Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Keberadaan Dani
Dokter memutuskan Nala harus menjalankan perawatan lebih intensif, hasil darah menunjukkan adanya infeksi ditambah gejala Nala bertambah. Mual dan muntah, dikhawatirkan akan ada gangguan pencernaan lainnya.
Sudah setengah jam Nala dipindahkan ke ruang perawatan. Gaza memilih ruang perawatan VIP, agar Nala bisa beristirahat dengan tenang.
Nala sudah berganti baju dengan pakaian rumah sakit. Gaza seketika berubah menjadi pria siaga, tak pernah jauh dari Nala, bahkan apapun yang Nala butuhkan selalu dibantu oleh Nala.
Surya yang ikut menemani di sana jelas melihat apa yang dilakukan Gaza saat ini bukanlah sekedar sandiwara, benar-benar perhatian seorang suami kepada istrinya yang sedang sakit.
“Duduklah, kalau mau muntah bilang saja, Mas ambilkan wadah, gak harus turun dari tempat tidur,” ucap Gaza setelah membantu Nala kembali dari kamar mandi.
Nala mengangguk, ia sebenarnya tak enak Gaza terus berpura-pura mengurusnya. Andai tak ada sahabat dari suaminya itu, sudah bisa dipastikan sikapnya akan kembali seperti biasa.
“Mas, hanya ada Pak Surya, gak harus berpura-pura,” bisik Nala sembari melirik Surya yang duduk tak jauh dari mereka.
Gaza menggeleng, ia merapikan selimut Nala. “Tidurlah, jangan terlalu banyak pikiran” pinta Gaza.
Nala mengangguk, kepalanya masih terasa pusing. Jadi ia menurut, memilih memejamkan matanya. Tapi hanya sebentar, seketika ia mengingat Dani, pria itu yang membawanya ke rumah sakit dan sekarang entah dimana keberadaannya
Baru saja Nala ingin menanyakan telepon genggamnya, pintu kamar di diketuk. Surya yang berada tak jauh disana berinisiatif membuka pintu.
“Lah, kirain sudah pulang,” ucap Surya saat melita Dani berdiri di sana.
Dani mengangkat tas di kecil berwarna putih. Gaza langsung mengenai, tas itu milik istrinya.
“Tadi ketinggalan, jadi aku antar lagi sekalian jenguk Ibu Nala.” Dani kembali memperlihatkan keranjang buah di tangannya.
Dani berjalan mendekati Nala ia mengabaikan Gaza yang terus menatap ke arahnya. Dani sesekali ia melirik Nala yang terlihat gugup, lucu sekali wajah kliennya itu.
“Kamu kenal Dani?” tanya Gaza, ia tak bisa menutupi rasa penasarannya.
“Emm…” Nala bingung menjelaskan bagaimana ia dan Dani bisa saling mengenal.
“Kami gak sengaja bertemu. Situasinya cukup rumit, tiba-tiba saja ada orang pingsan. Gak mungkin saya biarkan saja. Ternyata orangnya saya bantu adalah istrinya Pak Gaza.” Penjelasan Dani membuat Nala menarik nafas lega.
“Oh kebetulan?” ulang Gaza jelas tak percaya.
“Hemm…” Dani hanya menggumam, sambil mengangguk membenarkan dugaan Gaza.
“Silahkan duduk.” Gaza hanya bisa mempersilahkan. Jika tebakannya benar, maka keberadaan Dani disini bukan tanpa sengaja.
“Assalamualaikum…”
Suara lemah lembut seketika memecahkan keheningan di ruang perawatan Nala.
“Waalaikumsalam.” Hanya Surya yang menjawab, Dani dan Gaza sibuk saling melirik sedangkan Nala seolah terjebak dalam situasi yang cukup rumit.
Kania, sahabat Nala muncul di balik pintu. Wajahnya jelas khawatir, ia mengabaikan orang-orang, fokusnya hanya pada Nala yang kini terbaring dengan wajah pucat.
Nala merasa kania adalah penolongnya saat ini, jika tak ada Kania entah sampai kapan suasana mencekam seperti tadi.
“Kania…” lirih Nala, nada suaranya terdengar sangat lega.
Dani sedikit menarik ujung bibirnya melihat reaksi Nala. Tapi ia menutupinya, ia ingin melihat langsung kondisi pernikahan Nala, mungkin ada jalan keluar untuk masalah kliennya itu.
“Kenapa bisa?” tanya Kania seolah menuntut penjelasan.
Nala hanya menggeleng sembari tersenyum, wajahnya masih pucat, tapi iya berusaha terlihat baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja,” ucap Nala menenangkan.
Kania baru saja ingin protes terhenti saat mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Hal itu sukses mengejutkan setiap orang yang ada di dalam ruangan tersebut.
“Nalaaaa…” Zanna berteriak, terdengar panik dan kesal.
“Zanna… Astagfirullah…” Kania mengelus dadanya karena terkejut.
“Kamu kenapa, La?” Zanna menggeser Gaza, agar menjauh. Ia berdiri sambil menyentuh pipi Nala.
“Aku… aku gak apa-apa!” ucap Nala pelan. Ia terkejut dengan respon Zanna, wajahnya pucat matanya merah sepertinya habis menangis.
“Kamu gak apa-apa ‘kan? Luka? Gak gegar otak ‘kan?” Zanna memeriksa tubuh Nala.
“Zanna, stop!” Gaza menarik Zanna agar menjauh dari Nala.
“Ihh Kak Gaza, apaan sih?” Zanna protes.
“kamu yang apaan? Ngapain ngatain istri Kakak gegar otak? Nala di sini gara-gara ayam bakar kamu yang gosong tapi masih mentah semalam,” jelas Gaza dengan suara datar dan terdengar dingin.
“Hah serius?” Zanna membekap mulutnya, ia kembali menangis sembari memeluk Nala. “Maafin aku ya…” ucap Zanna, isak tangisnya seketika terdengar, ia benar-benar merasa bersalah.
“Aku gak apa-apa, Na.” Nala berusaha menenangkan. “Gak usah nangis.”
Zanna menarik diri, ia menatap Gaza tajam. “Ini gara-gara Kakak!” bentak Zanna.
Gaza memijat pelipisnya, kenapa tiba-tiba Zanna menuduhnya, padahal jelas-jelas adiknya ini yang salah.
“Jangan melempar kesalahan pada orang lain!” Gaza memperingati.
“Oh jelas Kak Gaza yang salah, coba aja selama gak nawarin daging panggang ke perempuan lain gak mungkin istrinya cemburu sampai rela makan ayam bakar gosong.”
Zanna seketika membekap mulutnya, ia tak bisa mengontrol emosinya sehingga kata-kata itu keluar tanpa sadar.
Tatapan Gaza seolah ingin melempar adiknya dari lantai tiga rumah sakit ini. Apa Zanna tidak melihat siapa-siapa saja yang ada di ruangan ini.
“Naa…” panggil Nala, ia menarik lengan Zanna. “Bukan salah Mas Gaza, aku memang ingin makan ayam bakar buatanmu,” ucap Nala sembari menyuruh Zanna duduk.
“Bohong banget…” bantah Zanna, perempuan itu kembali menangis.
“Sepertinya kamu bukan menangis karena Nala masuk rumah sakit deh?” tebak Kania, dari tadi ia memperhatikan semuanya, sepertinya situasi semakin tak terkendali hingga ia harus sedikit melerai keadaan.
“Ada satu lagi!” Zanna mengangkat jari telunjuknya.
“Apalagi?” tanya Zanna dengan suara lelahnya.
Zanna menggelengkan kepalanya, ia menatap tajam ke arah Nala.
“Apa maksud kamu pindah kelompok KKN? kalau mau pindah minimal ajak aku, La. Astaga… Gini ya, La. Cowok-cowok di kelompok kamu itu ganteng parah.” Zanna sudah tak menangis lagi, ia membuka telepon genggamnya seolah mencari sesuatu.
Kania menggelengkan kepalanya, keadaan seperti ini sudah sering dihadapi. Mau heran tapi ini Zanna jika berada di luar rumah, jika dia diam berarti ada orang tuanya sehingga pergerakannya terbatas.
“Liat nih…” Zanna memperlihatkan telepon genggamnya. “Ganteng banget, idola cewek-cewek di kampus,” ujar Zanna antusias.
“Termasuk kamu?” tanya Nala.
Zanna tertawa, ia mengusap air matanya. “Jelas, aku perempuan normal, jomblo dan lagi cari jodoh.”
“Kamu masih kecil, gak usah mikirin jodoh.” Akhirnya Surya angkat bicara.
“Oh gak gitu Pak, lihat aja Nala sudah ketemu jodoh. Setidaknya ya Pak, kalau aku nikah, aku bisa punya anak. Jadi…” Zanna melirik ke arah Gaza. “Kakakku yang ganteng ini gak disuruh menghamili istrinya terus!”
“Diam!” Gaza sedikit menaikkan nada suaranya.
“Nih ada satu jomblo!” Surya menunjuk Dani.
Dani, pria sudah lama terpaku. Dari awal melihat Zanna masuk. Semua ocehannya terdengar menarik semua kesadaran pria itu. Zanna selalu berhasil membuatnya diam tak berkutik, selalu mempesona dengan senyum manis dan sedikit lesung pipinya. Saat Zanna tersenyum, matanya akan menyipit, seolah ikut tersenyum. Dari dulu, Dani menyukai semua tentang Zanna.
“Hah! Kak Dani!” teriak Zanna. Ia segera bersembunyi di belakang Gaza.
“Kalian kenal?” tanya Nala, ia bisa melihat bahwa Zanna dan Dani sudah mengenal cukup lama.
“Lama gak ketemu, Na. Masih cerewet aja.” Suara Dani terdengar sedikit bergetar.
Zanna berusaha bersikap seperti biasa saja. “Hai Kak,” ucapnya dengan lembut.
Nala dan Kania sama-sama menahan tawanya, Zanna seketika bungkam saat tau ada Dani di sana. Tapi saat itu juga Nala khawatir. Ia memperhatikan semua orang di dalam ruangan. Wajah Dani dan Surya, memiliki garis wajah yang sama. Ia melirik ke arah Gaza, bahkan suaminya itu tak banyak bertanya mengenai siapa Dani.
“Za, adikmu memang culas. Aku dan Dani sepupuan, lahir di tahun yang sama, kita juga sama-sama mengenal cukup lama. Tapi lihatlah, dia memanggil Dani dengan sebutan Kakak dan aku, Pak. Sangat tidak adil,” ucap Surya sembari tertawa, ia mengejek Zanna yang masih bersembunyi di belakang Gaza.
“Kamu memang tua.” Gaza asal bicara, mengabaikan wajah kesal Surya, ia memilih menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Nala.
Nala hanya bisa menggigit bibir bagian dalamnya, sepertinya ini rumit. Ia melirik Dani yang terus memandang Zanna. Pantas saja, siang tadi Dani sedikit terkejut saat mengetahui bahwa Gaza adalah suaminya, ternyata sudah saling mengenal.
“Kamu Butuh penjelasan bukan?” tanya Gaza dengan suara sedikit berbisik “Kamu juga harus menjelaskan sesuatu padaku.” Gaza tersenyum sembari mengusap pipi Nala.
Nala hanya bisa menghela nafas kasar, ia menggenggam tangan Kania cukup kuat. Ia tahu Gaza sudah bisa menebak hubungannya dengan Dani, buka kebetulan ketemu tapi sudah direncanakan oleh seseorang. Orang itu adalah istrinya sendiri.