Familiarity and A paparazzi

Ketukan hak tinggi dari wanita muda itu dengan anggun melewati ramainya orang di gedung berlantai sangat tinggi. Malam ini adalah acara keberhasilan project kerjasama hotel Wijaya Group milik Arthala dengan Andalas Group milik Roy. Senyum lugunya terus ia ukir menyapa para undangan di sana. Retina Reina berpendar ke penjuru ruangan untuk mencari seseorang. Ketemu. Seseorang yang ia cari tengah berbincang dengan dua pria dewasa. Reina menghampirinya dengan langkah pelan namun tampak elegan.

"Mas Artha..." pria yang dipanggilnya itu menoleh.

Senyum Arthala mengembang. "Hai Sayang." Arthala lantas merangkul pinggang Reina. Sandiwara yang pintar sekali. "Kenalin ini tunangan gue, Reina. Reina kenalkan, ini Roy dan Harry."

Roy dan Harry bergiliran menjabat tangan Reina. Mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain.

"Oh ya, mereka adalah teman sekaligus kolegaku. Mereka ini termasuk orang yang dulu berjasa membantu permasalahan hotelku—mereka dengan sangat tulus mau bekerjasama dengan project ini. Jadi kita harus berterima kasih sama mereka," jelas Arthala.

"Terima kasih sudah membantu Mas Arthala membangun kembali hotel ini dan terima kasih atas jalinan kerjasamanya ini," senyum rekah Reina terulum kala mengucapkan.

"Kami sudah mengenal lama dengan Arthala, Reina. Hal wajar saya dan Harry bantu Arthala," ujar Roy.

"Benar kata Roy. Ar, Reina ini yang lo maksud waktu itu? Mahasiswi yang udah lo incar lama?" Pertanyaan Harry membuat Reina menoleh ke Arthala.

Rangkulan Arthala di pinggang Reina menguat. "Benar. Reina ini lulusan dari kampus tempat gue ngajar dulu." Artha memalingkan kepala singkat ke tunangannya. "Dia memang .... Salah satu wanita yang bikin gue jatuh hati."

Reina mengeratkan kuat genggaman pada tali sling bag-nya. Ingin sekali Reina menyangkalnya namun keberaniaannya sekarang di pucuk hilir. Tak ada sama sekali. Ia hanya mampu diam dan patuh pada tunangannya itu.

"Kata gue lo harus beruntung dapetin Arthala. Dia sampai nungguin lo lama. Dia yang akhirnya punya keberanian buat nyatain perasaan ke lo dan ngajak lo ke tahap yang serius." Roy yang berkata serius, membuat Reina justru merinding.

"Sama-sama beruntung sih. Reina cantik begini apa nggak extra keras jagain Reina dari buaya di luaran sana. Ya nggak, bro?" sahut Harry.

Arthala merespon dengan tawa. Tawanya terdengar sangat jumawa. Risih sekali mendengarnya.

Reina? Reina hanya menanggapi senyuman kecil. Perbincangan kian berlanjut. Hanya membahas perbisnisan. Dan itu sangat lama, menyita banyak waktu. Reina yang telah jenuh, memutuskan, meninggalkan mereka dan memilih menjauh.

*****

Wanita muda ber-dress pink soft itu berjalan jauh dari ballroom. Dia melangkahkan kaki keluar hotel. Berjalan terus hingga ia menemukan sebuah taman kecil yang indah. Letaknya tak jauh dari lobi. Berada di samping kanan air mancur. Taman kecil dihiasi oleh pijaran lampu, beberapa bunga yang tumbuh dan rumput hijau di sekitaran.

Langkah Reina terhenti ketika ia melihat seorang pria dari jarak 1 meter itu tengah duduk di kursi taman sambil menyulutkan sebatang tembakau. Ia mengenal siapa pria tersebut. Lalu ia mendekat. Menghampiri pria yang duduk santai memandangi pohon di depannya.

Reina berdeham kala sudah berada di jangkauan terdekat pria muda itu, lantas menoleh terkejut saat mendengar.

"Reina?"

"Aku ganggu kamu ya?" Reina meringis, merasa tidak enak hati.

Erlangga menggeleng. "Nggak sama sekali. Sini duduk?" Erlangga sedikit bergeser dan menyingkirkan jas hitam yang ia sampirkan dipenyangga. Sebelum Reina menyadari, Erlangga segera mematikan rokoknya dengan cara menggenggamnya. Rasanya memang-lah panas. Dan hal itu telah menjadi kebiasaannya.

Reina menurut. Kini mereka duduk di bangku yang sama. Entah kenapa ini menciptakan kenyamanan teruntuk Reina.

"Kok lo di luar? Bukannya harusnya lo di dalam nemenin Arthala?" tanya Erlangga. Pria itu yang memulai obrolan.

"Aku jenuh di dalam. Banyak obrolan yang nggak aku mengerti. Tentang bisnis-lah. Saham-lah. Muter itu mulu. Jadi, aku milih keluar buat cari udara segar," tutur Reina dengan nadanya yang jengkel. Siapa sangka itu tampak lucu dimata Erlangga. Serta membuatnya tertawa kecil.

"Namanya juga pebisnis, Na. Apa yang mereka obrolin ya seputar itu."

"Kamu sendiri, kok di luar juga?"

"Oh. Gue bosen di dalem. Lagi pengen nyebat juga. Sebenernya gue udah izin pulang duluan sama Nino, Ardi, Guntur. Eh ternyata malah ke jegal di sini," gurau Erlangga dan mendapat respon tawa kecil dari Reina.

Reina menghela napas lalu menyenderkan punggungnya di kursi."Mas Arthala ngenalin aku sama rekannya yang bantu dia nyelesain masalah hotelnya dulu. Kamu tadi pasti lihat. Yang namanya Roy dan Harry. Nah, aku disuruh akrabin diri sama mereka. Tapi, aku sendiri masih belum bisa," jelasnya dengan tatapan tertuju ke jalan raya.

"Karena lo sendiri dari dulu susah banget buat akrab sama orang baru," ujar Erlangga yang memahami sekali. Pria itu kini tak lagi menghadap ke arah jalanan, lantaran ada yang lebih menarik dari ramainya jalan yaitu wanita di sampingnya ini. Cantik sekali. Cukup memujinya di dalam hati.

"Hmm. Iya itu jadi permasalahannya."

"Soalnya dulu kalau anak-anak ataupun gue yang nggak akrabin ke lo duluan, pasti ya lo lebih milih banyak diamnya," kata Erlangga.

Reina terkekeh. Ia memalingkan kepalanya ke hadapan Erlangga. "Oh iya, sebenernya tadi itu aku inisiatif buat nyamperin kamu tahu."

"Oh iya?"

Reina mengangguk. "Tapi, Mas Arthala posesif banget hari ini. Dia nyuruh aku buat di sampingnya terus. Dia nggak ngebolehin aku ke mana-mana. Padahal aku izinnya nyamperin kamu yang notabenya temenku sendiri. Tetap nggak dibolehin."

"Arthala cemburu kali sama gue. Soalnya lo dari dulu deketnya sama gue," kelakar Erlangga. Dia kentara sekali sedang menggodainya.

Reina tertawa yang masih betah memerhatikan ramainya lalu lalang kendaraan malam itu. "Mas Arthala nggak pernah cemburuan kok, Lang. Kalau hari ini posesifin aku mungkin karena—"

"WOYYY!"

Kalimat yang diucapkan Reina terhenti lantaran secara tiba-tiba Erlangga berteriak, meneriaki seseorang di belakangnya. Reina menoleh cepat. Erlangga bangkit dari duduknya. Reina yang masih terkejut turut bangkit.

"LO TUNGGU DI SITU. DUDUK DI SITU JANGAN KE MANA-MANA!" Sesaat, Erlangga mengisyaratkannya untuk berada di tempat. Selanjutnya berlari mengejar pria berbaju hitam yang membidik kebersamaannya.

"BERHENTI LO ANJING!"

Pria tadi begitu gesit dalam berlari dan tak memedulikan teriakan Erlangga. Erlangga-pun tak lengah untuk mengejarnya, karena ia ingin tahu siapa pria itu dan ingin tahu apa tujuan membidiknya bersama Reina. Erlangga terus mengejarnya sampai area rubanah. Pria berpakaian serba hitam itu berlari melewati banyak mobil terparkir di sana, menaiki dan melompati sekitar tiga mobil seolah sedang menunjukkan atraksi seperti adegan di film. Dalam jarak dekat ada sebuah mobil yang hendak keluar. Hampir Erlangga tertabrak. Beruntungnya seseorang dalam mobil sigap mengerem—meminta maaf walaupun masih mendapat umpatan. Tidak mengindahkan itu, lantas ia terus berlari memasuki lorong gelap, dan menemukan pria berbaju serba hitam tadi berdiri di sana, tengah membuka dan mengotak-atik kameranya.

Erlangga yang telah dirudung emosi, berkesempatan menyerang dengan menendang punggung pria itu hingga terjatuh telungkup. Pria itu dengan tertatih bangkit hendak membalas memukul Erlangga. Gagal. Erlangga bergerak cepat menangkis dan berbalik memukul pria itu hingga tumbang-tidak diberi peluang untuk memukul balik. Kekuatan Erlangga jauh lebih besar. Pria itu tak berdaya. Terlentang di lantai kasar tersebut. Erlangga mendekat membuka paksa masker yang menutup wajah pria itu. Dia begitu penasaran siapa dibalik seseorang itu. Lalu, "Bangsat ... Ternyata lo pelakunya."

*****

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play