Sinar surya menembus jendela kaca kondominium milik Reina. Wanita muda yang tengah mengoleskan make-up di depan cermin, telah rapi dengan pakaian kerjanya, bawahan dark grey skirt serta atasan biru muda yang menempel nyaman di tubuhnya. Selesai berdandan, ia mengambil totebag lalu menyeret kakinya ke kitchen. Mengambil selembar roti, memanggangnya di toaster, menuangkan jus sehat ke mug. Duduk di stol bar kecil menikmati hidangan breakfast-nya. Gawainya bergetar, buble chat teratas nama Erlangga muncul.
Erlangga Yudistira :
Pagi....
Kamu udah bangun?
^^^Reina Akselia :^^^
^^^Pagi, Lang.^^^
^^^Udah kok. Aku mau siap-siap berangkat ke kantor malahan. ☺😁^^^
Erlangga Yudistira :
Aku call. Angkat ya?
Aku pengen denger suara kamu, mau mastiin kamu aman atau nggak.
Tak lama Erlangga benar-benar menghubunginya. Jarinya lantas menggeser tombol hijau tersebut, menjawabnya dengan sapaan lembut.
"Haii. Kenapa Lang?"
"Gapapa. Mau mastiin saja. You're okay, right?"
Reina tersenyum. "I'm okay kok."
"Beneran? No interference at all, right?" Erlangga bertanya dengan nada terdengar khawatir.
"Enggak ada kok. Aman."
"Syukurlah. Ini kamu bangun jam berapa? Jam segini udah siap-siap ke kantor."
Reina menumpukan tangannya di meja, memutarkan bola matanya, seakan sedang mengingat-ingat. "Mungkin aku bangun 3 ini tadi. Sebenernya mau tidur lagi habis subuh nggak bisa tidur, yaudah lanjut aktivitas lain. Sekarang aku lagi breakfast nih."
Reina mampu mendengar suara helaan napas pria itu dari seberang sana.
"Still thinking about last night?"
Reina sejenak diam. Ini bukan diam memikirkan kejadian semalam, melainkan kepedulian Erlangga padanya yang membuatnya terdiam.
Erlangga selalu menunjukkan sisi peduli. Dalam situasi apapun dia selalu bertanya mengenai kondisinya. Tak pernah ia memperlihatkan ketidakhawatiran.
"Hey, Reina? Kamu masih di situ kan?" Karena saking lamanya berdiam, Erlangga memanggilnya lagi dengan nada lembut.
"Hmm. Kamu nggak perlu khawatir, I don't think about it too much anymore."
"I hope so. Kalau kamu ada apa-apa selalu kabarin aku. Libatin aku dalam hal apapun." Hampir tiap waktu Erlangga mengatakan itu.
"Terima kasih Lang. Tapi, aku yakin bisa mengatasi semuanya sendiri. Aku yakin itu." Ia mengatakan seperti itu lantaran tak ingin merepotkan orang lain. Salah satunya Erlangga.
"Reina dengar —"
Ketika ia tengah mendengarkan Erlangga berbicara, ada suara terbukanya pintu apartemen, lantas Reina berdiri guna menengok siapa pagi-pagi datang dan dengan mudah mengetahui sandi apartemen-nya. Terdengar suara langkahan kaki. Langkahan cepat itu semakin mendekat.
Lalu, tamparan keras mendarat tepat pipi tirusnya. Reina tersentak hingga sekujur tubuhnya mendadak mendingin, ketika memalingkan mukanya untuk melihat siapa yang tega memperlakukannya secara mendadak.
Berhasil ia lihat. Dan ia melihat sepasang mata merah seorang wanita paruh baya yang menajam saat menatapnya, helaan napas yang tersenggal yang sukar untuk dikendalikan.
Lantas ia paham maksud kedatangan wanita itu dengan amarah yang mencuat.
"Mama." Lirihnya saat berucap. Tangan kanannya masih menyentuh pipinya yang tertampar.
"MAU KAMU APA SIH REINA? KAMU MAU MEMPERMALUKAN SAYA KE SEMUA ORANG?!" Teriak Mamanya.
"Ma, dengerin Reina —"
"KAMU SUNGGUH TIDAK TAHU DIRI YA? SAYA SUDAH MEMBERIKAN SEGALANYA KE KAMU. TAPI BALASANNYA APA—" Wanita itu berseru dengan nada amat tinggi. "— KAMU MENGHANCURKAN SEMUANYA!"
"Ma, yang tenang. Mama dengerin penjelasan Reina dulu, ya? Mama —"
Rinjani, Mama Reina tertawa sinis. "Mau nyuruh mendengarkan pembelaan diri kamu itu?"
"Ma, bukan gitu maksud Reina," Reina berkata pelan. Berusaha menenangkan situasi, walaupun air matanya sudah meleleh. Ia menangis bukan akibat tamparan. Bukan. Melainkan ibunya benar-benar tak sudi mendengarnya.
Tuhan. Ibunya sungguh membencinya kali ini?
Rinjani menunjukkan foto seorang pria dan wanita tengah duduk berdua di sebuah kursi taman. Di foto tersebut mereka asyik berbincang. Itu jelas sekali. Foto tampak masih baru. Seseorang itu Reina dan Erlangga.
Tubuh Reina membeku.
"Mama peroleh dari mana foto ini?" Tangan Reina bergetar. Ia hendak mengambil gawai milik Mamanya. Mamanya menyambar lebih gesit.
"Bukan urusan kamu saya peroleh dari mana. Karena saya yakin kamu akan mengelak, iya?" Tuduh Rinjani.
Reina menggelengkan kepala cepat. Ia berusaha menatap ibunya, berusaha untuk menjelaskan. Namun, ibunya menepisnya. Enggan memberikan kesempatan padanya.
"Kamu itu sudah bertunangan Reina. Semestinya kamu paham. Kamu bertunangan dengan orang penting. Seorang putra yang berpengaruh di Jakarta," Rinjani menggelengkan kepala, seolah mempelihatkan kekecewaan terhadap putrinya. "Saya kecewa sekali sama kamu,
"Mama, pria dibalik foto itu Erlangga," jelas Reina.
"SAYA TIDAK PEDULI DIA SIAPA!" Lagi dan lagi suara lantang Rinjani menyergap Reina. "Yang jelas kamu di sini bersalah Reina. Kamu mengkhianati Arthala dengan bertemu pria lain diwaktu acara besar. Perusahaan Arthala." Rinjani menekankan.
"M-maa kami hanya berbincang biasa. Tidak lebih." Walaupun terus dipotong ucapannya, ia berusaha menjelaskan dengan sedikit terbata-bata. "Reina mohon, mama percaya sama Reina."
Reina meraih pergelangan tangan mamanya, yang langsung ditepis kasar.
"Kalau kamu ingin mengembalikan kepercayaan saya. Bertanggung jawab atas kelalaian yang kamu perbuat." Rinjani mendekat. "Minta maaf ke keluarga Bramasta. Akui kesalahan kamu. Kembalikan kepercayaan mereka supaya tidak membatalkan pertunangan ini."
"Kenapa Mama bersikukuh dengan pertunangan ini?" Dengan keberanian yang tercipta Reina bertanya.
"Kamu masih bertanya?" Rinjani tersenyum kering. "Kamu lupa apa yang kamu perbuat pada suami dan putri sulung saya? Kamu penyebabnya Reina. Kamu yang bermain api di alur dan latar ini." Telunjuknya memukul kening Reina. "Kamu sumbernya. Sumber kepergian suami saya dan Raisya."
"Jangan pura-pura lupa kamu, Reina!"
Reina diam. Tubuhnya bergetar. Kepala nyeri. Sangat nyeri. Ingatannya 15 tahun lalu kembali muncul. Memoriam itu bergelanyar di memorinya. Keterlaluan sekali. Kenapa selalu muncul?
Rinjani bergerak mundur dan berbalik. Di langkah ketiga Rinjani berkata lagi, "Hari ini kamu atur waktu bertemu keluarga Bramasta terutama Arthala. Sampaikan permohonan maaf yang sungguh pada keluarga mereka."
Setelahnya Rinjani meninggalkan Reina yang diam menahan kesakitan di kepala. Ia duduk di stol. Mengambil air minum guna meredakan. Alih-alih reda, justru terasa semakin parah. Sakit sekali. Berupaya sekuat tenaga berjalan ke kamar. Namun suara bel mendistraksinya, maka ia mengurungkan dan menyeret kakinya menuju pintu. Membuka pintu begitu saja tanpa melihat layar video.
Pintu terbuka. Memperlihatkan seorang pria berpostur tegap. Dia tampak khawatir. Memanggil nama Reina. Sementara Reina tidak mampu melihat jelas siapa pria itu. Ia tertunduk meringis, tangannya memegang kepala yang nyeri hebat. Lantaran tidak kuat menahan nyeri hebat di kepalanya. Reina ambruk di hadapan pria itu.
******
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 6 Episodes
Comments
Maria Elizabeth Pereira
I'll be refreshing the page every hour until the next chapter is up! 😩
2025-08-16
0