“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10
Kayuna mengatupkan rapat bibirnya, jantungnya berdentum hebat, rahangnya mengetat. Tetapi, tubuhnya kaku di tempat.
Tangannya mengepal kuat di sisi tubuh sambil menggenggam erat sebuah tongkat golf.
“Kayuna?!” Kedua alis Niko menukik, matanya melebar kala melihat sosok istrinya berdiri kaku di ambang pintu.
“Yuna? ….” Airin pun membelalak, tangannya cekatan merapatkan selimut — menutupi tubuhnya.
Niko sontak meraih handuk yang tergeletak di lantai, bergegas menutupi dirinya yang hanya mengenakan kolor pendek.
“Kayuna, apa yang kau lakukan di sini?!” Suara Niko terdengar keras di ruangan kecil itu. Ia buru-buru melangkah mendekati istrinya.
Kayuna bergeming, raut wajahnya sudah tak terkendali. “Seharusnya aku yang bertanya, kalian ….” Ia menahan kalimatnya, bibirnya tampak bergetar.
“Aku bisa jelaskan, Kayuna—”
“Brengsek!”
Brak!
Prang!
Bugh!
Kayuna menggila, ia melampiaskan amarah — mengayunkan tongkat golfnya, menghantam benda apapun yang berada di dekatnya.
“Aaaaa!!” teriak Airin, kaget sekaligus ketakutan melihat sahabatnya persis seperti orang kerasukan.
Niko bergidik ngeri, ia berusaha menghindari serangan istrinya. “Kau gila?!”
“Aaaakkkhh! Bedebah! Bangsat! Bajingan!” Kayuna meraung sejadi-jadinya. Seraya terus meluluhlantakkan seisi ruangan. “Kau yang gila, Niko. Kalian berdua yang gila!”
“Perempuan nggak waras!” ucap Airin, ia segera meraih jubah mandi dan memakainya. Setelahnya, perempuan perebut suami orang itu pun berdiri di sudut ruangan, menghindari amukan sahabatnya.
“Kau diam! Pelakor jahanam!” sarkas Kayuna.
Airin tersentak, wajahnya seketika membeku saat mendengar ucapan Kayuna. “Pelakor?!”
Kayuna lalu melangkah mendekati Airin sambil menyeret tongkat yang masih melekat di genggamannya.
Airin terus mundur, kakinya gemetar saat tatapannya bertemu dengan netra Kayuna yang membara. “Yuna … sadarlah, aku sahabatmu.”
“Cuih!” Kayuna meludah kasar tepat di hadapan gadis pelakor itu. “Sahabat macam apa kau ini? Berani tidur dengan suami sahabatmu sendiri.”
Airin mengusap pipinya yang baru saja terkena ludah hinaan. “Kau keterlaluan, Kayuna.”
“Keterlaluan kau bilang? Hahaha!” Kayuna tertawa keras, tapi rautnya sama sekali tak menunjukan bahagia. “Lalu apa yang kalian lakukan? Ini jauh lebih keterlaluan, Airin.”
“Kayuna—”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat tepat di wajah Airin. “Aaakkhhh!” teriaknya seraya mengusap pipinya yang terasa panas.
“Kayuna!” Niko buru-buru menghampiri wanita selingkuhannya. “Kamu nggak apa-apa?”
Pria itu tampak menelisik wajah Airin dengan sorot mata khawatir, alih-alih istrinya Niko justru mencemaskan selingkuhannya.
Kayuna tersenyum remeh. “Ck. Lihatlah … kalian berdua sangat serasi, setan bertemu iblis! Sangat cocok.”
Niko tampak geram. “Dengarkan dulu, aku bisa jelaskan!” bentaknya pada Kayuna, tapi wanita malang itu sama sekali tak menghiraukannya.
Kayuna pun kembali melayangkan tongkat golf yang masih digenggamnya ke arah suami dan sahabatnya.
Bugh!
Pukulan itu jatuh tepat di atas meja sebelah Niko. Meski dikuasai emosi, Kayuna masih tersadar untuk tak menghantam keras wajah kedua iblis itu.
Niko dan Airin pun menunduk seraya melindungi kepalanya dengan kedua tangan.
Kayuna tiba-tiba terkekeh, tawanya bergetar seiringan dengan air matanya yang terjatuh. “Kenapa? Kalian takut?”
“Pak, istrimu sepertinya sudah gila,” bisik Airin di dekat Niko.
“Tenang, aku akan cari cara untuk menenangkannya. Lihatlah, dia mengamuk membawa tongkat itu, aku takut dia semakin memberontak kalau diprovokasi,” jawab Niko pelan.
Niko menurunkan tangannya perlahan, ia mendongak menatap wajah istrinya yang tampak kacau. “Istriku …,” ucapnya pelan. “Dengar … aku bisa jelaskan,” rayunya dengan sorot mata penuh harap.
Kayuna menyeringai sinis. “Istri? Apa aku benar-benar istrimu? Hah?”
“Yuna, turunkan dulu benda itu,” pinta Niko sembari menunjuk tongkat yang ada di genggaman istrinya. “Kita bicarakan ini baik-baik.”
“Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, Niko,” ujar Kayuna, tatapannya sedingin es.
“Ayolah, Sayang … jangan seperti ini.”
“Yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan, Niko. Aku sedang hamil anakmu! Tapi ….” Kayuna menahan suaranya yang bergetar.
Ia benar-benar tak sanggup memahami kelakuan suaminya. Berselingkuh dengan sahabatnya sendiri — tepat ketika istrinya tengah mengandung.
Pria berperangai bengis itu mengerjap cepat, menyusun siasat di kepala.
Saat Kayuna lengah, Niko dengan sigap menyambar tongkat golf dan melemparnya, ia pun berhasil meringkuk istrinya dari belakang. “Hentikan! Atau kau akan menyesal!”
“Lepas! Lepas, Bajingan!” Kayuna meronta sekuat tenaga.
Niko sudah kehabisan kesabaran, bola mata bengisnya sudah tampak menyala. “Dasar wanita jalang! Kau tak bisa diatur?!”
Laki-laki berjiwa setan itupun mencekik istrinya hingga wanita malang itu nyaris kehabisan napas. Tapi, Kayuna belum menyerah, ia mengangkat satu kakinya lalu menginjak kuat kaki suaminya.
Niko tersentak. Ia mendorong Kayuna ke arah pintu kamar dengan tenaga penuh.
Bruk!
Kayuna menabrak meja kayu di sudut ruangan, lalu jatuh bersimpuh. Dahinya mengerut keras. Rasa melilit di perutnya membuatnya menunduk dan meremasnya sekuat tenaga.
“Aakhhh ….”
Darah hangat mengalir dari bawah. Menyebar luas di antara pahanya, ia masih menunduk — menatap genangan merah yang mulai berlumuran ke lantai.
“Akhhh!” pekik Kayuna menahan sakit yang luar biasa. Wajahnya mengabur pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya — ia kehabisan tenaga.
Niko tampak pucat pasi, wajahnya panik kala melihat cairan merah terus mengalir deras dari bawah tubuh istrinya. “Aku tak melakukan apapun,” sanggahnya.
“Apa yang harus kita lakukan, Pak?” Airin pun ikut panik.
Bukannya segera menolong, keduanya justru sibuk mondar-mandir di depan Kayuna.
“Kevin,” gumam Niko lalu menelepon asistennya.
“To-tolong ….” Kayuna memohon dengan suara lirih.
***
Unit Gawat Darurat di sebuah rumah sakit swasta — Atmaja Group. Suasana masih tenang sebelum datangnya pasien hamil yang terancam keguguran.
Didampingi suaminya, Kayuna terbaring lemah di dalam mobil ambulance.
Dokter Ridho dan beberapa perawat serta staf rumah sakit sudah standby di depan lobi, karena sebelumnya tim medis dari klinik rujukan — sudah menghubungi pihak rumah sakit. Saat mobil berhenti, mereka segera mendekat dan memberi pertolongan cepat.
Mata Ridho membulat kala melihat wajah tak asing baginya. “Dia ….” Ia semakin melotot saat melihat pendarahan hebat pada Kayuna.
“Cepat! Cepat!” perintahnya pada petugas dengan wajah panik, namun tetap tenang.
Setelah selesai memberi pertolongan. Ridho segera memanggil dokter kandungan untuk memastikan keadaan janinnya. Namun, kondisi Kayuna dan bayinya sama-sama terancam.
“Akibat kehilangan banyak darah, janinnya harus segera digugurkan,” ucap si dokter kandungan.
Ridho berdiri dengan wajah gusar di depan meja perawat. Kata-kata dokter kandungan masih terus berputar di kepala. “Di mana keluarga pasien, Sus?” tanyanya pada suster Lina.
“Beliau ada di ruang tunggu, Dok,” jawab suster Lina.
Ditemani Suster Lina, Ridho melangkah dengan cepat menuju ruang tunggu.
“Pak Niko?” sapa Ridho, ia sudah mengenal keluarga pasien itu.
Niko sontak berdiri, lalu berlagak panik, ia meraup kasar wajahnya. Pupilnya memerah seolah cemas.
Ridho menyunggingkan bibirnya samar, ia tahu betul gelagat pria itu sama sekali tak menunjukan kekhawatiran.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya? Ini benar-benar kecerobohan saya, dia terjatuh di kamar mandi—”
“Apa yang terjadi dengan adik saya?!” potong Anita — kakak perempuan Kayuna.
Wajah Anita tampak pucat. Kaget bercampur cemas, takut terjadi sesuatu yang buruk pada adiknya. “Kayuna … baik-baik saja kan, Dok?” tanyanya.
“Niko. Apa yang terjadi?” tanyanya saat berpindah pandang pada sosok iparnya.
“Anda?” Alis Ridho terangkat mempertanyakan siapa Anita.
“Saya Kakaknya Kayuna,” jawab Anita.
“Oh, baiklah. Semua keluarga pasien sudah ada di sini. Saya jelaskan dulu, pasien kehilangan banyak darah, lalu ….” Ridho menelan ludah, melihat keadaan Anita yang tampak kacau, lidahnya mendadak kelu enggan menyampaikan kondisi Kayuna.
“Pasien atas nama Bu Kayuna tiba di rumah sakit sudah dalam kondisi tak sadarkan diri. Kami menemukan beberapa memar dan juga beliau mengalami pendarahan hebat,” jelas Ridho akhirnya, bagaimanapun juga ia harus tetap menyampaikannya.
“Untuk saat ini, kami menyarankan segera mengangkat janinnya yang sudah rentan, demi keselamatan ibunya,” lanjutnya.
Dunia terasa berhenti sesaat, Anita membeku di tempat.
“Selamatkan nyawa Adik saya, Dokter. Tolong …,” ucap Anita dengan cepat.
“Bagaimana, Pak Niko?” Ridho kembali menatap suami Kayuna.
“Se-selamatkan Istri saya, Dokter,” sahut Niko, ia sedikit tercekat kala Anita menjuruskan tatapan tajam.
Ridho terdiam sejenak, namun segera mengangkat kembali wajahnya. “Baiklah, saya akan segera menyiapkan operasi.”
Hari berat itu berlalu dengan cepat, Kayuna terbaring di meja operasi. Dibalik kesibukan dan cekatan para tim medis, ada kepedihan mendalam tentang kehilangan. Sesuatu yang sangat menyakitkan dibanding sebuah sayatan pisau tajam.
Di depan ruang operasi, Anita duduk dengan tatapan kosong. ‘Ya Allah … selamatkan adikku, saya mohon,’ pintanya dengan sungguh pada sang maha kuasa.
***
“Anakku!” Kayuna menjerit, tangisnya pecah — menggema di ruang rawat inap malam itu. Tubuhnya tak berdaya dalam pelukan ibunya.
Bu Harni berdiri dengan wajah getir, menahan sakit juga rasa bersalah setelah menyaksikan penderitaan putrinya. “Anakku, maafkan ibu …,” lirihnya seraya memeluk dan mengelus lembut rambut Kayuna.
Perempuan malang itu terisak di pelukan ibunya, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tangan sang ibu menepuk pelan punggungnya, mencoba menyalurkan hangat yang tak mampu menutup kehampaan di dada putrinya.
Air mata terus mengalir, jatuh tanpa henti ke bahu perempuan yang menampung semua kepedihan. Dunianya telah runtuh, bayi yang tak sempat lahir kini hanya tinggal nama yang akan terus menjadi luka menganga di hatinya.
“Semua ini gara-gara pria bajingan itu!”
*
*
Bersambung.