NovelToon NovelToon
KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!

Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.

Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.

Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.

Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10. DUGAAN

Kalimat terakhir Arsel seketika membuat seluruh ruangan membeku.

"Ada sesuatu yang nggak wajar di rumah ini."

Seolah udara yang sejak tadi hangat perlahan berubah dingin. Suasana menjadi berat, seperti ada lapisan tipis kabut tak kasat mata yang menyelimuti.

Retno menggenggam tangannya semakin erat, suaranya bergetar, "Maksudmu ... apa ada sesuatu di rumah ini?"

Arsel menatapnya dengan mata teduh tapi serius. Saya belum bisa memastikan. Tapi sejak pertama kali saya masuk, saya merasakan energi yang nggak sinkron. Seperti ada sesuatu yang bersembunyi, menempel pada dinding-dinding rumah ini."

Sadewa terbelalak. "Jangan bilang itu yang selama ini aku rasakan?"

Tama yang duduk bersandar kini bangkit, menatap ke sekeliling ruangan dengan pandangan waspada. "Ya. Energi itu seperti tanda. Dan jika benar, kemungkinan besar dukun itu tidak hanya menandai Sadewa, tapi juga meninggalkan sesuatu di rumah ini melalui perantara Dewa. Semacam pintu kecil yang bisa mereka gunakan untuk masuk."

Naras mengepalkan tangannya. "Bangsat! Jadi dukun itu dengan sengaja menjebak adikku?!"

Suara Naras bergemuruh, namun Arsel mengangkat tangannya lagi, meminta semua tetap tenang. "Marah sekarang nggak akan mengubah keadaan. Kita harus tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau benar ada sesuatu yang ditinggalkan di rumah ini, kita harus menutupnya, membersihkannya."

Retno terlihat ketakutan. "Ya Allah, kenapa semua ini bisa terjadi?"

Arsel menundukkan kepala sedikit, lalu berkata, "Bu, nggak ada yang bisa memilih takdir. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menghadapi. Percayalah, kita nggak sendiri. Selama kita bersatu, mereka tidak bisa berbuat semaunya. Dan selalu percaya bahwa Tuhan akan selalu melindungi kita."

Dian mencoba menguatkan ibunya dengan menggenggam tangan Retno. "Ibu, jangan takut. Selama ini Dewa yang paling menderita. Sekarang kita semua tahu, kita akan melindunginya bersama."

Sadewa yang mendengar itu menunduk, hatinya terasa ditikam rasa bersalah. "Semua ini salahku. Kalau saja aku nggak bodoh, nggak ikut taruhan konyol itu, kalian nggak akan ikut menderita."

Naras, meski wajahnya masih menyimpan amarah, perlahan melembut. Ia mendekati adiknya dan menepuk bahunya agak keras. "Kau memang nakal, kadang bertindak tanpa berpikir panjang, Dewa. Tapi kamu adik Abang. Mau bagaimana pun, Abang nggak akan biarin kamu berjuang sendirian."

Dewa menoleh, matanya memerah. Ada rasa lega, meski kecil, mendengar kakaknya berkata demikian. Kakak pertamanya memang tegas, tapi bagi Dewa Naras adalah kakak yang baik. Yang selalu membela Dewa bahkan dari ayah mereka yang kasar.

Arsel lalu duduk lebih dekat ke arah Sadewa. "Aku tahu kamu menyesal. Tapi aku ingin kamu memahami sesuatu: tanda itu bukan hanya sekadar cap. Itu ibarat tali yang menghubungkan kamu dengan si pemberi tanda. Kamu mungkin nggak sadar, tapi setiap teror yang datang, bisa jadi memang diarahkan ke sana. Pertanyaannya: untuk tujuan apa?"

Sadewa merasakan bulu kuduknya berdiri. "Tujuan apa? Kamu tahu dia ingin apa dariku?"

Arsel diam sesaat, seolah sedang memilih kata dengan hati-hati. "Ada banyak kemungkinan. Tapi aku nggak ingin mendahului. Yang pasti, kamu nggak boleh merasa ini semata-mata karena kesalahan kamu. Ada kehendak buruk yang sengaja memanfaatkan ketidaktahuanmu. Dan itu lebih berbahaya."

Tama menimpali, "Kamu harus tahu juga, Dewa. Mata batinmu memang sudah waktunya terbuka. Itu adalah garis hidupmu. Tapi karena dipicu tanda itu, matamu terbuka terlalu lebar, terlalu cepat. Itu seperti seseorang yang baru belajar berenang, tapi langsung dilempar ke lautan dalam. Wajar kalau kau hampir tenggelam."

Sadewa terdiam. Perumpamaan itu menghantam logikanya dengan kuat. Ia memang merasa tenggelam dalam kegelapan selama ini.

"Kamu hebat bisa menahan segala teror dan bisikan-bisikan itu, Wa," puji Tama tulus.

Ruangan kembali diliputi keheningan. Semua mencoba mencerna kata-kata itu.

Naras akhirnya angkat bicara, nada suaranya masih keras namun kali ini lebih terarah, "Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Apa kita harus melabrak dukun itu?"

Arsel menggeleng pelan. "Nggak ada gunanya. Dia akan mengelak. Dan tanpa bukti, itu hanya akan jadi tuduhan kosong. Lebih baik kita fokus melindungi Sadewa dulu."

Retno mengangguk cepat, seolah menemukan pegangan. "Iya, lindungi Dewa dulu. Itu yang terpenting."

Tama lalu berdiri tegak, wajahnya serius. "Untuk itu, kita harus membersihkan rumah ini lebih dulu. Kalau benar ada 'pintu' yang ditinggalkan, maka kita harus menutupnya. Dan setelah itu, barulah kita pikirkan bagaimana memutus tanda pada tubuh Dewa."

Sadewa merinding. "Memutus tanda ... apakah itu sulit?"

Arsel menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. "Nggak ada yang mudah dalam dunia yang tak kasat mata, Dewa. Tapi percayalah, selalu ada jalan."

Ucapan itu membuat hati Sadewa bergetar. Meski samar, ada secercah harapan yang menyala di dalam dirinya.

Namun, sebelum percakapan berakhir, Arsel menoleh ke arah langit-langit rumah, matanya sedikit menyipit. "Tapi aku harus ingatkan satu hal. Apa yang ada di rumah ini ... bukan hanya sekadar sisa energi. Ada sesuatu yang lebih ... nyata. Dan itu sudah lama menetap di sini."

Kata-kata itu membuat semua orang kembali menahan napas. Retno spontan menoleh ke sudut ruangan, seolah bisa melihat sesuatu yang selama ini tak kasat mata. Dian merapatkan tubuhnya ke ibunya. Naras menegakkan tubuh, matanya tajam menatap ke sekeliling.

Sadewa sendiri merasakan dadanya sesak. Apakah itu yang selama ini mengikutinya? Apakah itu yang membuatnya bermimpi buruk setiap malam?

Malam semakin larut. Jam dinding di kamar Sadewa berdetak perlahan, namun setiap dentangnya terdengar begitu jelas, seakan ikut menjadi saksi dari rahasia yang dibuka malam itu. Udara di dalam rumah mulai menurun suhunya, hawa dingin menusuk sampai ke tulang, meski semua jendela sudah tertutup rapat.

Arsel bangkit dari duduknya, wajahnya serius namun tidak menakutkan. "Sadewa?" panggilnya dengan nada tegas tapi lembut, "kalau kamu terus membiarkan matamu seperti ini, kamu akan hancur pelan-pelan. Sekarang aku akan mempersempitnya. Bukan menutup karena itu nggak bisa, tapi aku akan membuatnya nggak terlalu terbuka. Agar kamu bisa bernapas lebih lega."

Sadewa menelan ludah. Ada rasa takut, tapi juga rasa ingin tahu. "Apa itu ... sakit?"

Arsel tersenyum tipis. "Nggak, kalau kamu tenang. Tapi aku butuh kerjasamamu. Kamu harus percaya."

Sadewa mengangguk pelan, lalu duduk bersila di lantai seperti yang diarahkan. Retno ingin maju, tapi Tama menahan dengan gerakan tangan. "Biarkan. Ini bagian dari proses."

Lampu ruang tamu bergetar pelan, seolah merespons energi yang mulai terkumpul. Arsel duduk di hadapan Sadewa, jarak mereka hanya sejengkal. Kedua tangannya dirapatkan di depan dada, lalu perlahan ia menutup mata.

"Tarik napas panjang, Dewa," suara Arsel terdengar rendah, berirama.

Sadewa mengikuti.

"Hembuskan perlahan ... biarkan semua ketakutan keluar bersama napas kamu," kata Arsel.

Sadewa merasakan dadanya sedikit lebih ringan.

Kemudian Arsel membuka mata. Sorotnya tajam, berkilat samar seperti menyalakan obor di kegelapan. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di sisi kepala Sadewa, tanpa menyentuh, hanya menggantung beberapa senti di atas pelipis.

"Kok ada cahaya terang?" tanya Dewa heran.

"Itu pintu mata batin kamu. Sekarang, bayangkan sebuah pintu besar terbuka lebar di dalam kepalamu, Pintu itu adalah matamu. Bayangkan aku ada di sana, menutup pintu itu pelan-pelan, menyisakan celah kecil. Cukup untuk melihat, tapi nggak lagi membuatmu dibanjiri cahaya berlebihan."

Sadewa memejamkan mata. Dalam benaknya, ia benar-benar bisa membayangkan sebuah pintu raksasa terbuka lebar, dengan cahaya menyilaukan dari baliknya. Perlahan, pintu itu bergerak menutup, suara engselnya berderit. Dadanya semakin lega.

Arsel menurunkan tangannya, lalu menghela napas panjang. "Sudah. Bagaimana rasanya?"

Sadewa membuka mata perlahan. Ia terkejut, ruangan terasa lebih tenang. Hawa dingin yang menusuk tadi sedikit berkurang. Suara-suara samar yang biasanya ia dengar kini lenyap.

"Aku merasa lebih ringan," kata Dewa senang.

Retno meneteskan air mata lega. "Syukurlah, Nak."

Namun Arsel belum selesai. "Ingat, ini bukan berarti kamu bebas. Mata itu tetap ada, hanya lebih terkendali. Sekarang giliranmu belajar bagaimana menggunakannya, bukan membiarkannya mengendalikanmu."

Sadewa menatap Arsel penuh kebimbangan. "Menggunakannya? Bagaimana caranya?"

Tama maju, kini ia mengambil peran. Suaranya tenang tapi penuh wibawa. "Pertama, kamu harus tahu satu hal yang paling penting. Mereka yang tak kasat mata selalu punya cara untuk membuatmu takut. Itu senjata utama mereka. Mereka memancarkan energi intimidasi, seperti kejutan listrik yang langsung menusuk ke dalam hati. Itulah sebabnya banyak orang ketakutan, bahkan pingsan, hanya karena melihat atau merasakan kehadiran mereka."

Sadewa menelan ludah, jantungnya berdegup. "Aku sering merasakan itu, dadaku tiba-tiba sesak, kaki gemetar, seakan ada yang mencekik."

Tama mengangguk. "Itu bukan karena mereka lebih kuat darimu. Itu hanya trik. Mereka ingin kamu percaya bahwa mereka berkuasa. Padahal kenyataannya, kamu adalah manusia. Makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan. Dan hanya Tuhan-lah yang pantas ditakuti."

Kata-kata itu bergema di telinga Sadewa, begitu tegas hingga menusuk jiwanya.

Tama mendekat, menatapnya tajam. "Kamu harus berani, Wa. Katakan pada diri kamu: aku manusia. Aku makhluk paling sempurna. Aku tidak takut pada kalian, karena hanya kepada Tuhan aku takut. Ucapkan itu dalam hati setiap kali kau merasa mereka mencoba menekanmu."

Sadewa menunduk, mencoba mencerna. "Tapi bagaimana kalau aku tetap takut?"

Arsel ikut menimpali, "Takut itu wajar. Tapi jangan biarkan rasa takut mengikat kamu. Bayangkan mereka seperti bayangan di dinding, menakutkan, tapi tidak bisa menyakitimu kalau kamu tidak memberi mereka kekuatan. Ingat, mereka hanya bisa masuk lewat celah: celah dari rasa takutmu, dari keraguanmu. Mereka akan selalu mencari kelemahanmu yaitu di pola pikir dan isi kepalamu."

Retno yang mendengarkan ikut mengangguk, meski wajahnya masih pucat. "Benar, Nak. Jangan biarkan mereka menakutimu. Ingat selalu Tuhan bersama kita."

Sadewa menutup mata sejenak, mencoba mengulang kata-kata itu dalam hatinya. Aku manusia. Makhluk paling sempurna. Aku tidak takut pada kalian. Hanya kepada Tuhan aku takut.

Ada sesuatu yang berbeda. Seperti sebuah tembok kecil berdiri di dalam dirinya, melindungi dari angin dingin yang biasa menusuk tanpa ampun.

Tama tersenyum tipis, lalu menepuk bahunya. "Itu. Kamu sudah mulai belajar. Tenang, berani, dan sadar siapa dirimu. Itu kunci utama."

Arsel menambahkan, "Mulai sekarang, kamu tidak lagi hanya menjadi korban. Kamu harus belajar menjadi pengendali. Mata batinmu bukan kutukan, Dewa. Ia bisa jadi anugerah, asal kau tahu cara menggunakannya."

Sadewa menatap mereka dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa syukur, juga rasa harapan. Untuk pertama kalinya sejak semua ini terjadi, ia merasa mungkin ada jalan keluar.

Namun sebelum suasana benar-benar tenang, Arsel tiba-tiba menyipitkan mata, menoleh ke salah satu sudut ruangan yang gelap. "Tapi sepertinya ... kita tidak punya waktu banyak untuk sekadar berteori. Ada yang ingin menguji keberanianmu malam ini."

Lampu ruang tamu mendadak berkelip. Suhu ruangan kembali turun drastis. Semua orang menahan napas.

Sadewa merasakan bulu kuduknya berdiri. Tapi kali ini, ia mengingat kata-kata Tama. Ia menarik napas, lalu menegakkan punggungnya. Aku manusia. Makhluk paling sempurna. Hanya Tuhan yang patut kutakuti.

Untuk pertama kalinya, ia siap menghadapi bayangan itu.

1
Deyuni12
Arsel 🥺
Deyuni12
lanjuuuuuut
Deyuni12
semakin menegangkan
Miss Typo
semangat kalian bertiga, semoga bisa 💪
Miss Typo: baru 2 bab 😁✌️
total 1 replies
Deyuni12
lagi akh 😅😅
Miss Typo
kok aku jadi terhura nangis lagi nangis mulu 😭
Deyuni12
lagiiiiiii
Deyuni12
ada kabut apa sebenarnya d keluarga dewa sebelumnya,masih teka teki n masih samar,belum jelas apa yg terjadi sebetulnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
Deyuni12: kasih tau aku y kalo udah ketahuan 😄
total 2 replies
Deyuni12
orang yg tidak d harapkan malah pulang, hadeeeh
Archiemorarty: Ndak kok /Slight/
total 3 replies
Miss Typo
belum tau siapa orang yg bikin Dewa jadi tumbal, dari awal aku pikir ayahnya tapi dia gak percaya hal begituan, atau kakek neneknya dulu atau siapa ya??? 😁
Miss Typo: masih mikir 😁
total 2 replies
Miss Typo
saat kayak gitu malah ayahnya mlh pulang ke rumah, bikin geram aja tuh orang 😤
Miss Typo: geram sm ayahnya Dewa 😤
total 2 replies
Deyuni12
bacanya menguji adrenalin
Deyuni12
semangat dewa
Deyuni12
huaaa
ternyata bener kn jadi tumbal
Deyuni12: hayoo sama siapa hayooo
total 2 replies
Deyuni12
masa iya dewa d jadikan tumbal sama leluhurnya..hm
Deyuni12
what!!!
kenapa si dewa ini
Deyuni12: hayooo othor,kamu apain itu dewaaaa
total 2 replies
Miss Typo
tiap baca tegang tapi juga penasaran,,, semangat Dewa Arsen dan Tama
Miss Typo
semoga kamu kuat kamu bisa Dewa bersama Arsen dan Tama
Miss Typo
kuat Sadewa kuat, kamu pasti bisa
Miss Typo
dari awal dah menduga jadi tumbal tapi okeh siapa?
apa ayahnya Dewa???
Miss Typo: kalau othor mh jelas nulis banyak, sedangkan diriku komen dikit aja typo mulu, makanya nama disini Miss Typo hehe
total 7 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!