“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Bayangan Perang di Ufuk Timur
Senja menyelimuti dermaga Samudra Jaya dengan cahaya tembaga yang meredup. Dari kejauhan, layar-layar besar berderet di permukaan laut, bagaikan burung-burung hitam yang siap menerkam. Raden Arya menatapnya dengan mata menyala. Nafasnya terengah, seakan setiap ombak yang datang menyalakan bara di dadanya. “Kawi Mandala… untuk apa mereka berani menampakkan diri sejauh ini?” gumamnya, penuh kegelisahan. Di sampingnya, Tumenggung Wiranegara berbicara dengan nada berat. “Kemungkinan besar mereka sudah mencium kabar bahwa Gusti Raja tengah bersemedi. Saat istana kosong dari titah raja, saat itulah celah terbuka.”
Arya mengepalkan tangannya, urat di lengannya menegang. “Licik… mereka mengincar saat terlemah kita. Aku takkan tinggal diam.” Raden Raksa, yang berdiri tak jauh di belakang, justru menanggapi dengan nada datar dan senyum samar. “Mengapa begitu tergesa, kangmas Arya? Kapal-kapal itu mungkin hanya pengintai. Kau bertindak seperti anak kecil yang ketakutan melihat bayangan sendiri.”
Arya menoleh tajam, wajahnya memerah. “Raksa! Kau kira ini permainan? Kapal mereka bukan sekadar bayangan. Sekali mereka menjejak daratan, Samudra Jaya akan jatuh dalam ancaman besar.”
Raksa tertawa pelan, dingin. “Atau mungkin ketakutanmu sendiri yang akan melemahkan kita sebelum perang dimulai.” Ketegangan nyaris pecah, tapi Wiranegara segera melangkah maju, meredakan. “Gusti Arya, Gusti Raksa… kita butuh ketenangan, bukan pertengkaran. Izinkan hamba menambah penjagaan di dermaga malam ini. Apapun maksud Kawi Mandala, kita harus lebih dahulu siap.”
Arya menghela napas panjang, menahan gejolak di dadanya. Ia tahu Wiranegara benar, namun sorot matanya pada Raksa tetap dipenuhi bara. Raksa sendiri berbalik, menatap laut dengan tatapan dalam. Senyum samar itu tak hilang, bahkan semakin jelas. Dalam hatinya ia bergumam, “Biarlah Arya resah dengan ketakutannya. Aku akan menunjukkan bahwa hanya keberanian dan kelicikan yang layak memimpin Samudra Jaya.”
***
Sementara itu, jauh di istana, kabar tentang kapal asing sudah sampai ke telinga Mahapatih Nirmala. Di balairung, ia memerintahkan prajurit bersiaga penuh. Putri Dyah Anindya duduk resah, pandangannya tak lepas dari Aruna Maheswara yang berdiri di sisi pintu dengan tangan selalu siaga di gagang keris.
“Jika kapal itu benar-benar berniat jahat, kita hanya bisa berharap pada pasukan di dermaga,” ucap Dyah dengan suara pelan, hampir seperti doa. Aruna menunduk hormat, sorot matanya teguh. “Selama hamba masih bernafas, keselamatan Gusti dan kerajaan ini akan menjadi kewajiban utama hamba.” lDyah menatapnya sekilas, lalu buru-buru menunduk lagi. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, sesuatu yang tak pantas namun tak bisa ia hentikan.
Di luar balairung, malam turun perlahan, membawa kabut dan desas-desus. Di laut, layar-layar Kawi Mandala masih bergoyang, menunggu waktu yang tepat. Dan di dermaga, dua pangeran Samudra Jaya berdiri berdampingan namun dipisahkan jurang ambisi dan dendam yang kian melebar.
Sore itu, suasana taman keputren yang biasanya riuh oleh tawa para dayang terasa lengang. Angin semilir hanya membawa aroma bunga melati yang menguap dari sudut kolam. Putri Dyah duduk termenung di kursi batu, tatapannya kosong menembus permukaan air yang beriak pelan. Hatinya masih dipenuhi kecemasan kabar dari dermaga layar-layar asing itu seperti bayangan gelap yang tak bisa ia enyahkan dari pikirannya.
Belum sempat ia menghela napas panjang, seorang dayang berlari tergesa masuk ke taman. Napasnya terengah, wajahnya pucat. “Gusti Putri…” suaranya bergetar. “Ada kabar… permaisuri… beliau mendadak jatuh sakit.”
Mendengar itu, Dyah sontak berdiri, wajahnya berubah tegang. “Ibu?” serunya lirih, matanya melebar penuh cemas. Tanpa pikir panjang ia melangkah cepat, kain panjang yang ia kenakan terseret angin sore. Beberapa dayang mengikuti dari belakang, berusaha menenangkan, namun langkah sang putri tak dapat dihentikan. Lorong panjang menuju pasren permaisuri dipenuhi aroma dupa. Setiap langkah terasa berat, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Setibanya di depan pintu, Dyah menahan napas, lalu masuk perlahan.
Di dalam, ruangan tampak temaram. Tirai tipis berwarna gading melambai pelan terkena hembusan angin dari celah jendela. Permaisuri Dyah Kusumawati terbaring di pembaringan, wajahnya pucat namun tetap memancarkan kelembutan. Ia tersenyum tipis begitu melihat putrinya masuk, seakan berusaha menepis kecemasan yang sudah menyelimuti ruangan itu.
“Anakku…” suara sang permaisuri lembut, meski terdengar lemah. “Mengapa wajahmu setegang itu? Ibu hanya sedikit letih. Tak perlu kau khawatir.” Dyah menghampiri dengan langkah terburu, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya meraih tangan ibunya yang terasa dingin. “Ibu, jangan berkata demikian. Wajahmu pucat… aku tahu kau menahan sakit.” Suaranya bergetar, hampir pecah. Permaisuri Kusumawati menggeleng pelan, tetap tersenyum. “Seorang ibu tidak ingin anaknya terbebani. Ingatlah itu, Dyah. Ada banyak perkara besar di luar sana. Kau tak boleh terguncang hanya karena melihat ibumu terbaring seperti ini.” Putri Dyah menunduk, airmata menggantung di pelupuk. Ia tahu ibunya berusaha menenangkan, tapi nalurinya berkata lain. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar “lelah”. Namun ia memilih diam, hanya menggenggam tangan sang ibu lebih erat, seolah ingin membagi sebagian kekuatannya. Beberapa dayang mengatur mangkuk berisi ramuan jamu di meja kecil. Salah satunya berbisik lirih, “Gusti, sejak pagi permaisuri sudah menolak makan. Hanya minum sedikit air dan ramuan ringan.”
Dyah menoleh, menatap tajam, lalu kembali memandang ibunya. “Ibu, setidaknya minumlah jamu ini. Untuk mengurangi rasa lelahmu.” Kusumawati terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia menerima mangkuk itu, meski jelas terlihat setiap gerakan tangannya penuh usaha. Sesaat setelah meneguk, ia menutup mata, menghela napas panjang. “Lihatlah, ibu masih mampu. Kau tidak perlu khawatir.” Namun hati Dyah justru semakin gelisah. Senyum ibunya memang indah, tapi justru itulah yang menyakitkan—karena di balik senyum itu ia tahu ada penderitaan yang disembunyikan. Malam semakin turun, bayangan lampu minyak menari di dinding pasren. Putri Dyah duduk menemani, enggan beranjak meski dayang berkali-kali mengingatkan untuk beristirahat. Pandangannya hanya tertuju pada ibunya, sementara pikirannya terus berkelindan antara tugasnya sebagai putri kerajaan dan cintanya sebagai seorang anak.
Di luar kamar, angin malam membawa bisikan kabar dari dermaga, tentang kapal-kapal asing yang masih berlabuh di perairan. Samudra Jaya kini diguncang ancaman dari segala sisi dari laut, dari istana, bahkan dari rahasia yang bersemayam di tubuh seorang permaisuri. Dan di tengah semua itu, Dyah berjanji dalam hati—apa pun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan ibunya menanggung derita seorang diri.
Malam semakin larut, namun Putri Dyah tetap bertahan di sisi pembaringan ibunya. Sesekali ia merapikan selimut, sesekali pula ia mengusap lembut kening sang permaisuri. Keheningan hanya dipecahkan oleh suara jangkrik di luar jendela dan nyala lampu minyak yang bergetar tertiup angin. Pintu pasren berderit pelan, seorang dayang masuk sambil menunduk dalam. “Gusti Putri, ada seorang yang memohon izin bertemu… katanya ingin memastikan keadaan permaisuri.”
Dyah menoleh, sedikit heran. “Siapakah dia?”
Dayang itu menunduk lebih dalam sebelum menjawab lirih, “Panglima Aruna, Gusti.” Jantung Putri Dyah berdegup lebih cepat. Ia terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Persilakan ia masuk.” Tak lama, Aruna melangkah ke dalam dengan langkah hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan membuatnya tampak kontras dengan suasana mewah pasren, namun sorot matanya memancarkan ketulusan. Begitu melihat Putri Dyah, ia menunduk hormat, lalu mengalihkan pandangan pada permaisuri yang berbaring pucat.
“Maafkan hamba, Gusti Putri,” ucapnya pelan. “Hamba mendengar kabar permaisuri jatuh sakit. Hamba tak bisa berdiam diri.” Dyah hanya mengangguk singkat, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. Ada rasa haru, juga kerinduan yang tak pernah ia ungkapkan. Ia memberi isyarat agar Aruna mendekat.
Aruna berjalan perlahan ke sisi ranjang. Ia menunduk dalam, menatap wajah permaisuri dengan hormat. “Semoga Sang Hyang Jagat melimpahkan kekuatan untuk paduka,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam hening malam. Kusumawati membuka mata, menatap Aruna dengan lembut. Meski tubuhnya lemah, bibirnya sempat melengkung tipis. “Anak muda… terima kasih atas doa dan perhatianmu. Samudra Jaya butuh orang-orang yang setia.” Aruna menunduk dalam, dadanya bergetar. Kata-kata permaisuri seperti beban sekaligus restu yang berat.
Sementara itu, Putri Dyah hanya bisa menatap diam-diam. Kehadiran Aruna di ruangan itu membuat hatinya bergetar aneh. Ada perasaan hangat yang ingin ia sembunyikan, sekaligus rasa takut karena ia tahu batas-batas yang tidak boleh ia langgar.
Hening panjang merayap. Hanya suara napas permaisuri yang terdengar lirih. Dalam diam itu, Aruna sempat melirik Putri Dyah. Tatapan mereka beradu sesaat, singkat namun dalam. Mata Dyah basah, tapi ia segera menunduk, berusaha menyembunyikan gelombang perasaan yang mendadak menguasai dirinya. Tak ingin berlama-lama, Aruna akhirnya merunduk sekali lagi. “Hamba pamit, Gusti. Mohon doa agar hamba tetap dapat berbakti pada negeri ini.”
Permaisuri mengangguk pelan. “Pergilah, dan jagalah dirimu.” Aruna lalu melangkah keluar, meninggalkan ruangan. Tetapi kepergiannya meninggalkan jejak di hati Putri Dyah. Ia menatap pintu yang baru saja tertutup, dadanya masih dipenuhi degup yang tak menentu. Di sisi lain, permaisuri sempat melirik putrinya. Ada senyum samar di bibirnya, seolah ia menyadari sesuatu yang tak diucapkan. Namun ia memilih diam, membiarkan malam itu menyimpan rahasia yang hanya dipahami oleh hati seorang ibu. Suasana di pasren kembali hening setelah Aruna pergi. Putri Dyah masih duduk di sisi ranjang, matanya tak lepas dari wajah ibunda yang pucat namun tetap memancarkan ketenangan. Sesaat Putri Dyah ragu untuk membuka suara, namun tiba-tiba permaisuri yang lebih dulu bersuara.
“Dyah, anakku…” suara Kusumawati terdengar lembut, meski samar-samar disertai helaan napas berat. “Tadi kulihat sorot matamu saat Aruna hadir. Kau tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari ibumu.” Putri Dyah terkejut, pipinya merona. Ia menunduk dalam, jemarinya saling menggenggam resah. “Ibu… hamba hanya… hamba khawatir pada kesehatan Ibu. Tidak ada yang lain.”
Permaisuri tersenyum tipis. “Hati seorang wanita selalu dapat dibaca dari matanya. Jangan khawatir, Dyah. Aku tidak akan menghakimimu. Tetapi ingatlah… kau adalah seorang putri. Langkahmu tak bisa sembarangan. Apa yang bagi orang lain adalah kebebasan, bagimu bisa menjadi beban besar.” Dyah terdiam, dadanya sesak. Ia ingin menyangkal, namun kata-kata ibunya terlalu tepat menusuk relung hatinya. Ia hanya bisa menggenggam tangan ibunya erat-erat, seakan ingin menyalurkan seluruh kasih sayang tanpa perlu berkata-kata. Malam itu berlalu dengan kesunyian yang dipenuhi renungan. Putri Dyah akhirnya terlelap di kursi kayu di sisi ranjang, sementara permaisuri menatapnya penuh kasih, walau tubuhnya masih diliputi lemah.
Keesokan paginya, sinar mentari baru menembus jendela keputren. Putri Dyah terbangun dengan kepala sedikit pening. Ia mendapati ibunya masih beristirahat, wajahnya tampak lebih tenang. Belum sempat ia beranjak, terdengar langkah tergesa di luar. Seorang dayang membuka pintu dengan wajah cemas. “Ampun Gusti Putri, Patih Nirmala memohon izin segera menghadap. Katanya membawa kabar penting dari dermaga.” Dyah segera bangkit. Ia membenahi kainnya, lalu berjalan cepat menuju balairung dalam. Di sana sudah berdiri Patih Nirmala, wajahnya tegang, sorot matanya penuh beban. Begitu melihat Putri Dyah, ia langsung menunduk dalam.
“Gusti Putri, mohon ampun. Ada kabar yang tidak bisa ditunda,” ucapnya dengan suara berat. Dyah mengangguk, meski hatinya mulai diliputi rasa cemas. “Katakan, Paman Patih.” Patih Nirmala menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara, “Dari pengamatan di pelabuhan semalam, kapal-kapal Kawi Mandala semakin mendekat. Tumenggung Wiranegara bersama Raden Arya dan Raden Raksa kini masih berjaga, namun tanda-tanda bahwa mereka hendak menguji kekuatan kita semakin jelas.”
Dyah terbelalak, kedua tangannya saling meremas. “Apakah ini berarti mereka benar-benar akan menyerang?”
Patih menunduk dalam, suaranya penuh kehati-hatian. “Belum ada serangan langsung, namun pasukan laut mereka terus menambah jumlah. Saya khawatir, ini hanya soal waktu. Jika Gusti Raja belum selesai dari semedinya, Samudra Jaya bisa berada dalam keadaan genting.” Putri Dyah terdiam, wajahnya pucat. Ia merasa beban yang selama ini hanya berada di pundak para pangeran kini turut menimpanya. Sebagai putri, ia tak bisa mengangkat senjata, namun hatinya pedih melihat negeri berada di ambang bahaya. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, “Sampaikan pada Raden Arya dan Raden Raksa… agar berhati-hati. Aku percaya mereka mampu menjaga Samudra Jaya, namun jangan sampai gegabah. Dan kau, Paman Patih, tetaplah di sisiku. Aku membutuhkan nasihatmu dalam keadaan seperti ini.”
Patih Nirmala menunduk hormat. “Hamba junjung titah Gusti Putri.” Di dalam hati, Dyah tahu badai besar akan segera tiba. Antara keresahan pada keselamatan negeri, kecemasan pada keadaan ibunya, dan perasaan yang tak berani ia akui pada Aruna, semuanya bercampur menjadi satu. Samudra Jaya sedang meniti ujian, dan ia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.
****
Malam itu, halaman latihan di dalam istana sepi. Hanya suara desir angin malam dan nyanyian jangkrik yang menemani sosok Aruna Maheswara. Ia berlatih seorang diri, pedang kayu di tangannya menebas udara dengan gerakan teratur. Keringat membasahi pelipisnya, namun matanya tetap fokus. Seolah segala beban pikiran ia tuangkan dalam setiap ayunan.
“Aruna…”
Suara lembut itu membuatnya tersentak. Ia segera menurunkan pedang kayu dan berbalik. Di bawah cahaya rembulan, tampak Putri Dyah Anindya berdiri dengan anggun, sorot matanya bening namun penuh tekad.
“Gusti Putri?” Aruna tergagap, segera memberi hormat. “Mengapa malam-malam begini berada di sini? Seharusnya Gusti beristirahat.” Dyah melangkah mendekat, kain halus yang dikenakan bergoyang pelan ditiup angin. “Aku tidak bisa tidur. Banyak hal yang mengganggu pikiranku. Dan saat kulihat dari kejauhan… kau berlatih seorang diri. Aku ingin… belajar darimu.”
Aruna tertegun. “Belajar…?”
“Ya,” jawab Dyah mantap, meski nadanya sedikit bergetar. “Aku ingin tahu bagaimana rasanya menggenggam pedang. Bagaimana melindungi diri… atau setidaknya, merasakan keteguhan seperti yang kulihat dalam dirimu.”
Aruna sempat ragu. Ia tahu ini bukan hal biasa. Putri istana tidak semestinya ikut berlatih di malam hari. Namun tatapan Dyah penuh keyakinan, sulit untuk ditolak. Dengan helaan napas panjang, ia menyerahkan pedang kayu cadangan.
“Baiklah, kalau begitu izinkan hamba mengajarkan dasar-dasarnya. Tapi mohon maaf jika caraku kasar.” Dyah menerima pedang itu dengan kedua tangan. Awalnya tangannya kaku, gerakannya canggung. Aruna mengarahkan posisi kuda-kuda, cara menggenggam, hingga langkah dasar. Namun saat mencoba ayunan, tubuh Dyah sedikit goyah. Refleks, Aruna meraih pedang dari depan, menahan agar tidak terlepas. Tubuh mereka hanya terpisah sejengkal. Putri Dyah mendongak, terkejut melihat wajah Aruna begitu dekat. Sorot mata mereka bertemu—tajam, namun sekaligus rapuh.
Waktu seolah berhenti. Nafas mereka beradu, terlalu dekat untuk diabaikan. Hingga tanpa mereka sadari, jarak itu semakin menyempit. Sentuhan pertama begitu singkat, namun terasa bagai menyambar seluruh jiwa. Ciuman itu berlanjut, perlahan namun intens, seolah menyalurkan seluruh rahasia hati yang selama ini dipendam.
Ketika akhirnya mereka terpaksa melepaskan, keheningan mendadak terasa lebih berat. Putri Dyah menunduk, wajahnya memerah. Aruna, yang masih terengah, segera menunduk dalam.
“Ampun, Gusti Putri…” suaranya parau. “Hamba lancang. Hamba seharusnya tidak….”
Dyah menggeleng cepat, meski hatinya berdebar hebat. “Sudahlah, Aruna. Jangan bicara lagi… mari kita lanjutkan latihan.” Keduanya kembali berdiri berhadapan. Namun kali ini, setiap gerakan terasa kaku, seolah pedang hanya menjadi alasan untuk menutupi rasa canggung yang baru saja tercipta. Sesekali tatapan mereka beradu, namun segera berpaling, takut rahasia yang terungkap tadi semakin jelas terlihat. Malam kian larut. Mereka berlatih hingga napas terasa berat. Akhirnya Dyah menurunkan pedangnya, tersenyum tipis meski masih diliputi gemuruh di dada. “Terima kasih, Aruna. Aku belajar banyak malam ini.”
Aruna hanya menunduk, menyembunyikan segala perasaan yang berkecamuk. “Hamba hanya melakukan kewajiban, Gusti Putri.” Keduanya lalu berpisah dalam diam. Namun hati mereka sama-sama tahu batas yang tadinya begitu jelas kini telah mulai kabur, digantikan oleh sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.