NovelToon NovelToon
The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kedamaian Sementara

...BAB 9...

...KEDAMAIAN SEMENTARA...

Arabella berdiri di depan asrama santri baru dengan tangan disilangkan di dada, bibirnya mengerucut. Matanya menyapu barisan anak-anak perempuan yang masih canggung dengan lingkungan pesantren. Beberapa diantara mereka menggigit bibir, yang lain mengintip kesana kemari dengan ragu.

“Jadi...” kata Arabella menarik napas panjang. “Kali ini gue dipercaya harus ngajarin kalian cara hidup di pesantren. Kalian siap?”

Santri-santri baru itu saling berpandangan jelas tak terbiasa dengan cara bicara kasar dan nada perintah dari senior mereka yang satu ini. Seorang gadis berkerudung biru muda mengangkat tangan ragu-ragu.

“Kak... ini benar-benar cara Kakak mengajari kami?” tanyanya dengan suara lirih.

Adara mendecak. “Oh, maaf, Ana harus lebih lembut, ya?”

Dia lalu menghela napas dan mencoba menyesuaikan nada suaranya.

“Baiklah, pertama, kita mulai dari hal yang paling penting di pesantren. Yaitu... Adab. Jangan sampai ada yang lupa salam tiap masuk atau keluar ruangan, apalagi sama Ustad dan Ustadzah.”

Para santri mengangguk-angguk, beberapa mencatat di buku kecil yang mereka bawa. Arabella melanjutkan, kali ini sambil berjalan di antara mereka.

“Lalu... Kalian harus bangun sebelum subuh. Jangan ada yang telat, apalagi sampai nggak mandi pagi. Pesantren ini bukan tempat buat para zombie pemalas.”

Seorang santri terkekeh, tapi langsung menutup mulutnya begitu Arabella menatapnya tajam.

“Dan... kalian harus siap mental. Di sini nggak ada Mama buat manjain kalian. Makan harus dihabiskan, kerja bakti harus rajin, juga jangan cari masalah sama senior terutama sama gue.”

Barisan santri baru mulai gelisah. Arabella bisa melihat beberapa dari mereka menelan ludah, mungkin mengira senior mereka ini adalah monster yang siap menerkam. Merasa suasana mulai terlalu tegang, Arabella akhirnya mendesah dan melembutkan ekspresinya.

“Denger ya, Gue tau ini berat. Dulu Gue juga nggak langsung betah disini...” Bahkan sampai sekarang... batin Arabella.

Dia menyilangkan tangan dan menatap mereka satu persatu. “Tapi kalo lo bisa bertahan beberapa bulan pertama, lo bakal sadar kalo pesantren ini bukan sekedar tempat belajar. Ini adalah rumah kedua buat kalian.”

Hening sejenak, sampai akhirnya seorang gadis berkacamata di belakang mengangkat tangan.

“Kak Arabella, dulu Kakak juga kesulitan waktu pertama kali masuk pesantren?”

Arabella tersenyum miring. “Jangan ditanya. Gue dulu sering banget dihukum gara-gara kebiasaan lama susah diubah. Tapi akhirnya gue belajar, kalo lo mau diterima di tempat baru, lo harus belajar cara hidup di tempat itu. Pesantren punya aturan sendiri. Kalo kalian bisa terima, maka kalian bakalan betah disini.”

Santri-santri baru itu mulai tersenyum, beberapa terlihat lebih santai. Arabella mengangguk puas.

“Ok, udah cukup ceramahnya. Sekarang Gue bakal ngajarin kalian cara beresin kamar biar nggak kena omel Ustadzah. Ayo semuanya ikut gue.”

Hari pertama hukumannya ternyata tidak seburuk yang dia kira. Mungkin, kalau dia tidak terlalu Absurd dan bar-bar, dia bisa jadi senior yang lumayan.

*****

Di balik jendela masjid, Ustad Izzan berdiri dengan tangan bertaut di depan dada, matanya mengamati Arabella yang sedang membimbing santri baru. Ekspresinya tenang, tapi dalam hatinya ada sedikit kelegaan yang tidak dia tunjukkan.

Awalnya, dia ragu apakah hukuman ini akan berdampak baik bagi Arabella. Gadis itu terkenal keras kepala, Absurd, bar-bar dan juga sulit diatur. Tapi melihat bagaimana dia menjelaskan aturan pesantren dengan caranya sendiri— walau sedikit kasar— Ustad Izzan mulai berfikir bahwa mungkin ada potensi tersembunyi dalam diri Arabella.

Di halaman asrama, Arabella sibuk mengajari para santri cara melipat mukena dengan benar. Seorang anak tampak kesulitan, dan bukannya langsung marah, Arabella malah mendekat dan membimbing tangannya perlahan.

“Nah gini caranya. Kalo asal-asalan, tar pas lo butuh, mukenanya malah lecek semua.”

Santri itu mengangguk dengan wajah malu, lalu mencoba lagi. Kali ini, hasilnya lebih rapih. Arabella tersenyum miring.

“Ok, Good. Lanjut yang laen?!”

Dari kejauhan... Ustad Izzan mengangkat alis tipisnya. Hmmm, Menarik... Dia memperhatikan bagaimana Arabella berusaha mengendalikan dirinya. Tidak ada bentakan, tidak ada hukuman aneh-aneh. Hanya Arabella dan caranya yang khas tapi tetap ada kepedulian.

Tiba-tiba, salah satu santri baru tersandung ember air dan hampir jatuh. Refleks Arabella langsung menangkapnya sebelum tubuh mungil itu menghantam tanah.

“Woy, hati-hati! Gue nggak mau ya, ada yang cidera di hari pertama.” Katanya, lalu berdiri tegak. “lain kali, liat jalan ya?!”

Santri itu mengangguk cepat dengan wajah merah padam. Sementara yang lain hanya bisa terpana melihat bagaimana refleks Arabella begitu cepat.

Ustad Izzan menghela napas pelan. Mungkin anak ini memang keras di luar. Tapi hatinya? Tidak sekeras yang dia tunjukkan.

Tanpa suara, dia berbalik meninggalkan tempat pengamatannya. Dia tidak akan memuji Arabella secara langsung gadis itu terlalu mudah besar kepala. Tapi yang jelas, hukuman ini mulai menunjukkan hasil yang dia harapkan.

Arabella, si gadis absurd dan juga bar-bar ternyata bisa juga jadi panutan. Hari ini Arabella tidak ada jadwal ke kampus jadi dia bisa fokus untuk menjalani hukumannya.

*****

Arabella menyeka keringat di lehernya. Hari itu terasa panas dan tugas sebagai ‘Ibu Dadakan Bagi Santri Baru' benar-benar menguras energinya. Dengan langkah santai, dia masuk ke dapur pesantren, membuka kulkas, dan mencari sesuatu yang bisa menyegarkan tenggorokannya.

“Es.. Es... Es... Mana es batu nih.. gue butuh es batu...” gumamnya sambil mengacak-ngacak bagian freeazer. Dan akhirnya, dia pun menemukan sebungkus es batu kecil. Dengan cepat, dia menuangkan air ke dalam gelas, memasukan es batu itu lalu mengaduknya asal.

Begitu gelas itu hampir menyentuh bibirnya, suara seseorang tiba-tiba terdengar dari belakang.

“Capek ya?”

Arabella menoleh dan menemukan Ustad Azzam berdiri di ambang pintu dapur. Laki-laki itu mengenakkan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi mata tajamnya menatap Arabella dengan sesuatu yang sulit diartikan.

Kalau gadis lain mungkin bakal langsung grogi atau jaim, Arabella justru sebaliknya. Dia menyesap esnya dengan santai, lalu mendudukan diri di kursi dengan gaya seenaknya.

“Hah... Banget, baru kali ini gue harus ngomong ke sekumpulan anak kecil yang polosnya kebangetan.” Jawabnya tanpa basa-

Ustad Azzam tersenyum tipis, lalu berjalan ke arah rak dapur. “Bagus kalau kamu mulai terbiasa membimbing orang lain. Itu artinya kamu punya potensi.”

Arabella mendengus. “Potensi apaan dah? Jadi babysitter?”

Azzam terkekeh pelan, mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. “Potensi untuk jadi seseorang yang lebih baik.”

Arabella meliriknya sambil menyeruput esnya lagi. “Ustad bahasanya selalu bener. Kapan sih Ustad Azzam ini pernah ngomong santai kayak orang biasa?”

Azzam menatapnya, senyumnya semakin lebar. “Kalau saya ngomong santai, nanti kamu bakal makin keterusan.”

Arabella mendelik tidak terima. “Maksudnya?”

Azzam hanya mengangkat bahu dan duduk di kursi sebrangnya. “Maksudnya, kamu terlalu terbiasa jadi diri sendiri. Itu memang hal yang baik, tapi kadang kamu nggak sadar kalau ada orang yang memperhatikan setiap gerak gerik kamu.”

Arabella menaikan satu alisnya. “Maksudnya siapa? Ustad Izzan? Tenang aja, gue udah biasa diawasi sama beliau.”

Azzam tersenyum miring, matanya sedikit meredup. “Bukan hanya Ustad Izzan.”

Arabella menatapnya sebentar, lalu malah kembali menikmati esnya dengan cuek. “Oke. Tapi kalo maksud ada perasaan suka sama gue, kasian banget orangnya. Gue ini bukan tipe cewek manis, apalagi kalem.”

Azzam tertawa kecil, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya menyesap air putihnya, menikmati suasana santai yang jarang terjadi di antara mereka. Tanpa sadar, dia semakin menyukai gadis absurd dan bar-bar yang ada didepannya itu. Di balik rak bumbu dapur, Ustad Izzan berdiri dengan ekspresi datar, tapi dalam hatinya? Berbeda jauh.

Awalnya dia hanya mampir ke dapur untuk mengambil teh hangat setelah seharian sibuk mengurus administrasi pesantren. Namun langkahnya terhenti begitu mendengar suara Arabella dan Ustad Azzam. Telinganya menangkap jelas percakapan mereka.

“Bukan hanya Ustad Izzan.”

Kalimat itu membuat alisnya sedikit terangkat. Dan ketika Azzam tidak membantah saat Arabella bercanda tentang ada yang menyukainya, Izzan menghela napas pelan.

Jadi selama ini begitu?

Dia melangkah sedikit kesamping, mengintip kearah dua orang yang kini duduk di meja dapur. Arabella masih sibuk menyuruput esnya dengan santai, sama sekali tidak sadar dengan tatapan berbeda dari ustad Azzam tunjukan padanya. Sementara itu, Azzam terlihat tenang, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Izzan menatap pemandangan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Bukannya dia tidak menyadari kalau Azzam memiliki ketertarikan pada Arabella— dia cukup peka soal itu. Tapi melihatnya secara langsung? Itu tetap hal yang berbeda.

Yang lebih mengganggu lagi adalah bagaimana Arabella tetap menjadi dirinya sendiri. Tidak jaim, tidak berubah sedikit pun hanya karena ada seseorang yang mungkin menyukainya. Dia tetap Arabella yang Absurd dan bar-bar.

Dan... Entah kenapa, hal itu membuat Gus Izzan merasa... geli sekaligus sedikit—sangat sedikit— tidak nyaman.

Dia tidak berniat ikut campur dalam urusan perasaan seseorang, tapi tetap saja, Arabella adalah tanggung jawabnya di pesantren karena Ayahnya sudah menitipkan Arabella padanya. Dan melihatnya menjadi pusat perhatian seseorang seperti Azzam... Hhmmm... 🤔🤔

Izzan akhirnya melangkahkan kaki keluar dari persembunyiannya. Dengan batuk kecil, dia berjalan masuk ke dapur.

Arabella yang sedang menikmati esnya, hampir tersedak. “U- Ustad Izzan? Ngapain di sini?”

Izzan hanya tersenyum tipis, seolah sudah menduga sesuatu.

Izzan menatap keduanya sekilas, lalu mengambil gelas dan menuang teh hangat. “Dapur ini untuk semua orang, kan?” katanya santai.

Arabella menghela napas. “Ooh... Kirain mau ceramah lagi.”

Izzan tidak menjawab, hanya menyesap tehnya sambil menatap Azzam sekilas. Azzam membalas tatapannya dengan senyum penuh arti. Dan tanpa banyak kata, keduanya tau bahwa percakapan diam-diam baru saja dimulai.

*****

Di halaman pesantren, tiga santri senior, Balwa, Balwi dan Devan sedang duduk santai di bawah pohon mangga. Biasanya mereka tidak pernah bisa menikmati waktu tenang seperti ini. Namun, hari ini berbeda.

Tidak ada teriakan. Tidak ada suara gaduh. Tidak ada Arabella yang biasanya bikin onar. Devan yang sedang menggulung lengan bajunya, melirik ke kanan dan ke kiri.

“Bro, lo sadar nggak sih? Hari ini suasana pesantren damai banget.”

Balwi mengangkat wajah dari buku yang sdang dibacanya.

“Iya, gue juga ngerasa gitu. Biasanya pasti ada Arabella yang teriak-teriak, kejar-kejaran sama santri lain atau minimal bikin ribut di dapur.

Balwa yang sejak tadi diam sambil mengupas jeruk, akhirnya bersuara.

“Jangan-jangan dia sakit lagi?”

Tiga pasang mata saling bertukar pandang. Kemungkinan itu cukup menakutkan. Soalnya kalau Arabella sakit, berarti bakal ada efek samping lain. Dia bakal makin cranky yang uring-uringan saat sembuh. Devan berdiri, menepuk celananya.

“Cek dapur dulu, yuk. Kalau dia nggak ada di sana, berarti ada yang nggak beres.”

Ketiganya pun bergegas menuju dapur pesantren. Begitu sampai di pintu, mereka berhenti sejenak, mengintip ke dalam. Pemandangan di dalam benar-benar mengejutkan.

Arabella sedang duduk santai di meja dengan gelas es di tangannya, ngobrol tanpa terlihat marah-marah atau bikin ribut. Dan yang lebih mengejutkan lagi... dia duduk bersama Ustad Azzam dan Ustad Izzan. Tiga sekawan itu langsung mundur perlahan.

“Gila... ini tuh termasuk peristiwa langka bro,” bisik Balwi.

“Arabella duduk tenang... bareng dua Ustad sekaligus? ck... ck... ck...” Devan menggeleng, merasa ada yang salah dengan dunia.

Balwa menyilangkan tangan. “Ada dua kemungkinan. Pertama, dia lagi dijinakkan sama dua orang itu, kedua, dia lagi nyusun rencana lebihi besar buat bikin kekacauan.”

Devan menelan ludah. “Gue lebih takut kemungkinan kedua.”

Balwi mengangguk cepat. “Kita harus siap-siap. Kalau dia berubah jadi terlalu kalem, artinya dia nyimpen sesuatu.”

Mereka berdua lalu mundur perlahan dari dapur, memutuskan untuk tidak mengganggu apa pun yang sedang terjadi di sana. Dan hari itu, pesantren tetap dalam kedamaian yang mencurigakan. Baru beberapa langkah Balwa, Balwi dan Devan beranjak dari dapur, tiba-tiba...

“WOOOOOYYY!!!”

Suara teriakan Arabella menggema, menggetarkan dinding dapur seperti gempa kecil. Dan tanpa sempat bereaksi.

BYUUURRRR!!

Air dingin tiba-tiba menyiram mereka bertiga dari atas kepala. Devan langsung melompat kaget, Balwi megap-megap, dan Balwa hanya bisa berdiri diam dengan ekspresi kosong, air menetes dari rambutnya.

Sementara itu, di ambang pintu dapur, Arabella berdiri dengan ember kosong di tangannya, wajahnya penuh kemenangan.

“HAHAHAHAHAHA... Lo pikir gue bisa kalem selamanya? Salah besar Bro!” katanya sambil tertawa puas.

Devan mengibaskan bajunya yang basah kuyup. “Astagfirullah, BELAAA! Baru aja kita pikir lo udah insyaf!”

Balwi mendongak ke atas, melihat ember lain yang tergantung dengan tali yang mencurigakan. “Wah... jangan-jangan ini perangkap! Wa, minggir!”

PLUK!

Tapi sudah terlambat. Ember kedua jatuh tepat di atas kepala Balwa. Balwa yang masih terdiam sejak tadi, akhirnya menghela napas panjang dan mengangkat ember kosong dari kepalanya. Dia menatap Arabella dengan ekspresi datar.

“Gue nggak kaget.”

Arabella hanya terkekeh. “Pfft, reaksi lo ngebosenin, Wa. Harusnya tuh lo kayak Devan tuh, panik-panik kocak.”

Devan menunjuk ke arahnya dengan kesal. “Kita baru aja bilang pesantren ini aneh karena lo nggak bikin ribut ya! Ternyata lo Cuma nyimpen energi buat ngerjain kita ya?!”

Dari dalam dapur, Ustad Izzan dan Ustad Azzam hanya bisa menghela napas bersamaan.

Izzan memijat pelipisnya. “Sshhhhtt... Saya pikir dia mulai berubah.”

Azzam menyilangkan tangan, masih tersenyum tipis. “Yah... sepertinya memang berubah. Cuma, tidak sepenuhnya.”

Arabella mendengar itu langsung menyeringai kearah mereka. “Hehe... Ustad, kalo saya beneran berubah total, tar pesantren jadi ngebosenin. Percaya deh!”

Izzan hanya bisa geleng-geleng, sementara Azzam menahan tawa di balik cangkirnya. Balwa, Balwi dan Devan saling pandang sebelum akhirnya berseru bersamaan.

“KITA BALAAAASS!!!”

Dan seketika, kedamaian pesantren kembali rusuh.

1
Tara
jodohmu kaga jauh ...smoga cepat bucin ya...🤭🫣🥰😱🤗👏👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!