Sudah sekitar dua minggu sejak hari pertama kuliah. Hari demi hari berlalu. Chihana sudah tak pernah terlambat dan selalu menggeraikan rambutnya. Ia sudah bisa benar-benar melupakan dan menghiraukan Haruto. Tidak benci, namun lebih baik menjadi orang asing lagi seperti belum kenal. Ia sudah cukup bahagia dengan kondisinya yang sekarang.
Chihana berdiri dan menyandar pada dinding di samping sebuah pintu kelas. Bukan kelasnya, namun kelas teman-temannya. Sayangnya ada satu hari dimana ia tak satu kelas dengan teman-teman lainnya. Sekitar pukul dua belas siang, pintu kelas itu pun akhirnya terbuka hingga membuatnya sedikit terkejut. Chihana kembali berdiri tegak menantikan satu per satu temannya keluar dari kelas itu.
Dari jauh, Chihana dapat melihat Mei dan Tsumi sedang berjalan ke arah luar. Di depan mereka, terdapat segerombolan laki-laki yang tak ia perhatikan dengan jelas. Namun yang jelas, Chihana melihat Mikage berjalan keluar di depan Mei dan Tsumi.
Chihana melambaikan tangannya kepada Mikage dan Mikage malah menepuk tangannya. Chihana kaget karena sebenarnya bukan itu yang ia inginkan. Tanpa memedulikan itu lebih jauh, Chihana sudah menyapa dan bergabung dengan Mei dan Tsumi.
“Kau menunggu dari tadi?” tanya Mei.
“Ya. Mari makan siang.” Ajak Chihana. Mereka bertiga berjalan bersamaan menuju tempat makan utama, yaitu kafetaria.
“Mei, dimana Jio?” tanya Chihana.
Mei merogoh tasnya dan meraih ponselnya. “Tidak tahu, kurasa dia masih di rumah.” Jawabnya sambil menatap layar ponsel. Mungkin mencari dimana Jio berada.
Akhirnya mereka tiba di kafetaria dan langsung duduk di meja yang biasa mereka tempati. Mei dan Tsumi langsung pergi mencari makan setelah menaruh tas mereka. Sedangkan Chihana masih mengambil dompetnya dan ketika hendak pergi, Mikage datang menghampirinya.
“Kau ingin makan apa?” tanyanya.
“Tidak tahu. Aku akan menyusul Mei dan Tsumi. Sampai jumpa.” Jawab Chihana cepat dan langsung mengejar ke arah Mei dan Tsumi.
“Baiklah...” gumam Mikage pelan.
Ketika Chihana, Mei, dan Tsumi sedang menyantap makanannya, tiba-tiba saja Jio datang. Mereka bertiga terkejut dan langsung tertawa begitu melihat wajah Jio.
“Astaga, kau baru datang!” pekik Chihana sambil tertawa keras.
“Hei, kenapa kau baru datang? Aku sudah menelponmu tadi pagi, bukan?” tanya Mei.
Jio tersenyum lebar. “Aku masih mengantuk... hehehe...”
Saat itu pula semuanya tertawa.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kelas tadi?” tanya Jio.
Mei langsung menampar pelan wajah Jio. “Siapa suruh tidur lagi? Aku takkan membantumu belajar saat ujian nanti. Belajarlah sendiri.”
“Lebih baik kita belajar bersama, bagaimana?” sahut Chihana tiba-tiba.
“Tentu.” Jawab Tsumi.
“Aku salut dengan kalian, sudah berapa lama kalian berpacaran?” tanya Chihana lagi.
Mei dan Jio terdiam. Sama-sama berpikir. “Hm... tahun ini kami akan empat tahun.”
“Wah... keren sekali kalian.” Ujar Tsumi.
“Kalian sungguh keren. Kalau aku, hanya menyukai seseorang selama empat tahun.” Gumam
Chihana.
Begitu mendengar Chihana berkata begitu, Mei dan Tsumi langsung tercengang. “Kau? Menyukai
seseorang selama empat tahun? Itu juga sangat keren bagiku...” ujar Mei.
“Benar sekali.” Timpa Tsumi.
“Tetapi aku tak pernah menyatakan perasaanku. Mungkin aku tahu bahwa perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan, maka dari itu aku tak pernah menyatakannya.” Kata Chihana.
“Sejak kapan? Dan dimana laki-laki itu sekarang?” tanya Tsumi.
Chihana sebenarnya tak ingin membahas hal ini sama sekali. Namun melihat hubungan Mei dan Jio yang bertahan lama membuatnya jadi teringat akan cinta pertamanya. “Sejak aku masih di sekolah menengah pertama, kira-kira sampai sebelum aku kuliah. Dia sekarang kuliah di Universitas Tokyo.” Jawabnya.
“Wah... sayang sekali. Andai saja dia kuliah di sini juga, kami bisa mendekatkanmu dengannya kembali.”
“Kalian kenal dia saja tidak, bagaimana bisa mendekatkanku padanya?” sahut Chihana sambil tertawa garing.
Benar, cinta pertamaku, Kizuki. Aku terlalu mencintainya secara diam-diam. Aku tak berani untuk menyatakan perasaanku sedikit pun. Aku tahu bahwa aku akan ditolak namun menyatakan apa yang kurasakan itu sangat menakutkan. Aku baru menyadari pertama kali bahwa menyukai seseorang sedalam itu menyakitkan. Aku memang menyukainya cukup lama, namun tak ada kenangan indah sedikit pun yang terwujud dari itu. Hanya kenangan sakit hati dan aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku penasaran... apakah dia menyadari perasaanku ini?
“Kalau boleh tahu, siapa nama cinta pertamamu?” tanya Mei.
Chihana terdiam sejenak. Ia melihat ke samping, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang. Mencari setidaknya apakah ada laki-laki yang mirip dengan Kizuki. Tetapi tidak ada. “Kizuki. Kizuki Ayato.” Jawabnya pelan.
Semuanya pun terdiam. Melihat wajah Chihana yang terlihat sedih dan menyimpan banyak makna dibaliknya. “Mungkin sudah saatnya kau melupakan orang itu, Chihana. Kita harus melangkah maju, biarkan kenangan sedih hanya menjadi kenangan yang tidak akan menghentikanmu di masa sekarang. Kau sudah dewasa, kau pasti tahu mana yang terbaik untukmu.”
Chihana kembali menghadap ke depan dan tersenyum. “Kau benar. Saat itu memang salahku karena tak pernah menyatakan perasaanku. Walaupun aku tahu bahwa Kizuki takkan mau berpacaran denganku. Yang kutahu sekarang dia sudah punya kekasih. Kukira dia sama sekali tak tertarik dengan perempuan.”
“Sudahlah... kau ini cukup populer di sini. Aku tebak, dalam sebulan lagi kau akan dekat dengan seseorang. Aku jamin itu.” Ujar Mei.
“Ha-?”
Beberapa minggu kemudian...
“Sial... aku gagal melakukan ujian tadi...” gumam Chihana.
Ia duduk sendirian di bangku taman yang ada di kampus. Duduk di bawah pohon rindang membuat udara semakin sejuk. Namun, ia harus meratapi nasibnya ketika mengingat ia tak bisa melakukan ujian pagi tadi. “Padahal ujian terakhir... seharusnya aku senang-senang, tetapi malah membuatku pusing.” Lanjutnya.
Tiba-tiba seseorang datang dan duduk di samping Chihana. “Kenapa kau?” tanyanya.
Chihana tersentak kaget. “Mikage? Kenapa kau ada di sini?”
“Karena melihatmu sedang duduk sendirian di sini. Kau kenapa?” tanyanya.
Chihana menghela napas. “Aku tidak bisa mengerjakan ujian tadi. Aku jadi tidak ingin bertemu dengan yang lain dan hanya ingin menyendiri.”
“Jangan meratapi nasib seperti itu. Lupakan saja tentang ujiannya.”
“Kau ini pintar... tidak akan merasakan kesulitan sepertiku. Setiap nilai yang aku dapatkan selalu
aku pikirkan.”
“Tidak juga. Aku juga pernah dan sering mendapatkan nilai yang dibawah rata-rata. Aku hanya
beruntung saja aku dapat menguasai apa yang diajarkan di sini.”
“Yah... sedangkan aku tidak menguasainya.”
“Kalau kau terlalu memikirkannya, kau akan terus-terusan merasa pusing dan terpuruk. Karena sudah berlalu, biarkan saja berlalu dan tunggu saja hasilnya. Aku yakin nilainya takkan seburuk yang kau pikirkan. Masih bisa diperbaiki saat ujian akhir nanti. Percayalah padaku.” Ujar Mikage sambil menepuk-tepuk bahu Chihana.
Mendengar itu, Chihana memang menjadi lebih tenang. Tak kusangka dia berhasil menenangkanku.
“Baiklah, baiklah...”
“Kalau begitu, mari kita jalan-jalan untuk merayakan hari ini.” Kata Mikage lalu berdiri.
“Jalan-jalan? Kemana?”
“Tidak tahu, ikut saja!” ajaknya sambil meraih tangan Chihana dan menariknya.
Inilah pertama kali dimana Mikage mengajakku pergi. Dia menenangkanku yang sedang
terpuruk dan menghiburku. Dia menggenggam tanganku dan menarikku kemana pun ia pergi. Tubuhku hanya mengikuti kemana pun ia menarik tangannku. Namun rasanya aku tak pernah sehidup ini. Aku merasa... sangat senang.
Setelah berjalan cukup lama, mereka tiba di sebuah tempat makan yang tak terlalu mewah namun juga tak terlalu kumuh.
“Ini adalah tempat makan yang sering kudatangi.”
Chihana melihat ke sekeliling restoran itu dan memang suasananya lumayan nyaman.
Lalu Mikage mengarah ke meja makan yang berada di ujung ruangan dan menyuruh Chihana
untuk duduk di depannya. Lalu ia membuka menu makanan dan melihat-lihat apa yang menarik baginya.
“Dulu, aku sangat sering memesan ini... ah, ini juga. Tapi yang ini juga sangat enak... ini
direkomendasikan oleh ibuku... yang ini enak namun sedikit mahal... ini...”
Apakah Mikage selalu secerewet ini? Apakah dia selalu seceria ini? Dibalik sosoknya yang serius dan pintar, seperti inikah sosoknya yang ceria dan menyenangkan?
“Aku pesan yang menurutmu enak saja. Aku percayakan padamu.” Gumam Chihana sambil tersenyum.
Melihat senyuman Chihana, waktu seperti terhenti dan Mikage ingin melihatnya lebih lama lagi. Namun, ia tak ingin memperlihatkan tingkahnya yang aneh dan langsung memalingkan wajahnya ke menu makanan lagi. “B-baiklah...”
Setelah itu, Mikage memanggil pelayan dan memesan makanan yang sudah ia putuskan untuk dirinya dan untuk Chihana.
Chihana menyadari bahwa akhir-akhir ini dia sangat dekat dengan Mikage. Bahkan banyak kejadian yang tidak sengaja terjadi di antara mereka. Seperti misalnya ada kelas dimana Chihana tidak bersama dengan yang lain namun ia bersama Mikage, makan bersama di kafetaria karena tak ada teman lain, menunggu jam pulang bersama, dan bertemu tanpa disengaja di suatu acara di kampus. Chihana sama sekali tak berharap kalau Mikage akan menyukainya, tetapi ia memang mengakui bahwa Mikage adalah orang yang baik. Setelah apa yang dilalui, hubungan mereka menjadi sangat dekat.
Chihana pernah merasa kaget yang sampai sekarang membuatnya kepikiran. Mikage sering sekali melakukan kontak fisik dengannya. Mikage pernah menyentuh tangannya saat sedang menunggu Mei dan Tsumi ke luar dari kelas, lalu menepuk-tepuk tangannya ketika sedang duduk di meja kafetaria. Sebenarnya itu adalah hal yang biasa. Namun, sangat aneh bagi Chihana seorang laki-laki sering bersentuhan fisik dengannya. Entah lah... hal itu membuat adanya sedikit getaran untuk hatinya. Ditambah... ketika Mikage menarik tangan Chihana tadi.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 21 Episodes
Comments
kawaiko
I'm addicted to this novel. I need the next chapter now, please.
2023-11-11
1