NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terlalu Takut Membuka Semua

Rizal duduk di hadapannya, memegang kapas dan antiseptik, pelan-pelan membersihkan luka di lututnya. Tak ada kata, hanya bunyi napas mereka yang terdengar bergantian, seperti mengisi kekosongan di antara mereka. Tangan Rizal terasa hangat saat menyentuh kulitnya, tapi lebih dari itu, sikap tenangnya, kesabarannya, dan sorot matanya yang selalu bisa menenangkan, membuat Yuna tak bisa berpaling.

"Aku tahu ini sulit buat kamu." Suara Rizal akhirnya memecah keheningan.

Bahasanya pun berubah aku-kamu.

"Tapi kamu harus datang ke pertemuan keluarga itu."

"Saya... saya nggak siap. Saya takut. Saya bahkan belum siap menghadapi kemarahan papi bahwa saya menolak perjodohan ini.”

Rizal menyimpan kembali kotak P3K, lalu duduk di lantai, berhadapan dengannya.

“Kalau kamu takut karena kamu belum siap menikah, aku bisa tunggu. Tapi jangan kabur dari kesempatan untuk memperjelas semuanya.”

“Kenapa bapak mau seperti ini, padahal pak Rizal bisa mendapatkan perempuan yang lebih dari saya.” Yuna menggigit bibir bawahnya.

Rizal menatapnya dalam.

“Karena aku nggak mau memilih menikah karena perjodohan. Aku mau kamu memilih aku... karena kamu memang mau.”

Tatapan mereka bertemu. Yuna menunduk cepat, tapi Rizal tetap menatapnya. Posisi mereka sangat dekat, hanya dipisahkan jarak satu lengan. Saat Yuna mengangkat wajahnya kembali, tanpa sengaja pandangan mereka bertemu dalam diam. Waktu seolah berhenti. Jantung mereka berdebar keras, hampir bersamaan.

Rizal mendekat sedikit, tapi tak cukup untuk menakut-nakuti Yuna. Hanya cukup untuk membuatnya sadar bahwa laki-laki ini... memang sungguh-sungguh. Nafas mereka nyaris bersentuhan saat Yuna berbisik.

“Kalau kamu mau datang... aku bisa menemanimu pergi ke sana?”

Yuna mengangguk pelan, mata mereka masih bertautan. Suasana yang sunyi itu justru memekakkan batin, karena diam-diam, tanpa mereka sadari, perasaan itu sudah tumbuh... lebih dalam daripada yang mereka perkirakan sebelumnya.

*****

Restoran keluarga itu hangat dengan cahaya lampu kuning temaram. Aroma masakan memenuhi udara, tapi bagi Yuna, semua itu seperti tak terasa. Langkahnya pelan namun pasti saat memasuki ruangan bersama Rizal.

Semua kepala di meja panjang itu menoleh. Indra Lesamana duduk di ujung meja, di sampingnya ada istrinya yang anggun. Bram Danantara dan istrinya juga sudah hadir, berbicara ringan sebelum tatapan mereka tertuju pada kedatangan Yuna dan Rizal.

Nadine yang sedari tadi memandang jam di pergelangan tangan langsung menegakkan tubuhnya. Sania, mamanya, bahkan sempat menyipitkan mata. Dalam bayangan mereka, calon suami Yuna adalah pria yang sudah berumur untuk menikah, mungkin sedikit tua dan tentu saja, bukan sosok setinggi, setegap, dan setampan lelaki yang kini berjalan masuk bersama Yuna.

Rizal mengenakan setelan hitam yang membuat sorot matanya semakin tajam. Wajahnya tenang, seakan ia menguasai seluruh situasi. Tangannya sempat menyentuh punggung Yuna, memberi dukungan diam-diam.

Langkah mereka terhenti di tepi meja. Bram tersenyum lebar.

“Akhirnya kamu sampai. Kenalkan… ini putra saya, Syamsul Rizal Danantara.”

Jantung Yuna berdegup kencang. Ia memandang ke arah Bram, lalu ke Rizal yang berdiri di sebelahnya. Seketika semua potongan kejadian, dari pertemuan di kantor, tatapan di sofa, hingga janji Rizal untuk menemaninya, berputar di kepalanya.

Sania terdiam, Nadine bahkan menelan ludah. Bayangan mereka runtuh begitu saja. Calon menantu yang mereka kira tak menarik… ternyata pria yang bisa membuat semua perempuan di ruangan itu menoleh dua kali.

Rizal menoleh ke Yuna, bibirnya menyunggingkan senyum samar. Bisikannya hanya terdengar oleh Yuna.

“Sekarang kamu tahu… kenapa aku nggak mau kamu lari dari ini.”

Yuna terpaku di tempat. Kata-kata Bram tadi seperti menampar kesadarannya.

Putra…? Putra Bram Danantara?

Matanya membesar, beralih menatap Rizal yang kini menatapnya balik tanpa sedikit pun ragu.

“Pak Rizal…?” Suaranya nyaris berbisik, tapi cukup terdengar oleh Rizal.

“Ya. Aku.”

Pria itu hanya mengangguk pelan.

Dunia Yuna terasa berputar. Semua alasan kenapa ia menolak perjodohan dulu, ketakutan, prasangka dan anggapan bahwa pria itu pasti orang asing yang tak ia kenal, berantakan seketika. Yang ada di hadapannya sekarang adalah Rizal, pria yang beberapa jam lalu membersihkan lukanya dengan penuh kesabaran, pria yang menatapnya dengan cara yang membuatnya sulit bernapas.

Sementara itu, Nadine dan Sania masih bertukar pandang, mencoba mencerna situasi.

“Tunggu… jadi calon suami Yuna itu… dia?” Nadine berbisik pada mamanya.

“Dia anaknya Pak Bram...” Jawab Sania lirih, masih setengah tak percaya.

Suasana meja seketika berubah. Semua mata memandangi mereka, menunggu reaksi. Rizal menarik kursi untuk Yuna.

“Duduklah.” ucapnya lembut namun tegas.

Yuna duduk, meski hatinya masih bergemuruh. Kakinya bergetar di bawah meja, tapi ada tangan Rizal yang terulur di bawah permukaan, menyentuh punggung tangannya sekilas. Sentuhan singkat itu seperti berkata.

Aku di sini. Aku nggak akan biarkan kamu sendirian.

Bram mulai membuka percakapan dengan hangat, tapi Yuna nyaris tak mendengarnya. Ia masih sibuk memproses fakta bahwa laki-laki yang selama ini mengajaknya bicara, menenangkannya, bahkan membuat jantungnya berdebar… adalah laki-laki yang sejak awal telah dipilihkan untuknya.

Namun, di antara keterkejutan itu, ada perasaan lain yang diam-diam menyelinap, sebuah rasa lega.

Karena ternyata… jodohnya bukan orang asing.

Jodohnya… adalah dia.

Rizal meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. Senyum itu cukup untuk membuat Yuna tahu, pria ini memang berniat memperjuangkannya, entah dengan atau tanpa restu perjodohan.

Malam sudah larut ketika pertemuan keluarga itu usai. Restoran mulai sepi, hanya beberapa pelayan yang membereskan meja. Udara luar dingin menusuk, membuat napas Yuna terlihat seperti uap tipis.

Rizal berjalan di sebelahnya menuju parkiran. Langkah mereka pelan, seakan keduanya ingin memperpanjang waktu bersama. Yuna memeluk lengannya sendiri, mencoba menenangkan debaran di dada yang sejak tadi tak mau reda.

Di depan mobilnya, Rizal berhenti.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.

“Nggak apa-apa.” Yuna mengangguk, meski suaranya terdengar samar.

Tapi sebenarnya, hatinya berisik sekali. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tentang bagaimana ia sebenarnya sudah mengenal Rizal sejak dulu, meski hanya dari jauh. Tentang bagaimana perasaan itu diam-diam tumbuh sebelum perjodohan ini muncul. Tentang ketakutannya jika Rizal hanya melihatnya sebagai kewajiban keluarga.

Namun bibirnya tak bergerak. Ia terlalu takut membuka semua itu.

Rizal berdiri di sisinya, tatapannya penuh perhatian.

“Aku tahu ini mendadak buat kamu. Tapi satu hal yang kamu perlu tahu… aku nggak akan biarkan orang lain yang menentukan hidupmu. Kalau kamu mau jalan bareng aku, itu karena kamu yang mau. Bukan karena siapa pun.”

Yuna menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai basah.

“Saya ngerti…” Suaranya nyaris tenggelam oleh angin malam.

Rizal membuka pintu mobil untuknya, menunggu sampai Yuna duduk. Saat ia menutup pintu, Yuna mencuri pandang ke arahnya, dan di sanalah, di sela cahaya lampu parkiran yang temaram, ia sadar bahwa menyembunyikan perasaan ini tidak akan mudah.

Karena setiap kali bersama Rizal,  rasanya ia hanya ingin jujur.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!