Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: TIANG RUMAH YANG MEMELUK KEIKHLASAN SALAT
Ikhtiar di Tengah Kekeringan
Bara kini hanya fokus pada satu hal: bertahan hidup secara fisik, namun dengan doa yang berpusat pada keluarganya. Ia tahu kekuatan spiritual Rina (yang ia rasakan melalui gema samar aroma parfum dan kehangatan setelah berdoa sebelumnya) hanya akan kuat jika ia sendiri tidak menyerah pada keputusasaan.
Ia beringsut menuju Mata Air 'Bisikan', sebuah sumber air tawar tunggal di cekungan batu kapur. Rasa haus melilit tenggorokannya. Ia telah beberapa hari tanpa air yang memadai.
Air menetes sangat pelan. Bara harus menggunakan kulit kerang kecil untuk menampungnya, sebuah proses yang menguji kesabarannya. Kelembaban air menetes itu melambangkan Simbol Tawakal yang dipaksakan: harus dikumpulkan dengan sabar, tanpa protes pada Yang Maha Kuasa.
Ia duduk, merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia melihat ke Jurang Cermin di dekatnya, bayangannya di air surut memantul seperti cermin, memaksanya menghadapi ketidakberdayaan total. Ia tidak ingin melihat Bara yang lemah.
Aku harus menjadi batu karang, bukan ranting. Rina tidak boleh merasa tiang rumah ini roboh.
Krisis Fisik dan Doa Lugas
Saat Bara sedang mengumpulkan tetesan air, ia merasakan air pasang datang tiba-tiba dengan cepat, menghantam kakinya yang mati rasa. Ia nyaris kehilangan keseimbangan dan terseret arus yang kuat. Dengan tenaga terakhir, ia mencengkeram Akar Bakau Gergasi, urat-uratnya menonjol di lengan.
Ia berhasil menyelamatkan dirinya, tetapi ia kehilangan sedikit air yang sudah ia kumpulkan. Frustrasi muncul, tetapi ia segera menepisnya.
Ia kembali ke Cadas Sunyi, membuka Buku Doa Musafirnya. Doanya hari ini sangat lugas, mencerminkan krisis fisiknya tetapi ditujukan untuk Rina, yang ia yakini sedang menghadapi tekanan finansial dan emosional yang jauh lebih berat di rumah.
"Ya Allah, berikan Rina kekuatan fisik untuk melewati hari ini. Jaga kesehatannya agar ia tidak sakit. Jangan biarkan kelelahan merenggutnya. Aku tidak meminta makanan, aku hanya meminta ia berdiri tegak."
Ia menyelesaikan doanya, bersandar pada batu yang dingin, menunggu keajaiban. Ia tidak merasakan apa-apa. Hanya dingin. Ia menutup mata, membiarkan dirinya jatuh ke dalam istirahat singkat yang berbahaya.
Mencari Pekerjaan dan Dihakimi
Di rumah, Rina mengenakan pakaian terbaiknya yang tersisa. Ia berikhtiar mencari pekerjaan paruh waktu, mengikuti saran logis Bundah Ida, tetapi menolak tawaran Bunda Ida untuk menjual aset. Konfirmasi spiritual (respons Arka yang mengucapkan "Ayah" dan aroma parfum sekilas) telah memberinya kekuatan untuk bergerak.
“Arka, main sama Mala sebentar ya, Nak. Ibu pergi sebentar,” kata Rina. Arka mengangguk, masih memeluk jaket Ayahnya. Mala hanya menoleh, matanya sunyi.
Rina melamar ke sebuah toko kelontong besar di pasar dekat kompleknya. Ia bertemu dengan manajer toko, seorang wanita paruh baya yang tampak sinis dan logis.
Wanita itu melirik berkas Rina, kemudian menatap wajah Rina yang pucat karena kelelahan.
“Jadi, suami Anda pelaut, hilang?” tanya wanita itu lugas.
“Iya, Bu. Tapi saya yakin dia akan kembali. Sementara itu, saya butuh bekerja keras untuk anak-anak saya,” jawab Rina, berusaha profesional.
Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke depan, nadanya menghakimi.
“Saya lihat di sini, anak Anda ada yang... istimewa, ya? Autis. Maaf, Nyonya. Tapi fokus Anda harusnya di rumah. Anak seperti itu butuh perhatian penuh, 24 jam. Ini bukan pekerjaan main-main. Kalau Anda pingsan di sini karena kelelahan, siapa yang repot? Saran saya, fokus urus anak-anak Anda, daripada dihakimi oleh orang lain. Ibu-ibu di komplek sudah mulai bergosip tentang status Anda, lho.”
Martabat Rina direndahkan, dihakimi karena memilih bekerja daripada menjadi ibu rumah tangga ideal yang fokus pada anak berkebutuhan khusus.
Rina menahan napas. “Terima kasih atas saran Anda, Bu. Tapi saya tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu takdir datang.”
“Takdir itu diciptakan, Nyonya, bukan ditunggu. Cari uang dengan cara yang lebih mudah, jual saja yang bisa dijual. Itu realistis,” potong wanita itu.
Rina segera berdiri. “Terima kasih, Bu. Saya permisi.”
Kelelahan dan Mencari Kekuatan
Rina pulang dalam keadaan hancur, fisik dan mental. Ia tidak mendapatkan pekerjaan, dan perkataan wanita itu, ditambah gosip tetangga (yang ia dengar sekilas di jalan), membuatnya merasa gagal sebagai ibu.
Rasa pusing dan denyutan di pelipisnya membuatnya nyaris pingsan saat ia masuk rumah. Arka rewel lagi, dan Mala semakin diam.
Rina membanting pintu dapur. Ia bersandar di dinding. Aku tidak bisa jatuh sakit. Aku harus menjadi Tiang Rumah ini. Jika aku tumbang, anak-anakku akan hancur.
Ia sadar ia tidak bisa mengandalkan ikhtiar fisik di dunia luar, karena dunia luar hanya melihatnya sebagai janda yang lemah dan tidak waras. Ia memutuskan bahwa ikhtiar terbaiknya saat ini adalah menjaga iman dan ketegaran, menjadikannya Tiang Rumah spiritual bagi anak-anaknya.
Ia berjalan ke kamar mandi, mengambil air wudu.
Salat dan Keajaiban Mikro (Divine Echo ke-2)
Rina membentangkan sajadah di ruang tengah. Ia melaksanakan salat sunah, mencari kekuatan spiritual di tengah kelelahan fisik dan mental yang mematikan. Ia harus melawan rasa pusing yang mengancam membuatnya pingsan.
Ia memulai salat, memfokuskan pikirannya hanya pada doa dan tawakal murni.
Saat Rina sedang sujud, dalam kondisi kelelahan parah, ia merasakan sesuatu yang aneh. Kehangatan tiba-tiba menjalar dari sajadah, mulai dari dahinya yang menempel di sajadah hingga menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan ini terasa sangat melegakan, menanggapi doa Bara di pulau agar Rina diberikan kekuatan fisik untuk melewati hari itu.
"Ya Allah, kuatkan ragaku," bisik Rina dalam sujudnya.
Kehangatan itu disertai oleh sensasi penciuman yang sangat samar, mengingatkannya pada aroma parfum Bara (yang ia cium sebelumnya) tetapi kali ini lebih kuat, seolah ada yang memeluknya dari kejauhan. Kehangatan itu meredakan denyutan di pelipisnya.
Ia mengangkat kepalanya dari sujud dan menyelesaikan salatnya.
Ketenangan dan Kekuatan Baru
Rina duduk bersimpuh, memejamkan mata. Kehangatan itu hilang secepat datangnya. Pusing yang tadi mengancamnya mereda total. Ia merasa dipenuhi energi baru, seolah ia baru saja tidur nyenyak selama delapan jam, padahal ia baru saja melakukan salat singkat.
Arka, yang tadinya rewel di sofa, kini diam dan tampak tenang, menatap Rina dengan pandangan yang damai. Mala yang sedari tadi diam, kini berjalan ke arah Rina.
"Ibu... tidak pingsan?" tanya Mala, nadanya khawatir.
Rina tersenyum lembut, tangannya mengusap pipi Mala. "Tidak, Sayang. Ibu kuat. Ibu baru saja dipeluk kehangatan yang kuat."
"Siapa yang memeluk Ibu?" tanya Mala polos.
"Ayahmu," jawab Rina, memeluk putrinya erat-erat. Ia tidak tahu apakah itu Bara secara spiritual, ataukah itu karomah dari doanya, tetapi ia merasakan kekuatan Bara melintas padanya.
Rina terdiam, menyadari: ini bukan halusinasi kelelahan, ini adalah konfirmasi spiritual kedua. Divine Echo itu nyata. Suami yang terdampar di pulau terpencil itu, yang berjuang melawan krisis fisik (dehidrasi dan terseret ombak), sedang mengiriminya kekuatan fisik melalui doa-doa musafir.
Aku tidak harus menjual rumah. Aku tidak harus mengambil uang kasihan. Aku memiliki tiang rumah yang tak terlihat. Aku hanya perlu berjuang dan menjaga Mala.
Rina berdiri. Energi baru yang mengalir dalam dirinya membuat ia mampu tersenyum lebar pada kedua anaknya. Ia kini memiliki kekuatan fisik dan spiritual untuk melanjutkan perjuangan.
Ia menoleh ke dapur, melihat tumpukan piring kotor yang menanti untuk dicuci, dan tumpukan tagihan yang menanti untuk diabaikan sementara. Ia kini tahu prioritasnya: menjaga Mala dan Arka, dan memercayai doa suaminya.