Hari itu, tubuh Raka terasa lemah. Sejak pagi, kepalanya berat, seakan ada beban yang menekan dari dalam. Teman-temannya di sekolah sempat menegur, menyarankan agar ia pulang lebih awal. Namun, Raka menolak. Ia tidak ingin terlihat lemah. Ia hanya duduk diam di kelas, menatap papan tulis tanpa benar-benar memahami apa yang diajarkan gurunya.
Setiap kali ia mengedipkan mata, bayangan perempuan muda dalam foto itu kembali muncul. Senyumnya yang hangat berubah menjadi menakutkan, terutama ketika Raka mengingat pantulan di kaca jendela beberapa malam lalu—pantulan dirinya yang berbeda, dengan tatapan tajam seolah siap menerkam.
Saat pulang, hujan turun deras. Raka tiba di rumah dalam keadaan basah kuyup, lalu langsung naik ke kamarnya tanpa banyak bicara. Ia merasa tubuhnya semakin panas, dan matanya terasa berat.
Malam itu, ia tertidur lebih cepat dari biasanya.
Namun tidurnya tidak damai.
_____________________________________
Dalam mimpinya, ia berjalan di sebuah lorong gelap. Dindingnya berlumut, basah, dan berbau anyir seperti darah yang lama mengendap. Suara tetesan air menggema, tik… tik… tik… membuat langkahnya semakin waspada.
Raka merasa ada yang mengikuti di belakangnya. Ia mempercepat langkah, tapi suara langkah itu ikut bertambah cepat.
“Siapa?!” teriak Raka, suaranya bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya kegelapan yang menelan setiap kata.
Kemudian, sesuatu muncul. Dari kegelapan, sepasang mata raksasa terbuka—merah menyala, dengan pupil hitam yang membesar seolah ingin menelannya hidup-hidup.
Mata itu menatapnya dengan lapar. Tatapan yang dingin, namun penuh nafsu buas. Semakin lama, mata itu mendekat, membesar, hingga memenuhi seluruh ruang.
“Aku… aku bukan dirimu… tapi kau adalah aku…” suara bisikan bergema di kepalanya.
Raka berteriak sekuat tenaga, namun suaranya lenyap, tenggelam dalam kegelapan. Mata itu mendekat semakin dekat, hingga hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Ia merasa tubuhnya ditarik, ditelan bulat-bulat oleh tatapan itu.
_____________________________________
“AAARGHHH!!!”
Raka terbangun dengan teriakan, tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya tersengal-sengal, dada naik turun dengan cepat. Ia memegang wajahnya, memastikan bahwa dirinya masih di dunia nyata.
Matanya melirik ke kanan dan kiri. Kamarnya masih sama: meja belajar berantakan dengan buku terbuka, kipas angin berputar lambat, dan lampu redup kuning yang menyinari dinding. Namun, rasa takut itu tidak hilang.
Ia mengusap keningnya yang basah. “Mimpi… tapi rasanya begitu nyata.”
Saat itu juga, Raka merasa sudah cukup. Rasa penasaran dan ketakutan yang terus menghantuinya sudah tidak bisa ia pendam lagi. Ia harus menanyakan semuanya. Malam itu juga.
Ia turun ke ruang tamu. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Ayahnya, Pak Ardi, sedang duduk di sofa sambil menonton tayangan malam dengan suara tv yang nyaris tak terdengar. Sementara, Ibunya, Bu Sinta, tengah membereskan cangkir teh di meja.
Langkah Raka terdengar tergesa. Kedua orang tuanya langsung menoleh.
“Raka? Belum tidur?” tanya Bu Sinta, sedikit terkejut melihat anaknya.
Raka berdiri di hadapan mereka, wajahnya pucat, napasnya masih berat. “Aku nggak bisa tidur, Bu… Pak…” suaranya bergetar. “Aku mau tahu… siapa sebenarnya aku?”
Keduanya saling pandang. Ada keheningan panjang yang membuat suasana ruangan semakin mencekam.
“Apa maksudmu, Nak?” tanya Pak Ardi hati-hati.
Raka mengepalkan tangannya, suaranya meninggi. “Aku lihat foto itu! Foto seorang perempuan dengan bayi yang mirip denganku. Ibu panik waktu aku tanyakan… sekarang aku nggak tahan lagi. Tolong, katakan yang sebenarnya! Siapa perempuan itu? Dan kenapa aku selalu merasa… ada sesuatu yang mengawasi aku?!”
Suara Raka pecah, matanya memerah.
Bu Sinta terdiam, tangannya gemetar hingga cangkir yang ia pegang hampir terjatuh. Pak Ardi meletakkan korannya dengan wajah yang tak kalah tegang.
“Ada hal-hal yang belum waktunya kamu ketahui, Raka…” ujar Pak Ardi akhirnya, dengan suara berat.
“Tapi aku sudah cukup besar! Aku sudah tujuh belas tahun! Aku berhak tahu!” potong Raka, matanya berkaca-kaca.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan di luar yang menemani. Bu Sinta akhirnya duduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan, seakan menyembunyikan tangis.
Raka menatap mereka bergantian, hatinya semakin kacau. “Jadi… memang ada yang kalian sembunyikan dariku, kan?”
Pak Ardi menarik napas panjang, menatap putranya dengan mata yang berat. “Baiklah, Nak. Kalau kau memang ingin tahu… kami akan ceritakan. Tapi setelah kau mendengar ini, hidupmu tidak akan sama lagi.”
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments