4 - Mengenal

Dimas meminum air putih hangat sambil mengecek mutasi transaksi di rekening perusahaan, dana sebesar Rp 1.453.767.986,87 masuk pagi ini. Indah sudah bertitah pada Dimas untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal karena sebentar lagi lulus kuliah. Indah menginginkan anaknya tinggal di tempat yang lebih layak.

Dimas sudah tertarik pada satu rumah mewah pinggiran kota dari sebuah iklan di internet. Dimas sudah mengabarkan tentang rumah itu pada Indah. Ibunya itu langsung menyuruh Dimas segera melihat kondisi rumah tersebut. Harga tidak masalah, kata Indah. Hari ini, Dimas ada janji temu dengan penjual rumah saat makan siang.

Tadi pagi dini hari, pukul 00.15 pagi, Silvia mengirim pesan padanya, memberitahu bahwa Silvia sudah mengirim draft skripsinya lewat email.

Tanpa terasa sudah tiga minggu ini, Dimas membantu Silvia menyelesaikan skripsinya. Silvia sangat serius memenuhi tanggat waktu yang ditetapkan Dimas. Tenggat waktunya adalah kemarin, dan Silvia telat mengirimkan draf nya 15 menit.

Pagi ini, setelah mengecek mutasi transaksi rekening, Dimas membaca draft skripsi dengan teliti. Slesai membaca, Dimas mengirim email dan pesan singkat ke Silvia sebagai tanggapan.

--------------

From : Silvia Martin

Aku ada saran untuk menambahkan referensi sebagai penguat argumen pada analisa. Sudah kukirim via email.

---------------

Tak lama kemudian ada balasan pesan dari Silvia.

---------------

From : Silvia Martin

Bisakah kita bertemu di Alpha Breeze hari ini jam 11 untuk membahas ini?

----------------

Dimas tidak menjawab pesan tersebut, namun langsung menelepon Silvia. "Halo, Dimas."Sapa Silvia di seberang sana.

"Halo Silvia. Aku tidak bisa bertemu denganmu jam segitu karena ada janji dengan orang."ucap Dimas.

Setelah mempertimbangkan beberapa saat, "Silvia, apakah kamu sudah sarapan?"lanjut Dimas seraya melirik jam dinding di kamar kost, pukul 07.26.

"Hmm.. belum. Aku belum sarapan. Memang kenapa?"jawab Silvia. "Jika kamu bersedia, kita bisa sarapan bersama lalu membahas ini."ajak Dimas pada Silvia.

"Baiklah, Jam 8 di Alpha Breeze ?"Silvia setuju.

"Oke. sampai ketemu di sana." Dimas keluar dari kamar kost nya. Dengan mengendarai motor matic, Dimas menuju cafe Alpha Breeze. Cafe itu hanya berjarak beberapa kilometer dari kost Dimas.

Dimas meminum kopi hitam saat Silvia datang dari arah pintu cafe.

"Maaf.. apa aku terlambat?"ucap Silvia saat duduk di hadapan Dimas. "Terlambat 30 menit.."ucap Dimas pendek.

"kamu sudah pesan makanan?"tanya Silvia saat pelayan datang memberi daftar menu. "Belum, aku hanya pesan kopi, sengaja menunggu kamu dulu."Jelas Dimas singkat, dia tersenyum.

"Kamu mau pesan apa?"tanya Silvia.

"Rice bowl salmon."Jawan Dimas singkat. Menu favorit Dimas saat makan di Alpha Breeze.

"Sebenarnya aku ingin memesan salad, tapi pagi ini pengecualian karena ini pertama kalinya aku makan pagi denganmu. Aku ingin pesan yang sama denganmu."

Dimas menatap Silvia yang memesan makanan pada pelayan di sebelahnya. Ini bukanlah pertama kalinya Dimas mengajak cewek makan pagi bersama. Dimas masih memaklumi Silvia karena cewek itu seorang artis cantik.  Selalu ada pengecualian untuk gadis gadis cantik, hal itu sudah menjadi standar ganda yang dipahami oleh hampir semua orang.

Dimas pria normal dan sehat, dia mengagumi kecantikan alami Silvia. Normal baginya untuk tertarik pada cewek secantik Silvia. Namun Dimas juga tidak berharap lebih. Bagi Dimas, mustahil Silvia tertarik padanya. Lihat saja lingkaran pergaulan Silvia, rata-rata mereka berasal dari kalangan status sosial kelas atas.

Lalu Dimas menyadari sesuatu. Tunggu.. jika aku meningkatkan standar hidupku. Aku juga bisa dikatakan sebagai kalangan sosial kelas atas,batin Dimas.

Tidak, meningkatkan standar hidup bukan berarti hidup dengan kalangan sosial kelas atas seperti mereka. Dimas bisa membayangkan betapa hidup mereka merepotkan, penuh intrik dan banyak kepalsuan di dalamnya.

Dimas memikirkan sejenak langkah selanjutnya untuk meningkatkan standar hidup. Yang pasti, membeli rumah seperti yang diminta Ibunya adalah langkah awalnya.

Dimas tidak merencanakan untuk mengajak Silvia makan pagi hari ini. Bahkan Dimas tidak menyangka Silvia akan menyetujui untuk sarapan bersama dengannya. Dibandingkan dengan beberapa kalangan elit kampus yang dikenalnya, Silvia jelas berbeda. Entah karena SIlvia membutuhkan bantuannya. Mungkin saja, sikap Silvia akan sama saja jika dia tidak membutuhkan bantuan Dimas. Entahlah, Dimas tidak mau berspekulasi terlalu jauh.

Mereka berbincang santai sambil memakan sarapan mereka. Setelah itu mereka mulai diskusi serius mengenai skripsi Silvia. Satu hal yang Dimas ketahui, Silvia sangat serius dengan skripsi ini.

Rumor yang Dimas dengar dari beberapa teman kampus, banyak kalangan elit universitas mereka membayar seseorang untuk mengerjakan skripsi mereka. Mereka terima jadi, mempelajari skripsi tersebut untuk diajukan ke dosen dan sidang skripsi. Jelas, Silvia bukan salah satu mereka. Selain kuliah, Dimas tahu, Silvia juga bekerja di dunia entertaiment. Yang berarti, Silvia termasuk orang yang sibuk. Namun, gadis ini serius mengerjakan semua sendiri. Dan Dimas mengapresiasi kerja keras Silvia.

Tanpa terasa, mereka berdiskusi lebih sejam jam. Mereka mengakhiri diskusi saat ada panggilan masuk ke smartphone Silvia.

"Maaf, Dimas. Aku harus menjawab telepon ini sebentar."pinta Silvia sembari menjauh dan berbicara dengan seseorang di telepon.

Dimas membuka smartphonenya dan mencari informasi mengenai tentang mobil terbaru di mesin pencarian. Dia berencana untuk membeli mobil sebagai sarana transportasinya. Sebenarnya Dimas sudah ada jenis mobil yang diincarnya sejak lama. Dimas sempat melihat mobil itu saat ada pameran besar otomotif di Ibukota.

Selama ini, Dimas selalu menunda membeli mobil karena merasa masih belum membutuhkannya. Motor matic sejak jaman SMK masih bisa menunjang mobilitasnya saat kuliah. Jalan masuk menuju kosnya hanya berupa gang kecil, Dimas akan kesulitan mencari lahan parkir jika memaksa membeli mobil. Dan Dimas enggan pindah kost karena sudah merasa nyaman tinggal dan bekerja di sana.

Walaupun masih harus menghadapi sidang skripsi, Dimas yakin akan lulus sebentar lagi.  Tentang meningkatkan standar hidup, Dimas berpikir selain membeli rumah, dia mungkin juga akan membeli mobil, untuk mengganti motornya.

Setelah mengutak atik smartphone nya beberapa lama. Dimas sudah memutuskan untuk mobil yang diincarnya. Dia lalu menghubungi nomor sebuah dealer mobil yang didapatnya dari internet. Suara wanita menerima panggilannya, Dimas menjelaskan keinginannya untuk membeli mobil BMW i8.

"Apakah unit nya ready, bu?"tanya Dimas.

"Kebetulan, untuk unit tipe i8 ready stock, pak."Jawab wanita di seberang.

"Bisa test drive dulu tidak, bu?"

"Bisa pak. Kapan Bapak ada waktu agar saya jadwalkan untuk test drive?"

"1 jam dari sekarang, saya akan tiba di dealer anda. Bisa ?"

"Tunggu sebentar, ya pak. Kami cek ketersediaan unit test drive dulu."Jawab si wanita dan hening beberapa saat. "Halo, Bapak. Kami bisa jadwalkan test drive 1 jam dari sekarang. Maaf.. saya jadwalkan atas nama siapa, Bapak?"

"Atas nama Dimas Anggara,bu."

"Baik, pak. Saya ulangi atas nama Dimas Anggara, test drive hari ini pukul 10. Nanti jika sampai di sini, Bapak bisa menemui saya, Evira."

"Baik. Terima kasih, Bu Evira."Kata Dimas, menutup teleponnya.

Silvia juga baru selesai berbicara di telepon, "Maaf, Dimas. Sepertinya aku terlalu lama mengangkat telepon, ya. Mamaku mengomeli panjang karena aku jarang pulang."ucap Silvia memelas.

"Ah.. Tidak masalah, Silvi. Aku mengerti perasaanmu. Ibuku tinggal hampir seribu kilometer dariku. Beliau memintaku pulang setidaknya sebulan sekali."Kata Dimas.

Silvia sedikit terkejut mendengar Dimas berkata demikian. Tiga minggu terakhir, sedikit banyak Silvia tahu bahwa Ibu Dimas tinggal di Madiun, Dimas di Jakarta menyelesaikan kuliah. Bukankah berlebihan meminta seorang mahasiswa pulang tiga kali setahun ke Madiun dari Jakarta? Biasanya, seorang pekerja hanya pulang setahun sekali saat merayakan hari raya, bahkan ada yang tidak pulang selama bertahun tahun. Namun, Silvia tidak berkomentar lebih jauh.

Sejak Dimas punya banyak uang, Ibu Dimas meminta anak semata wayangnya untuk lebih sering mengunjunginya. Jarak Jakarta dan Madiun bisa ditempuh hanya beberapa jam naik kereta api.

"Hari ini selesai aku mengetik tambahan, aku akan kirimkan padamu."ucap Silvia.

"Oke. Jika perkiraanku benar, mungkin 2 sampai 3 minggu lagi, kamu sudah menyelesaikan semua. Kapan tenggat waktu dari Bu Reni?"

Silvia menghela napas lelah,"1 bulan lagi."

"Masih aman kalau begitu."

Mereka kembali berbincang beberapa saat. Dimas bertanya tentang kesibukan Silvia sebagai artis. Silvia mengaku, dia sedang terlibat 2 proyek pembuatan film. 1 proyek sudah masuk ke pasca produksi, yang lain belum mulai proses syuting. Silvia berusaha mengejar waktu penyelesaian skripsi sebelum proses syuting dimulai.

"Sejenak aku lupa, kamu seorang artis yang sibuk. Apakah ini sebabnya aku jarang melihatmu di kampus?"Canda Dimas.

"Hei.. lihat siapa yang berbicara. Kamu sendiri hampir tidak pernah kelihatan di kampus selain saat ada mata kuliah."sergah Silvia.

"Percaya atau tidak. Sebenarnya, aku juga agak sibuk bekerja."Dimas berterus terang.

Obrolan kembali mengalir begitu saja. Silvia mulai merasakan lagi rasa nyaman itu. Berbeda saat berbicara dengan pria sebaya lain, Silvia bisa dibilang merasa aman berbicara dengan Dimas.

Tidak ada rasa tertarik berlebihan dari tatapan mata Dimas. Oh tentu saja, Silvia mengerti Dimas tertarik padanya, sama seperti Silvia tertarik pada Dimas. Lebih tepatnya, tertarik dengan fisik dan kecerdasan Dimas. Silvia juga terkesan pada dirinya sendiri, dia tertarik dengan pria secepat ini. Namun, nalar logis Silvia mengingatkannya sekali lagi. Sulit untuk menjalin hubungan kelas sosial yang berbeda.

Sebagai artis terkenal dan salah satu pewaris grup konglomerasi, Keluarga dan pihak manajemennya membatasi hubungannya agar tidak mengundang skandal yang tidak diinginkan. Dia berasal dari kalangan elit, jadi dia berusaha bersikap seperti yang seharusnya. Ini hanya pengecualian karena Silvia membutuhkan Dimas untuk menyelesaikan skripsi.

Silvia pertama kali masuk ke lingkaran pertemanan di kampus ini, karena Elisa, sahabatnya dari SMP, SMA ada di lingkaran pertemanan kalangan elit. Selain itu, Silvia jarang di kampus kecuali untuk urusan kuliah. Akhirnya, Dia hanya hangout dengan Elisa bersama teman teman baru Elisa.

Saat Dimas pamit pada Silvia karena ada urusan lain, Silvia berkata, "Dimas, jika skripsi selesai. Kuharap kita akan tetap berhubungan."

Dimas mengerutkan dahinya sebentar, lalu menjawab dengan tersenyum, "Tentu saja, Silvia. Kita akan tetap berteman."

Silvia kembali menyadari kesalahan pilihan kata katanya.

Astaga, berhubungan? aku mengatakan kata ambigu lagi padanya, batin Silvia malu.

Ingin rasanya Silvia menggali lubang dan sembunyi di dalamnya.

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play