Gayatri, seorang ibu rumah tangga yang selama 25 tahun terakhir mengabdikan hidupnya untuk melayani keluarga dengan sepenuh hati. Meskipun begitu, apapun yang ia lakukan selalu terasa salah di mata keluarga sang suami.
Di hari ulang tahun pernikahannya yang ke-25 tahun, bukannya mendapatkan hadiah mewah atas semua pengorbanannya, Gayatri justru mendapatkan kenyataan pahit. Suaminya berselingkuh dengan rekan kerjanya yang cantik nan seksi.
Hidup dan keyakinan Gayatri hancur seketika. Semua pengabdian dan pengorbanan selama 25 tahun terasa sia-sia. Namun, Gayatri tahu bahwa ia tidak bisa menyerah pada nasib begitu saja.
Ia mungkin hanya ibu rumah tangga biasa, tetapi bukan berarti ia lemah. Mampukan Gayatri membalas pengkhianatan suaminya dengan setimpal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GAYATRI 10
Gayatri tidak menunggu satu detik pun lebih lama untuk segera pergi dari sana. Ia tak memerlukan penjelasan apa pun, yang ia tahu ia harus segera pergi. Teh hangat di tangannya ia bawa serta.
Ia menuruni tangga dengan langkah yang tegap, seolah tubuhnya tak mau memamerkan luka yang baru saja robek. Tidak ada air mata yang jatuh di matanya seperti saat Mahesa menyakiti hatinya. Yang ada hanya dada yang terasa penuh sesak dan napas yang memberat.
"Mungkinkah … tapi sejak kapan?" monolog Gayatri, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Malam turun perlahan, membawa keheningan yang justru memekakkan. Sekarang, rumah itu terasa berbeda bagi Gayatri, temboknya seakan memantulkan ketegangan. Rumah yang selalu menjadi tempatnya untuk pulang, berganti menjadi tempat yang ingin ia tinggalkan.
Tapi tidak, Gayatri tidak boleh lemah. Ia bisa menerima semua perlakuan dan sikap buruk Mahesa, tetapi tidak dengan pengkhianatan.
Ketika jam melewati pukul sebelas, Gayatri akhirnya melangkah ke kamar.
Mahesa sudah berada di sana. Duduk di sisi ranjang. Begitu Gayatri masuk, ia mendongak dengan senyum kaku.
“Kau dari mana? Apakah kau sudah memeriksa anak-anak? Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Apakah mereka sudah tidur?” tanya Mahesa berbasa-basi seraya bersiap untuk tidur.
Gayatri tidak langsung menjawab. Ia memilih menutup pintu kamar mereka dan menguncinya, lalu menatap suaminya. Tatapannya tenang namun dalam.
“Semuanya sudah tidur,” sahut Gayatri pelan.
Mahesa hanya mengangguk pelan, lalu mulai merebahkan diri. Seolah tak ada apa pun yang terjadi. Sementara Gayatri, sekuat hati menahan diri untuk tidak langsung melampiaskan semua pertanyaan yang bersarang di kepalanya pada Mahesa.
"Apa sebenarnya hubungan kalian? Kenapa kalian begitu dekat?" gumam Gayatri, menatap Mahesa yang sudah memejamkan mata dari samping tempat tidur.
Setelah beberapa saat, ia pun memilih untuk merebahkan diri. Tetapi bukan di tempat tidur, melainkan di sofa. Ia mengambil bantal dan selimut dari dalam lemari untuk dirinya sendiri. Selepas apa yang ia saksikan di kamar tamu, Gayatri merasa jijik pada suaminya sendiri.
Dengan perasaan yang hancur, Gayatri mencoba memejamkan mata. Tetapi, bayangan di mana Mahesa dan Nadya saling berpelukan terus mengusiknya. Hingga tanpa sadar, Gayatri tersedu dalam diam.
Ia menggigit selimutnya, semata agar suara isakan tangisnya tidak terdengar. Air matanya luruh juga, bersamaan dengan hujan yang turun tiba-tiba.
"Tidak, aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh lemah, demi anak-anakku," katanya dengan yakin seraya mengusap bekas air matanya. Ia menatap Mahesa yang tertidur pulas dengan tatapan penuh luka, dan juga tekad untuk mulai mencari kebenaran.
•••
Pagi datang menyapa, seperti biasanya, Gayatri bangun lebih awal. Ia menyiapkan segalanya dalam kebisuan, mulutnya tertutup rapat. Matanya terlihat sembab akibat menangis semalam.
Sarita yang tak sengaja melihat kondisi menantunya itu tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Kenapa matamu, Tri? Kau sakit? Kenapa wajahmu pucat? Astaga," ucapnya khawatir saat melihat wajah Gayatri dari dekat.
"Kemarilah!" Sarita menarik lengan Gayatri dan memintanya untuk duduk di sofa. Ia menyentuh kening Gayatri untuk memastikan menantunya itu demam atau tidak.
"Ibu, aku tidak apa-apa. Aku cuma—"
"Dia pasti lupa minum air, Bu. Makanya wajahnya pucat." Mahesa yang baru datang langsung menyela.
Sarita menoleh kepada putranya. Perhatiannya pada Gayatri langsung teralihkan dengan sosok sang putra. "Kau sudah bersiap sepagi ini, Mahesa?" tanyanya, beralih pada Mahesa.
"Kami ada rapat penting, Bu." Nadya yang kebetulan ada di belakang Mahesa menjawab.
"Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada putraku," sahut Sarita ketus.
Gayatri yang melihat Nadya sontak langsung membuang muka dan pergi ke dapur sesegera mungkin.
"Ibu, kenapa ketus seperti itu? Nadya hanya menjawab pertanyaan Ibu, kenapa Ibu harus bersikap tidak ramah seperti itu?" komentar Mahesa tak suka.
Sarita menatap Nadya sinis, lalu berpaling kembali pada Mahesa. "Mau bagaimana lagi? Sudah sifat Ibu seperti ini."
Nadya yang tengah menahan kesal itu memasang senyum paling manis lalu berkata, "Aku lebih suka Ibu yang apa adanya. Tidak apa-apa, Mahesa. Aku mengerti."
"Apa maksudnya itu? Dia bersikap sok manis di hadapan putraku untuk mendapatkan simpati," gumam Sarita dengan tatapan tak suka.
"Selamat pagi semuanya!"
Suara Kaluna yang berteriak riang mengalihkan pandangan mereka.
Perempuan muda itu langsung menghampiri sang ayah dan memeluknya dengan erat. "Selamat pagi," katanya dengan lembut.
Kaluna berganti memeluk sang nenek dan Nadya. Raut wajahnya terlihat bahagia sekali.
Gayatri yang menyaksikan hal itu dari dapur ikut tersenyum melihat putrinya yang bahagia. Sambil memasak sarapan, ia tetap memperhatikan sang putri dari sana.
"Dia pasti sangat bahagia karena hari ini ada lomba di sekolahnya," monolog Gayatri, tak bisa menahan senyumnya. "Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan rumahku agar bisa ikut serta ke sekolah Lulu."
Gayatri melihat semua anggota sudah duduk di meja makan. Selepas masakan terakhirnya matang, ia pun bergegas menata sarapan di meja makan agar semua anggota keluarga bisa langsung sarapan.
Dengan dibantu Keandra, Gayatri menata semua sarapan dan juga melayani Mahesa sebagaimana mestinya meski ia tak ingin.
Seperti biasa, ia lebih mendahulukan kepentingan keluarganya dibanding dirinya sendiri. Semua anggota keluarga tengah menyantap makanan mereka, sementara Gayatri masih sibuk membawa air ataupun menyiapkan keperluan lain.
"Ibu, duduklah. Sarapan bersama dengan kami," terus Keandra, mengingatkan Gayatri bahwa ia juga manusia yang perlu sarapan.
Gayatri hanya tersenyum dan menjawab, "Iya."
Namun, saat ia hendak duduk, kursi yang biasanya ia tempat justru ditempati oleh Nadya. Perempuan itu, tanpa merasa bersalah, menikmati sarapannya tanpa memedulikan Gayatri.
Dan yang paling membuat Keandra kesal adalah, tak ada seorang pun dari keluarganya yang peduli pada Gayatri. Pada akhirnya, Keandra bangkit dari kursinya dan meminta Gayatri untuk duduk di sana.
Tanpa menunggu persetujuan sang ibu, Keandra langsung mendudukkan Gayatri di sana. Ia bahkan menyajikan sarapan untuk Gayatri.
"Makanlah, Bu. Biar aku yang mengangkat air panasnya," bisik Keandra lalu pergi dari meja makan itu.
Untuk pertama kalinya, Gayatri ikut makan bersama dengan keluarganya. Tetapi, sepertinya tak ada satu pun yang menyadari keberadaannya di sana. Terlebih lagi, Gayatri sengaja tetap diam. Apalagi ketika melihat wajah Nadya di depannya.
Kaluna yang hari itu sangat gembira, tak bisa menahan dirinya lagi untuk bersuara. Ia meletakkan piringnya kemudian berdiri selepas membersihkan mulut.
"Dengar semuanya, aku punya kejutan untuk kalian!" seru Kaluna dengan senyum lebar menghias wajah. Tatapan matanya penuh binar.
Mahesa sontak melihat ke arah putrinya dengan antusias. "Kejutan apa itu, Nak? Katakanlah."