Rotterdam, 11 Mei 1940, Siang Hari
Siang harinya, perlahan Robert membuka matanya. Sinar matahari menembus celah gorong-gorong tempatnya bersembunyi.
"Uhft! Hari telah siang," bathinnya.
Dia dengarkan suara-suara, namun ternyata suasana di sana begitu senyap. Dengan hati-hati, dia awasi keadaan sekitar.
"Uhm ... rupanya telah sepi," lanjutnya dalam hati.
Perlahan, Robert membuka penutup gorong-gorong, dan dia pun keluar dari persembunyiannya.
Kini, dia sedang berada di sebuah reruntuhan bangunan di Belanda. Ketika itu, sedang terjadi Perang Dunia II. Tentara Nazi telah memporak porandakan pelabuhan Rotterdam. Dia duduk termenung. Dibukanya sebuah Diary yang cukup tua.
Semua tulisannya hilang, namun hanya satu halaman yang ada tulisannya. Dan ada satu halaman di posisi agak belakang robek. Dan, sebuah bekas bercak darah masih tampak di bekas robekan itu. Tentara itu tampak sedih.
"Dewi, kutukan ini begitu menyiksaku. Ribuan kesedihan, ribuan kematian kualui tanpamu," bathinnya.
Dia baca satu halaman yang ada tulisannya. Dia teringat tulisan itu.
"Dewi. Entah sampai kapan aku hidup dengan identitas lain. Aku begitu sedih harus melupakan anakku. Aku begitu sakit melihat Charlotte dan Ernest yang menikmati hari tua. Aku begitu menderita setiap mengunjungi pusaramu, dan juga pusara anak kita," lanjutnya dalam hati.
Sesekali air matanya menetes mengenang sebuah kisah indah masa lalunya. Ketika itu, salah seorang temannya menepuk pundaknya. Dia spontan menutup diary itu. Dalam bahasa Belanda, temannya berkata.
"Hei, Robert. Apa yang kamu tangisi?" tanya rekannya dalam bahasa Belanda
Dia terkejut. "Sial! hampir saja dia tahu, siapa aku," bathinnya.
"Uhm ... bukan apa-apa, Eugene," jawabnya gugup.
Eugene mengerti. Dia kembali mengajaknya.
"Robert, ayo tinggalkan tempat ini," kata Eugene.
Alexander terdiam. Dia pandangi puing-puing itu.
"Eugene. Aku ingin disini sendiri. Nanti aku akan menyusulmu," kata Alexander
Eugene mengangguk. Sebelum pergi, dia menyentuh lembut pundak Alexander.
"Oke, aku mau ke persembunyian. Tetap waspada, Nazi ada di mana-mana," kata rekannya.
Tentara itu hanya mengangguk. Akhirnya, ketika dia berjaga sendiri, dia membuka kembali satu satunya halaman yang ada tulisannya. Di halaman itu terdapat foto seorang wanita cantik. Sebuah foto lama namun masih terawat dengan baik.
"Amsterdam, 15 November 1939
Sudah lebih dari 100 tahun aku pergi meninggalkanmu, berkelana ke seluruh dunia, untuk bersembunyi. Aku masih mencari penangkal untuk menghapus kutukan ini dan untuk membunuh Lestari, sang penyihir jahat yang juga mengutukku untuk hidup abadi. Dia selalu mengejarku. Andai aku terima cintanya, mungkin aku gak akan pernah memaafkan diriku. Maafkan aku, Dewi. Aku harus pergi karena tak sanggup melihatmu menua sedangkan aku tidak menua karena kutukan ini. Setelah kutukan ini berakhir, kita akan berkumpul di alam lain. Do'akan aku, Dewi. Aku berharap aku dapat melihat anak cucumu, tapi sepertinya tak mungkin. Sekali lagi, maafkan aku.
Tertanda,
Alexander Van Koohn"
Tentara itu memandangi kalung berbandul batu ruby merah. Dengan meneteskan air mata, dia mengenang seseorang yang memberinya kalung itu. Perasaannya tampak hancur.
"Dewi, semoga kamu tenang di alam sana. Maafkan aku yang belum menyusulmu. Aku rindu padamu. Bahkan kini, lebih dari seabad aku hidup seorang diri. Sudah berulang kali aku berganti nama dan berulang kali aku pindah. Aku yakin, Lestari masih mencariku. Dewi, semoga kutukan ini segera berakhir," katanya dalam hati.
Ternyata, tentara itu bernama asli Alexander yang sudah berulang kali berkelana ke berbagai belahan dunia untuk berganti identitas.
Dia akhirnya mengingat peristiwa awal yang menyebabkan dia hidup abadi.
_____flash back______
Pada tahun 1793, di kerajaan Belanda, Seorang ajudan muda, bernama Alexander sedang menghadap Ratu. Dia menerima mandat dari sang Ratu. Dalam bahasa Belanda, Ratu itu bertitah.
"Letnan Alexander Van Koohn, mulai besok anda saya tugaskan bersama Jenderal Coen Pieterz ke negeri Hindia Belanda. Di sana, kamu akan melatih pasukan VOC. Besok pagi, anda akan berlabuh bersama kapal Van Derg Berg, dan nanti akan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa. Ini surat tugasnya," kata Sang Ratu.
Dia memberikan surat tugas kepada Letnan Alezander dan Jendral Coen Pieterz.
Mereka berdua menerimanya.
"Baik baginda ratu. Kami akan melaksanakan tugas sebaik baiknya," kata Alexander dan Pieterz.
Sang Ratu tersenyum. Dia memerintahkan kedua perwira itu untuk pulang.
"Bagus. Kalian bertugas di sana selama tiga tahun. Sekarang, kalian bisa pulang dan berkemas," kata Sang Ratu.
Kedua perwira itu memberi hormat pada sang ratu, lalu mereka segera keluar istana. Di kuar istana, mereka berdua berbincang-bincang dalam bahasa Belanda.
"Alexander, kamu bisa bahasa melayu?" tanya Pieterz.
"Uhm ... bisa sedikit. Tapi aku akan bisa," kata Alexander.
"Baiklah, sampai ketemu besok pagi di pelabuhan Rotterdam," kata Pieterz.
Alexander hanya tersenyum manis. Mereka berpisah di sebuah persimpangan menuju ke kediaman mereka masing masing.
Keesokan paginya, Alexander dan Pieterz menaiki kapal yang membawanya ke Hindia Belanda. Dalam perjalanan ke Hindia Belanda, Alexander membuka Diarynya. Dia tuliskan sesuatu di Diary itu
"Het schip Van Der Berg, 2 December 1793
Dit is mijn eerste dag zeilen van de haven van Rotterdam naar Nederlands-Indië. Ik zag Nederlands-Indië alleen door middel van een ansichtkaart. Een groen land, rijk aan kruiden, en slechts twee seizoenen. Net als de hemel. Mag ik daar een mooie vrouw vinden. Ik was al gekwetst nadat ik door Sharron was verraden."
(Kapal Van Der Berg, 2 Desember 1793
Ini adalah hari pertama ku berlayar dari pelabuhan Rotterdam menuju Hindia Belanda. Aku hanya melihat Negeri Hindia Belanda melalui sebuah Kartu Pos. Negeri yang hijau, yang kaya rempah rempah, dan hanya dua musim. Seperti negeri surga saja. Semoga aku menemukan wanita cantik di sana. Aku sudah sakit hati setelah dikhianati Sharron.)
Alexander menutup buku hariannya. Dia tersenyum penuh harap dengan perjalanan dinasnya di Hindia Belanda. Mereka berlayar selama dua tahun lamanya.
Setelah berlayar selama dua tahun, Alexander dan Pieterz mendarat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Di pelabuhan, mereka di jemput oleh Mayor Ernest. Dengan mengendarai kereta, mereka akhirnya tiba di sebuah barak militer. Di sana, Mayor Ernest berkata dalam.bahasa Belanda.
"Selamat datang di Negeri Hindia Belanda," kata Ernest.
Jenderal Pieterz tersenyum dengan sambutan dari Mayor Ernest.
"Terima kasih atas penyambutannya," balas Pieterz dengan senyum lebarnya.
"Oh ya, biar Patrick yang menunjukkan ruang kerja anda, berikut mess kalian," kata Joen.
Ernest memanggil Patrick. Dia memerintahkan Patrick untuk menunjukkan mess dan ruang kerja kedua perwira itu. Setelah mengantarkan kedua perwira itu, Patrick segera pergi mengantarkan kedua perwira di ke mess nya.
Sesampainya di mess, Alexander mengatur barang bawaannya. Semua pakaiannya di almari yang ada di mess tersebut. Setelah mengatur barang bawaannya, Alexander mengambil.sebuah buku diary yang baru. Dia mengisi halaman pertama diary itu.
"Nederlands-Indië, 14 oktober 1795
Na twee jaar zeilen ben ik nu geland in Batavia, de hoofdstad van Nederlands-Indië. Eerlijk gezegd werd ik verliefd op dit land. De mensen zijn ook vriendelijk. De lucht is zo gezond en er is genoeg zonlicht. Geen wonder dat mensen dit land een paradijs op aarde noemen."
(Hindia Belanda, 14 Oktober 1795
Setelah dua tahun berlayar, kini aku sudah mendarat di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Sejujurnya, aku jatuh cinta pada negeri ini. Orang orangnya juga ramah. Udaranya begitu sehat dan cukup cahaya matahari. Pantaslah orang orang menyebut negeri ini adalah surga dunia.)
Alexander tersenyum. Baru besok dia mulai bekerja. Dia menutup buku hariannya.
"Uhm ... kayaknya aku ingin keluar. Aku ingin jalan-jalan," kata Alexander dalam hati.
Dia segera keluar dari messnya. Dia berjalan mengelilingi area sekitar mess nya. Ketika berkeliling, dia tergelitik melihat seorang gadis penjual makanan kecil.
"Kue. Kue ... kue ... kue ...,"teriak gadis itu menawarkan dagangannya.
Rupanya Alexander tertarik dengan dagangan yang di jual gadis itu.
"Hai, penjual kue, kemari. ik mau beli," kata Alexander memanggil penjual kue itu.
"Ya Meneer ... sebentar," kata gadis itu berjalan menuju Alexander.
Setelah di depannya, Alexander mengajaknya ke teras messnya. Gadis itu berjalan di belakang Alexander. Setelah tiba di teras, Alexander menyuruhnya duduk. Namun, gadis itu menolaknya.
"Meneer, saya tidak boleh duduk di situ. Saya kan orang pribumi," kata gadis itu.
"Ne ... ne ... ne. Buat ik siapapun dia, selama tamu ik, harus duduk di kursi ini. Ayolah, gadis cantik. Duduklah. Nanti jika di tegur petugas keamanan, katakan jika Letnan Alexander yang memerintahkan," kata Alexander dengan senyum ramahnya.
"Baik, meneer" kata gadis itu.
Gadis itu mulai membuka selubung barang dagangannya. Alexander belum pernah melihat kue itu. Dia penasaran.
"Ini kue apa?" tanya Alexander sambil menunjuk sebuah kue. Gadis itu tersenyum manis.
"Ini namanya gethuk, Meneer. Dan yang ini kue kucur," kata gadis itu menjelaskan.
Alexander menggut-manggut. Dia tersenyum memandangi gadis itu. Dia sejenak berfikir. Dia pandangi kue-kue itu. Dia tunjuk sebuah kue.
"Ik beli yang ... uhm ... ge cu ...," kata Alexander dengan terbata bata.
"Meneer, gethuk," kata gadis itu menjelaskan.
"Iya ... eike beli tiga buah. Berapa harganya?" tanya Alezander.
"Semuanya satu gulden dua puluh sen, Meneer," kata gadis itu.
Alexander mencoba kue yang dibelinya. Dia tersenyum puas dan mengisyaratkan rasanya enak. Dia mengeluarkan uang receh, dan melebihkan jumlahnya. Gadis itu terkejut.
"Meneer, uangnya kebanyakan satu gulden," kata Gadis itu.
Gadis itu hendak mengembalikan kelebihan uangnya, namun Alexander mencegahnya.
"Sudah, tidak apa-apa. Ambil saja lebihnya," kata Alexander memaksa.
Gadis itu trrsenyum manis. "Terima kasih, Meneer," katanya.
Alexander mencicipi kue itu, sambil memandangi gadis penjual kue. Dia tersenyum manis. Dalam hati, Alexander mengagumi kecantikan penjual kue itu. Sambil melahap kue itu, Alexander mengajak gadis itu berkenalan.
Uhm ... maaf. Setelah ini kamu jangan panggil eik meneer. Panggil saja Alex. Eik Alexander, Alexander Van Koohn. Lalu kamu, siapa?" tanya Alexander.
Gadis itu tersenyum manis. Rupanya sang gadis juga tertarik.dengan ketampanan Alexander.
"Saya Dewi, Me …." Kata Dewi yang langsung di putus Alexander.
"Ne ... ne ... ne …! Dewi, ingat kata saya. Panggil saya Alex. Tapi kalau didepan orang orang, panggil saja tuan. Mengerti?" kata Alexander sambil mengacungkan telunjuknya dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.
"Maaf, Alex. Saya takut kena hukuman," kata Dewi dengan nada khawatir.
Alexander tersenyum manis. Dia memahami kekuatiran Dewi. Alexander tergelitik untuk mengenal Dewi lebih jauh. Dia kembali bertanya pada Dewi.
"Baiklah, nanti eik antar kamu keluar. Kamu jangan khawatir. Uhm, kamu berjualan di mana saja?" tanya Alexander.
"Di sekitar komplek sini saja," kata Dewi.
Alexander manggut-manggut. Dia tersenyum manis memandangi wajah cantik Dewi, si penjual makanan kecil itu. Dewi tersipu malu dipandangi Alexander.
"Duh, dia begitu tampan. Dia juga baik. Tidak seperti kompeni lainnya, dia baik sekali," katanya dalam hati.
Alexander kembali melahap kue yang baru dia beli. Dia begitu suka dengan kue-kue yang di jual Dewi.
"Dewi, kue ini enak sekali. Mulai besok, kamu mampir ke sini ya. Nanti kalau di tanya sama penjaga bilang saja eik yang menyuruh," kata Alexander dengan dialek Belanda.
"Baik, Alex. Saya permisi dulu," kata Dewi berpamitan.
Dia kembali memasukkan dagangannya di gendongannya. Alexander membantu Dewi membawakan dagangannya. Mereka berdua berjalan ke luar komplek asrama kompeni Belanda. Setelah melewati gerbang, Dewi berpamitan pada Alexander. Alexander kembali masuk di asramanya.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 17 Episodes
Comments