalan melewati ruang tamu, setiap langkah menimbulkan bunyi berdecit di lantai kayu tua. Matanya tertumbuk pada sesuatu yang aneh: sebuah bingkai foto tua tergeletak di lantai, tampak baru saja jatuh dari lemari. Debu menempel tebal di sekelilingnya, menutupi kaca seperti kabut halus.
Dengan hati-hati, Raka menunduk dan mengangkat bingkai itu. Debu beterbangan, menempel di ujung jarinya. Ia menghapus sedikit kotoran di kaca dan menatap isi foto itu.
Di dalamnya terlihat seorang perempuan muda dengan senyum hangat, rambut panjang tergerai rapi, dan sorot mata yang lembut. Tapi yang membuat Raka terdiam bukan senyum itu. Bayi yang digendong perempuan itu—wajahnya… begitu mirip dengan dirinya. Mata bayi itu, hidung, bahkan lekuk pipinya, semuanya seperti menatap Raka dari masa lalu.
“Aneh… siapa dia?” gumamnya, suaranya hampir tenggelam di antara gemuruh hujan.
Ia menelusuri ingatannya. Ia mengenal setiap anggota keluarga—ayah, ibu, sepupu, bahkan kerabat jauh. Tapi wajah perempuan itu sama sekali asing. Seolah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan darinya.
Tiba-tiba, langkah cepat terdengar di belakangnya. Suara familiar namun dipenuhi kepanikan: ibunya, Bu Sinta, muncul dari lorong dengan wajah pucat, mata melebar saat melihat Raka memegang bingkai itu.
“Raka! Dari mana kamu dapat foto itu?” suara ibunya meninggi, panik yang terdengar jelas.
Raka menatap ibunya, kemudian mengangkat bingkai itu. “Aku hanya menemukannya jatuh dari lemari, Bu. Siapa perempuan ini?”
Wajah Bu Sinta berubah pucat seperti kertas. Tangannya gemetar saat meraih bingkai itu dan dengan cepat menyelipkannya ke dalam laci tersembunyi. “Itu… bukan urusanmu, Raka. Jangan pernah menyentuh barang itu lagi,” katanya, suaranya rendah tapi tegas, seakan menyegel rahasia besar.
Raka menatap ibunya, rasa penasaran membakar dada. Selama ini, ia selalu merasa berbeda—warna matanya tidak sama dengan ayah maupun ibunya, dan ia selalu dijaga lebih ketat daripada yang lain. Mengapa semua hal yang dekat dengannya selalu penuh rahasia?
Ia duduk di sofa, menatap laci tertutup, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa takut, tapi lebih besar lagi rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Ia ingin bertanya, ingin mengorek lebih jauh, tapi takut pada jawaban yang mungkin menghancurkan dunianya.
Malam itu, setelah mandi dan duduk di kamarnya, wajah perempuan dalam bingkai terus menghantui pikirannya. Ia menatap hujan yang membasahi kaca jendela, mendengar deru air yang deras dan angin yang berdesir, seolah alam sendiri ingin memberitahunya sesuatu.
Ia mengingat ekspresi ibunya malam tadi—ketakutan, kepanikan, dan mungkin… penyesalan. Hatinya bergolak. Suara hatinya hanya satu:
“Siapa sebenarnya aku?”
Raka menutup mata lebih erat, bayangan bayi di foto itu menempel di ingatannya. Ada sesuatu di rumah ini—sesuatu yang selama ini disembunyikan darinya, sesuatu yang bisa mengubah segalanya: tentang keluarganya… dan tentang dirinya sendiri.
Di luar, hujan tak kunjung reda. Angin membawa hawa dingin, seolah menegaskan: malam ini bukan sekadar hujan biasa. Malam ini adalah awal dari rahasia yang akan mengubah hidup Raka selamanya.
Dan di suatu tempat dalam gelap rumah tua itu, sesuatu—atau seseorang—mengamati setiap gerakan Raka, menunggu saat yang tepat untuk muncul.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments