2 - Mengenal

Silvia menunggu Dimas di sebuah bangku luar ruangan dosen. Bu Reni merekomendasikan beberapa mahasiswa untuk membantu menyelesaikan skripsinya. Silvia sedikit terkejut ada nama Dimas disebut Bu Reni. Beberapa nama yang direkomendasikan Bu Reni merupakan mahasiswa pascasarjana dan asisten dosen, hanya Dimas mahasiswa yang seangkatan dengannya.

Silvia tidak terlalu mengenal Dimas karena Silvia jarang menghadiri kuliah. Ini hak khusus yang diperoleh dari kampus karena keluarga besarnya merupakan pemilik yayasan kampus ini. Dia tahu Dimas mahasiswa yang cerdas, nilai akademiknya tinggi. Namun, Dimas juga di kenal sebagai mahasiswa kupu kupu (kuliah pulang kuliah pulang), sangat amat cuek, pendiam dan membosankan. Membosankan.. Itulah yang Silvia dengar dari beberapa teman wanita nya yang pernah tertarik pada Dimas, kemudian ilfeel (ilang feeling) karena sikap Dimas.

Teman teman wanita Silvia tertarik karena fisik dan wajah Dimas yang menarik. Kebanyakan kaum hawa akan menoleh dua kali pada Dimas saat pertama kali melihatnya. Tubuh tinggi dengan otot yang cukup menonjol, bahu lebar dan berkulit sawo matang. Menurut Silvia, kulit sawo matang Dimas terlihat eksotis dan seksi. Silvia menggelengkan kepala, setelah menyadari pikirannya melantur. Dia disini menunggu Dimas untuk meminta bantuan.

Fokus Silvia.. fokus, batin Silvia.

Ketika Silvia melihat Dimas keluar dari ruang dosen, Silvia bergegas menghampiri Dimas.

"Apakah Bu Reni sudah memberitahumu untuk melakukan sesuatu padaku?"tanya Silvia pada Dimas.

Dimas terkejut dengan pertanyaan Silvia, membulatkan matanya. "Hmm?"

Silvia menyadari kesalahalan dalam pertanyaannya. Pertanyaannya ambigu dan bisa salah artikan. Silvia menutup mukanya dengan kedua tangannya, sangat malu.

Sudut bibir Dimas berkedut. Dimas mengerti maksud pertanyaan Silvia, hanya saja pemilihan kata dalam pertanyaannya membuatnya berpikir hal lain.

"Bu Reni memintaku untuk membantumu dalam menyelesaikan skripsi. Aku setuju. Sebelum kita mulai, aku ingin kita membuat aturan dan batasan agar kamu bisa menyelesaikan tepat waktu. Apakah kamu keberatan?" Ucap Dimas kemudian. Dimas tidak ingin membuat Silvia malu lebih lama.

"Tidak, aku tidak keberatan."jawab Silvia cepat.

Beberapa mahasiswa melihat mereka dengan penasaran, membuat Silvia risih. "Bisakah kita bicara hal ini di tempat lain?"

Dimas mengangguk, "Tunjukkan jalannya."

Silvia mengarahkan Dimas ke tempat parkir mobil. Mereka berdiri di sebelah Mini Cooper S warna merah. "Kamu bisa menyetir?"Tanya Silvia pada Dimas.

"Ya, aku bisa."Jawab Dimas Singkat.

"Kamu saja yang menyetir."Silvia menyusurkan kunci mobil padanya. Tanpa banyak bicara, Dimas menerima kunci itu dan duduk di belakang kemudi.

"Kita ke cafe Alpha Breeze saja." sahut Silvia.

"Oke." Dimas mengemudikan mobil Silvia tanpa banyak bicara.

Setelah mereka di cafe Alpha Breeze, memilih kursi di teras.  "Sesuai yang kubilang sebelumnya, aku ingin membuat aturan dan batasan tentang bantuan yang bisa kuberikan."

"Baik. beritahu aku aturan dan batasannya."Silvia mengangguk.

"Sebelum itu, bolehkah aku membaca draft skripsi mu dan semua rekomendasi revisi yang Bu Reni sarankan ?"

Silvia mengambil hal yang di minta Dimas dan menyusurkannya di depan Dimas. Dimas mulai membaca draft di depannya dengan teliti. Silvi memesankan minuman dan cemilan untuk mereka berdua.

"Pendapatku, skripsimu lumayan bagus. Kurasa kamu sudah lama melakukan penelitian untuk skripsi ini. Jika bukan standar yang ditetapkan Bu Reni. Aku yakin skripsi ini sudah di ACC."

Senyum Silvia mengembang, mendengar semacam pujian dari Dimas.

"Baiklah. Kurasa menyelesaikannya hanya butuh waktu yang tidak lama. Kita bicarakan dulu aturannya."tegas Dimas dengan nada tenang. "Hanya ada 2 aturan disini. Pertama, kamu yang melakukannya sepenuhnya, aku hanya memberi arahan secara lisan. Kita akan lebih banyak berdiskusi, kamu bisa merekam diskusi kita agar kamu tidak lupa. Kedua, Kulihat ada 4 poin utama revisi dan aku yang menentukan batas waktu setiap revisi. Aku memeriksa revisi kamu sebelum lanjut ke revisi berikutnya, atau sebelum kamu serahkan ke Bu Reni."

Silvia tersenyum dan mengangguk tegas, "Aturan yang sederhana, aku yang lakukan sepenuhnya dan tepat waktu. Dan mengenai biaya.."

"Aku tidak memerlukannya." Dimas menolak biaya. Dia tidak kekurangan dana. Lagi pula, Dimas melakukan ini untuk Bu Reni.

"Kamu yakin?"

"Tentu saja. Aku sangat yakin."Dimas tersenyum tulus.

"Terima kasih, Dimas."

"Simpan terima kasihmu untuk nanti. Beberapa minggu ini, aku yakin kamu akan kesal padaku. Kuharap nanti kamu bisa menahannya. Oke. Kita lanjutkan mengenai garis besar revisi yang akan kamu lakukan. Katakan padaku, apa yang membuatmu kesulitan saat ini."

"Kurasa aku perlu data data tambahan untuk menyempurnakannya. Aku bisa memintanya pada narasumber, namun hal tersebut akan butuh waktu."

Dimas tidak setuju dengan pendapat Silvia. "Aku bisa melihat Bu Reni menyarankanmu untuk menggali nilai intrinsik dari data penelitianmu. Kamu tidak perlu mencari data lain. Data yang kamu butuhkan sudah ada di sini."

"Hmm.. sebaiknya kamu mulai merekam diskusi kita agar kamu tidak lupa."Dimas kembali menyarankan Silvia. Sang primadona menggunakan smartphone untuk merekam. Setelah itu, Dimas kembali berdiskusi dengan Silvia.

Sekitar satu jam kemudian, Silvia memeriksa kembali poin poin hasil diskusinya dengan Dimas. Beberapa koreksi Dimas tentang skripsi yang membuatnya sedikit kesal, karena hasil kerjanya dikritik habis habisan.

Dimas melihat waktu di smartphone nya. "Kurasa hari ini cukup diskusinya, Silvi. Tenggat waktu kamu menyelesaikan revisi poin pertama besok lusa."

"Baiklah. oh iya.. Berapa nomor ponselmu agar aku mudah menghubungimu."

Dimas menyebutkan nomor ponselnya, lalu sebuah misscall masuk ke ponsel Dimas. Nomor Ponsel Silvia. Mahasiswa pria dikampusnya pasti akan iri dengannya. Dia mendapatkan nomor ponsel Primadona kampus.

"Itu nomor pribadiku. Tolong jangan disebarkan."gurau Silvia pada Dimas. Silvia tahu, banyak mahasiswa di kampus menginginkan nomor ponselnya.

"Tentu saja, mungkin aku bisa mendapatkan uang dengan melelang nomor ini pada penawar tertinggi." Dimas menanggapi gurauan Silvia. Silvia tertawa pelan.

"Kamu punya bakat menjadi pengajar yang hebat."puji Silvia mengalihkan pembicaraan tentang nomor ponsel.

"Terima kasih. Terus terang, Ibu seorang guru. Mungkin bakat itu menurun dari Ibuku."ucap Dimas tersenyum.

"Benarkah?"Kata Silvia terdengar antusias.

Dimas menceritakan sekilas tentang keluarganya. Dimas Anggara anak tunggal dari sebuah keluarga kecil. Mereka tinggal di sebuah kampung di pinggiran kota Mojokerto, Ayah Dimas dulu seorang karyawan swasta di sebuah pabrik kertas, Ibu nya seorang guru Sekolah Menengah Kejuruan. Lima tahun lalu, Ayah Dimas meninggal karena kecelakaan di jalan raya saat pulang kerja. Dimas baru berusia 16 tahun saat peristiwa itu terjadi.

Silvia Devianti Martin, lahir dari Ayah perancis dan Ibu WNI. Silvia anak kedua dari tiga bersaudara, dia punya seorang kakak dan adik laki-laki. Ayahnya merupakan Chairman Grup Reksa Makmur,  Ibu Silvia seorang aktris senior terkenal, Laura Permata Sari. Sebagai anak perempuan satu satunya di keluarga, Silvia sangat dimanja oleh anggota keluarga yang lain.

Dimas sebenarnya bisa menjadi teman ngobrol yang asyik. Silvia belum pernah tahu sisi lain Dimas ini. Bukan Dimas yang cuek dan membosankan, namun Dimas yang cerdas dan menenangkan. Ya.. menenangkan, entah kenapa Silvia merasa nyaman saat ini. Rasa nyaman ini berbeda saat dia berkumpul teman-teman artis atau teman kampusnya. Bahkan berbeda dengan rasa nyaman yang dirasakan Silvia saat bersama mantan pacarnya, yang baru dua minggu lalu putus dengan Silvia.

Episodes

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play