Riska memerintahkan orang untuk menghilangkan Laila seorang chef yang dari Jakarta karena dicintai oleh Arya Semana pimpinan perusahaan. Selain itu orang tua Arya Tuan Sultan Semana menolak Laila karena memiliki ibu dengan riwayat sakit jiwa .. Namun muncul Lina kembaran Laila yang menyelamatkan Laila dari Riska
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosida0161, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.10 Dilempar Cincin Tunangan
Arya Semana berdiri bagai patung menatap danau yang ditumbuhi teratai pada sedang berkembang di permukaannya. Dia mengira cincin yang pernah diberikan pada Indriana itu sudah tenggelam di dasar danau, seperti cinta gadis itu yang sudah tergantikan dengan yang lain.
"Aku juga harus melupakannya ..." bisik hati Arya Semana dengan hati yang tak menentu, aku harus bisa move on, harus!
Tak ada yang dilakukan masih saja berdiri mematung dengan pikiran rusuh mengenang pertunangannya yang tak disangka dan tak ada firasat untuk diputus wanita yang semula akan dijadikan ibu dari anak-anaknya kelak.
Tapi semua sudah berakhir.
Musnah.
Cintanya sudah dikoyak dan terkoyak.
Di balik rimbun tumbuhan Laila berjalan kaki menyusuri jalan setapak untuk mencapai tepian danau. Lalu ia membungkuk mengambil setangkai teratai yang sedang mekar. Ibunya sangat suka bunga teratai.
Laila kini berjongkok membelai satu persatu Bunga teratai yang dapat dijangkaunya.
"Maaf aku terpaksa mengambil salah satu dari kalian. Memisahkan dengan saudara dan kerabatmu, ya," perlahan berbicara pada sekumpulan teratai yang tumbuh di atas danau yang airnya jernih.
Tangannya mulai tercelup ke air danau. Dingin dan sejuk. Lalu mengambil satu teratai yang berkembang. Sekalian mengisi wadah dengan air danau.
"Ah teratai hiduplah di kolam kecilku, ya," serunya tersenyum memandang teratai yang sudah berada di dalam wadah pemberian si Pak Tua.
Dengan wajah senang Laila menatap bunga teratai yang nanti akan dipersembahkan pada ibunya. Pasti ibu akan bahagia.
Segera gadis itu berdiri untuk pamit pada pak tua sambil membawa wadah yang telah berisi bunga teratai.
Saat ia berbalik tiba tiba kepalanya ada yang menimpuk dengan benda kecil. Tapi cukup keras, hingga terasa sakit.
"Aoooww ....!" Laila memekik kecil memegang kepalanya kena timpuk barusan. Ih perih sekali, sungutnya memang merasakan kulit kepalanya sangat sakit akibat lemparan barusan.
Menoleh ke sekitarnya tak ada orang yang melintas, tak mungkin ada benda yang melayang sendiri ke kepalanya.
"Huh siapa, sih yang iseng?!" Laila melihat sekali lagi sekelilingnya.
Sepi tak ada siapa pun Hanya dirinya sendiri. Diusapnya kepalanya yang barusan tertimpuk benda. Agak sakit. Laila mengira ada batu atau kerikil yang disambit ke kepalanya.
Tak mungkin tak ada orang yang tak iseng. Tapi siapa?
Hih, jangan-jangan ...?
Laila tampak tercekat saat pikirannya melantur kemana-mana.
Tak mungkin juga karena di sekitar danau aman. Dirinya pun bukan pertama kali datang ke danau ini, biasanya tak ada yang menjahilinya. Baru kali ini merasa ada yang iseng. Seru hatinya untuk menenangkan diri.
Ah mana kerikil tadi itu, ya.
Kedua matanya menunduk mencari kerikil yang sudah membuat kulit kepalanya sakit.
"Apa itu?!"
Gadis itu berjongkok saat di bawah kakinya ada cincin bermata yang berkilau.
"Cincin?!" Laila terkejut saat menemukan cincin emas putih bermata berlian, "Ala ino berlian sungguhan atau hanya batu permata mainan, duh kilaunya sangat bagus, kalau benar berlian pasti mahal harganya, tapi ini cincinnya siapa?!"
Di depan danau di tepi jalan masih berdiri Arya Semana yang baru saja melempar cincin pertunangan yang dikembalikan oleh Indriana ke danau. Dia merasa lega karena telah membuang beban di dalam dadanya.
"Indri lambang cinta kita telah kubuang dan aku juga harus bisa melupakan tentang kita," gumam Arya Semana tanpa suara.
"Kutitip cincin tanda cintaku pada mantanku yang tak berjodoh denganku padamu, Danau, biar dia tertanam abadi di dasarmu ..." Setelah itu Arya Semana masuk ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu.
Hatinya sekarang lega. Ia sudah melepas cintanya pada Indriana yang dua minggu lagi akan menikah dengan lelaki lain.
Sedangkan Laila berlari lari menemui Pak Tua untuk melaporkan penemuannya.
"Ini cincin, Neng," ujar pak tua memperhatikan cincin yang diberikan Laila.
"Ya, Pak ada yang melemparkannya entah darimana mengenai kepala saya " Laila mengaduh seperti anak kecil, "Kayaknya kulit kepala saya lecet kena lempar cincin itu,"
"Sakit?"
"Sakit," angguk Laila.
"Yang sabar ya, Neng semoga nanti rada sakit tergantikan dengan rejeki," ujar pak tua tersenyum.
"Aamiin, Pak,"
Pak tua memperhatikan cincin di tangannya, "Hem ini pertama kalinya ditemukan ada yang melempar perhiasan di sini, nggak mungkin ini jatuh dari langit, kan pasti ada yang melemparkannya atau membuangnya ke danau, tapi tak terhambat olehmu, Neng," ujarnya tertawa kecil.
"Nggak tahu siapa yang melempar kena kepala saya, Pak, ini cincin yang mengenai kepala saya. Tolong Bapak simpan saja barangkali ada yang mencari," ujar Laila tak tertarik untuk menyimpannya biar saja pak tua sebagai penjaga danau ini tang menyimpannya, pikirnya.
Pak Tua Memperhatikan cincin dengan teliti. Walau ia bukan orang kaya, tapi si Pak Tua tahu jika benda berkilau di tangannya adalah berlian, harganya pasti mahal
Ditatapnya Laila. entah mengapa hati kecilnya merasa cincin itu lebih pantas gadis itu yang menyimpannya. Di tangan Laila pasti lebih aman, pikirnya.
"Neng,"
"Ya Pak,"
"Cincin ini menurut firasat Bapak hanya Neng yang pantas menyimpannya,"
Laila terkejut.
Pak Tua berusaha meyakinkan Laila.
"Ya Neng, simpan saja sama si Eneng, kan Eneng yang kena timpuk," ujar pak tua tertawa kecil.
"Nggak, Pak, tadi cincin ini dilemparkan dengan kencang. Saya nggak.mau menyimpannya," ujar Laila memegang kepalanya tepat di sasaran pelemparan tadi. Ia tak berminat untuk menyimpan cincin itu.
Pak Tua tertawa,"Nah itu tandanya Eneng yang berhak menyimpan atau memakainya, kan yang punya sudah tak mau lagi,"
"Tapi, Pak ..." Laila ragu.
"Mungkin cincin ini dibuang pemiliknya, dan berjodoh jadi milik, Eneng," bujuk si pak tua.
"Ada-ada saja, Pak," tersenyum Laila menanggapi gurauan pak tua.
"Kalau ini berlian anggap saja bonus," ujar Pak Tua.
"Bonus?!"
Pak Tua tertawa,"Ya bonus karena berbakti pada orang tua. Kan mengambilkan teratai kesukaan Ibu Eneng, ya, barangkali saja upahnya anak berbakti,"
"Ah si Bapak bisa ajah, nih ..." Laila tertawa "Lagipula orang mana yang akan membuang cincin mahal, Pak,"
Pak tua ikut tertawa, Tak ada tang tak mungkin di dunia ini, Neng," ujarnya.
"Termasuk ada yang membuang cincin ini, alangkah anehnya kalau ini berlian dilemparkan begitu saja ke danau,"
"Ya itu mungkin saja, aneh memang, tapi bisa saja terjadi, kan?"
"Ada-ada saja kejadian hari ini," gumam Laila.
"Percayalah Bismillah saja semoga cincin ini mendatangkan kemuliaan untuk Eneng, mungkin rejeki dari Allah lewat lemparan orang,"
Laila masih ragu.
"Nih Eneng pakai saja, siapa tahu pemiliknya melihat nanti,"
"Oh ya Pak, semoga saya bertemu pemiliknya dan akan saya kembalikan pada yang berhak," pada akhirnya Laila menerima cincin itu dan langsung dipakai di jari tengahnya, karena di jari manisnya agak longgar.
Pak Tua tersenyum melihatnya, "Semoga saja ada berkah lain dengan cincin ini, Neng," harap pak tua tulus pada Laila yang dikenalnya sudah cukup lama.
"Ya sudah biar saya simpan dan akam saya kembalikan bila ada yang mencarinya," akhirnya Laila menyerah.
"Nah kan begitu lebih bagus," ujar pak tua senang karena Laila mau menerima sarannya.
"Terima kasih, Pak,"
"Sama sama, Neng,"
Laila meninggalkan tepi danau dan langsung menuju mobilnya. Dia lupakan masalah cincin tang menurut pak tua kemungkinan berlian. Kini yang ada dalam pikirannya adalah tentang sinar mata dan senyum ibunya jika nanti melihat bunga teratai yamg dibawanya.
Bersambung
*