Lestari yang merasa jengkel terus berjalan meninggalkan pasar. Dia teringat akan cerita ayahnya mengenai Alexander. Rasa penasarannya pada sosok tersebut membuatnya berfikir untuk melewati daerah loji.
"Uhm … bagaimana jika aku jalan-jalan di sekitar loji? Siapa tahu nanti bertemu Alexander?" bathinnya.
Lestari akhirnya melaksanakan niatnya. Dan siang itu, dia berjalan ke daerah loji. Dilihatnya, seorang pria tampan yang tengah melatih serdadu VOC.
"Ih, tampan sekali pria itu. Apakah itu yang bernama Alexander?" pikirnya mereka-reka.
Dia bersembunyi di balik semak-semak di sekitar loji. Dia terus mengamati Alexander dari persembunyiannya.
"Aku harus dapatkan dia. Harus," bathinnya.
Tak terasa hari menjelang sore. Setelah selesai melatih, Alexander tengah beristirahat di kantornya.
"Uhft! Lelahnya," katanya dalam hati.
Alexander duduk sambil mengipaskan sebuah buku di dekatnya. Dia pejamkan matanya sejenak. Sambil meminum air outih, dia dengarkan musik klasik dari sebuah gramophon di kantornya.
Lantunan irama mozart begitu merdu terdengar di telinganya. Ketika tengah melamun, Jenderal Pieterz memanggilnya. Dia segera ke ruangan Jenderal Pieterz.
"Alex, probeer naar de kazerne in sector zeven te gaan. Ik kreeg informatie dat verschillende soldaten waren aangevallen door de rebellen," kata Jenderal Pieterz memerintahkan Alexander.
(Alex, coba kamu pergi ke barak di sektor tujuh. Saya terima informasi beberapa tentara di serang pemberontak.)
"Klaar om uit te voeren," jawab Alexander.
(Siap, Laksanakan)
Alexander memberi hormat pada atasannya. dia langsung mencuci muka dan bersiap untuk pergi. Dia seragam lengkap, dia menunggang kuda tempat yang di tuju. Sesampainya di sana, tampak sebuah pertempuran sengit. Beberapa serdadu VOC terluka di serang pejuang.
Salah seorang pejuang yang melihat kedatangan Alexander hendak menyerangnya. Alexander begitu tanggap. Dia hunus pedangnya dan dia berduel sengit melawan dua orang pejuang yang menggunakan golok.
Alexander tampak begitu tenang. Dia begjtu piawai memainkan pedangnya. Akhirnya pertempuran pun berakhir. Alexander berhasil membekuk dia pejuang itu. Dia bawa keduanya ke penjara
Sementara itu, setibanya di rumah, Lestari tersenyum-senyum di kamarnya. Dia pandangi cermin rias di kamarnya.
"Uhm ... Alexander. Kau begitu rupawan. Ingin rasanya aku miliki kamu," katanya dalam hati.
Lestari tak henti-hentinya tersenyum sendiri. Dia begitu mengagumi Alexander. Tanpa terasa, hari telah petang. Alexander yang telah menyelesaikan misi dari Jenderal Pieterz berniat kembali ke baraknya. Dia naiki kudannya, dan meninggalkan tempat itu.
Ketika melewati pasar, dia melihat Dewi yang berjalan membawa barang belanjaan. Alexander menghentikan langkah kudanya. Dia turun dari kudanya, dan menyapa Dewi yang berjalan sendirian ketika petang tiba.
"Dewi," sapa Alexander.
Dewi yang terkejut spontan memandangi Alexander. Dewi yang kelelahan berusaha tersenyum.
"Dewi, hari telah petang. Mengapa kamu orang berjalan sendirian?" tanya Alexander.
"Saya sudah biasa jalan sendirian melintasi jalan ini, Tuan," jawab Dewi.
Alexander melihat sekeliling. dilihatnya jalan itu melintasi hutan yang cukuo rindang. Alexander terkejut melihat bawaan Dewi yang cukup banyak. Alexander yang tak tega melihat Dewi membawa belanjaan yang begitu banyak tergerak membantunya. Dia bawakan sebagian belanjaan Dewi.
"Tuan, biar saya bawa sendiri," kata Dewi.
"Ne ... jangan begitu, Dewi. Biar Ik.bantu bawakan sebagian belanjaan," kata Alexander.
"Tapi, Tuan. Tuan tak pantas lakukan kerjaan ini," kata Dewi.
Alexander hanya tersenyum. Dia tak menggubris perkataan Dewi. Dia bawakan sebagian bawaan Dewi. Sambil menuntun kudanya, dia berjalan bersama Dewi.
"Dewi, setiap hari kamu melintasi jalanan ini?" tanya Alexander.
"Iya, Tuan. Jalan ini satu-satunya arah ke rumah." Dewi tampak terengah-engah membawa bawaannya.
Alexander melihat ketingat bercucuran dengan derasnya dari tubuh Dewi. Dia berikan bekal air yang dia bawa pada Dewi.
"Dewi, minumlah dulu," kata Alexander
Dewi awalnya menilak, namun dirasakannya dia begitu haus. Dengan terpaksa, Dewi akhirnya meminumnya. Tak banyak dia meminum air itu. Setelah dirasa dahaganya hilang, Dewi memberikan botol itu pada Alexander.
"Terima kasih, Tuan," kata Dewi.
Alexander hanya tersenyum. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dan, ketika sudah hampir dekat dengan perkampungannya, dia bertemu dengan tetangganya yang membawa pedati. Pedati itu berhenti. Kusirnya turun menyapa Dewi.
"Dewi?" sapa orang itu.
Dewi mengenalinya. Dia tersenyum manis bertemu dengan Bahri, tetangganya.
"Bahri? Kamu baru pulang?" tanyanya.
Sejenak, Bahri terkejut melihat orang yang bersama Dewi. Dia hendak berlutut di depan Alexander, namun Alexander mencegahnya.
"Sudah, tak perlu begitu. U tak perlu berlutut," kata Alexander.
Bahri terkejut. Seolah tak percaya, dia pamdangi Alexander.
"Meneer? Kami.biasanya begitu ketika bertemu Letnan Aart," katanya seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.
Alexander tertawa kecil. "Ik bukan Letnan Aart, anak muda. Ik Letnan Alexander."
Bahri yang terkejut hanya diam. Dia kembali menatap Dewi. Bahri tak tega melihat Dewi yang berjalan dengan belanjaan yang begitu banyak. Dia menawari Dewi tumoangan.
"Dewi, hari telah petang. oulanglah bersama ku. Biar nanti aku antar ke rumahmu," ajak Bahri.
Dewi memandangi Alexander. Alexander tersenyum manis dan mengangguk. Alexander memandangi Bahri.
"Tolong, jaga dia baik-baik. Ik tak ingin ada apa-apa dengan dia," kata Alexander pada Bahri.
Bahri tersenyum. "Baik, Meneer. Saya janji akan jaga dia."
Alexander memberika. sebagian barang bawaan Dewi yang dia bawa. Sebelum pergi, Dewi berpamitan pada Alexander.
"Tuan, terima kasih atas bantuannya pada Dewi. Saya permisi dulu, Tuan," kata Dewi berpamitan.
"Iya, Dewi. Pulanglah bersamanya. Sampai ketemu esok," balas Alexander dengan senyum manis.
Dewi mengangguk. Dia segera mengikuti Bahri dan naik ke pedati yang di bawa Bahri. tak lama kemudian, pedati itupun berjalan meninggalkan Alexander di jalanan itu. Selama beberapa saat, Alexander tersenyum memandangi pedati yang makin menjauh. Dan, dia segera naik ke pelana kudanya dan berlalu kembali ke loji.
Setibanya di sana, dia melaporkan status barak yang di serang tadi. Jenderal Pieterz merasa puas setelah menerima laporan itu. Setelah lapor, Alexander yang begitu penat langsung pulang ke mess nya.
"Uhft ... melelahkan sekali," bathinnya.
Dia pergi ke ruang makan untuk minum. Dia merasa begitu haus setelah mengangkat bawaan Dewi, dan juga perang tadi. Setelah hausnya hilang, dia masuk ke kamarnya dan kembali menulis di atas diary nya.
"Buku harianku,
Malam yang bersinar ini begitu panas. Siang hari tadi, sebuah barak di sektor tujuh di serang beberapa pejuang. Pertempuran singkat namun sengit itu berakhir dengan beberapa serdadu terluka, dan pejuang itu di tangkap.
Ik rasa begitu lelah dengan pertempuran itu. Namun, kelelahan itu seolah hilang bersama Dewi, wanita penjual kue itu. Akankah Ik dan dia dapat bersatu?"
Alexander kembali menutup buku hariannya. Dia pandangi langit malam.yang cerah. Sementara itu, Dewi yang baru tiba di rumahnya langsung di sambut ibunya. Bahri membantu Dewi membawakan belanjaan yang cukup banyak itu. Setelah selesai, Bahri bersiap pulang.
"Nak Bahri, terima kasih sudah antarkan Dewi pulang. Ibu sempat khawatir dengan keselamatan Dewi," kata Sukma.
Bahri hanya mengangguk. "Sama-sama, By. Saya permisi dulu."
Bahri langsung membawa pedati itu kembali ke rumahnya yang tak jauh dari situ. Sepeninggal Bahri, Dewi segera mandi dan beristirahat sejenak. Sementara ibunya tengah mempersiapkan bahan untuk membuat kue.
Sementara itu di kamarnya, Lestari tengah berdandan sambil memandangi wajahnya di cermin. Dia tatap bayangan wajahnya di cermin rias di depannya. Sesekali, dia tersenyum dan menyisir rambut panjangnya yang indah.
"Alexander ... Sungguh tampan dia," bathinnya.
Lestari tersenyum sendiri. "Alex, aku akan dapatkan kamu. Aku yakin, aku pantas buat kamu, Alexander," katanya dalam hati.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 17 Episodes
Comments