NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 Jalur Keluar dari Kesunyian

​Aku tidak tahu bagaimana aku berhasil melewati sisa hari itu tanpa terlihat seperti orang gila. Setiap kali ponselku bergetar—sekalipun hanya notifikasi berita—aku langsung melompat, berharap itu adalah Raka.

​Makan malam terasa seperti formalitas yang panjang. Aku makan tanpa merasakan rasa, hanya menyimak gerak-gerik Kak Naira. Aku mendapati diriku secara tidak sadar mempelajari Raka: bagaimana ia memotong daging, bagaimana ia menatap Naira saat istrinya berbicara (dengan tatapan kosong yang sama), dan bagaimana ia dengan cepat menoleh ke arahku saat Naira sibuk.

​Ketika Naira mulai menguap dan mengeluh lelah karena rapat pagi tadi, aku merasakan lonjakan adrenalin.

​Pukul 22:15, Naira sudah masuk kamar. Aku mendengar suara kunci diputar. Tiga jam. Aku harus menunggu setidaknya satu jam lagi agar aman.

​Pukul 23:30. Aku tidak tahan lagi. Kali ini, aku langsung mengirim chat tanpa menanyakan kabarnya lebih dulu.

​Aluna: Mas.

​Hanya butuh tiga puluh detik.

​Raka: Kenapa lama sekali, Lun? Aku sudah menunggumu. Ruang tengah.

​Aku segera bangkit. Kali ini, langkah kakiku terasa lebih ringan, didorong oleh campuran rasa takut dan antisipasi yang memabukkan. Aku bahkan tidak repot-repot mengenakan kaus kaki. Aku hanya ingin sampai di sana.

​Ruang tengah gelap, hanya diterangi lampu baca kecil di samping sofa Raka. Dia sudah menunggu, duduk di sofa tunggal, seperti kemarin. Tapi kali ini, ia tidak memegang buku. Tangannya terlipat di depan dada, dan matanya langsung mengunciku.

​Aku duduk di sofa seberang. Jarak kami terasa sangat lebar, padahal hanya beberapa meter.

​"Ada apa, Mas?" tanyaku, suaraku sedikit tercekat.

​Raka mencondongkan tubuh ke depan, sama seperti kemarin, menghilangkan jarak di antara kami tanpa berpindah tempat.

​"Aku memikirkan apa yang kamu katakan tadi siang."

​"Soal... kebosanan?"

​"Lebih dari itu. Soal orang yang mengerti. Naira tidak pernah mencoba mengerti. Dia melihat masalah sebagai sesuatu yang harus diperbaiki, bukan sesuatu yang harus dirasakan." Raka menghela napas berat, dan kali ini, kejujurannya terasa lebih dalam, lebih menyakitkan.

​"Dulu aku pikir, menikahinya akan membuatku merasa utuh. Tapi ternyata tidak. Aku hanya pindah dari kesunyian sendirian, ke kesunyian berdua."

​Aku tidak berani memotongnya. Aku hanya mendengarkan. Aku tahu perananku sekarang: pendengar yang mengerti.

​"Kamu," katanya, dan dia menyebut namaku dengan penekanan yang membuatku merinding. "Kamu tidak menyuruhku mencari hobi baru. Kamu hanya bilang aku butuh seseorang yang mengerti. Itu yang aku temukan darimu."

​Aku menunduk, tidak sanggup menatapnya. Pujian ini terasa terlalu besar, terlalu mematikan.

​"Mas Raka, aku tidak tahu harus bilang apa. Aku hanya adik Kak Naira."

​"Benar. Dan itu yang membuatnya rumit. Kalau kamu bukan adiknya, mungkin ceritanya akan berbeda." Dia berhenti, lalu mengangkat kepalaku perlahan menggunakan ujung jari telunjuknya. Gerakan itu sangat lembut, sangat mengendalikan.

​"Tapi yang kumaksud, Aluna, adalah ini," lanjutnya, suaranya kini bergetar sedikit. "Aku merasa terjebak dalam kehidupan yang sudah kupilih. Dan kamu adalah... jalur keluar dari kesunyian itu."

​Jalur keluar. Kata-kata itu berputar di kepalaku. Dia tidak bicara tentang cinta. Dia bicara tentang pelarian.

​"Apakah... apakah Mas Raka menyesal menikah dengan Kak Naira?" tanyaku, memberanikan diri.

​Raka menarik napas dalam-dalam. "Menyesal tidak akan mengubah apa-apa. Aku hanya... mencari jeda. Mencari tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri, bukan sekadar suami yang harusnya bahagia."

​Dia tiba-tiba bangkit dari sofa dan berjalan ke jendela besar, menatap ke luar ke dalam kegelapan. Postur tubuhnya yang tegap, dengan kaus hitam yang membungkus otot-ototnya, terasa seperti tekanan yang besar bagiku.

​"Aku tahu ini salah," katanya tanpa menoleh. "Aku tahu ini tidak etis. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaan lega yang kudapat setiap kali aku tahu kamu ada di sini, di rumah ini."

​Aku ikut berdiri, secara refleks. Jarak antara kami kini hanya tinggal beberapa langkah.

​"Kalau Mas Raka tahu ini salah, kenapa Mas Raka terus melakukannya?" tanyaku.

​Raka berbalik cepat, dan kini ia berdiri tepat di depanku. Jarak kami hilang. Aku bisa mencium bau cologne khasnya, kali ini bercampur dengan aroma sabun.

​"Karena aku egois, Aluna," bisiknya, suaranya serak. Matanya menatapku dengan intensitas yang nyaris telanjang. "Aku egois, dan aku capek berpura-pura. Dan kamu... kamu membuatku ingin jadi lebih egois."

​Udara di antara kami terasa menegang, listrik dari sentuhan sore tadi kini terasa mengelilingi kami. Aku memejamkan mata sejenak, takut akan langkah selanjutnya yang mungkin akan dia ambil, tapi pada saat yang sama, aku menginginkannya.

​"Aku ingin kamu tahu," katanya, suaranya kini hanya terdengar seperti angin. "Aku tidak hanya bicara tentang mendengarkan. Aku bicara tentang menemukan kehangatan yang sudah lama hilang, dan aku menemukannya di matamu."

​Dia tidak menyentuhku. Tidak ada sentuhan yang melanggar batas seperti pagi tadi. Tapi kalimatnya, tatapannya, jeda yang ia ciptakan di antara kami, jauh lebih berbahaya daripada sentuhan fisik apa pun. Itu adalah sebuah janji tanpa kata.

​Aku membuka mata, dan menatapnya. Aku tahu, sekaranglah saatnya aku harus lari, berteriak, atau mengakhiri ini. Tapi aku tidak bisa. Aku terlalu lemah.

​"Mas Raka..."

​Tiba-tiba, suara batuk pelan terdengar dari lorong.

​Ceklek.

​Suara pintu kamar Naira terbuka.

​Kami berdua membeku di tempat, dengan jarak nol. Raka menarik napas tajam. Aku menoleh ke arah lorong dengan ketakutan yang mencekik.

​Kak Naira. Berdiri di ambang pintu kamar dengan mata setengah terbuka.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!