NovelToon NovelToon
AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8

16 Agustus 2014

Ponsel Ferdi, tipe Nokia lama, tidak memiliki aplikasi WhatsApp. Ah, tidak penting itu.

Ponselnya berdering.

Suaranya:

"Tit... tit...."

"Siapa, Pak?" tanya Rosidah.

Ferdi masih diam, sedangkan ponsel terus berdering. Sekarang bunyinya berubah menjadi:

"Tulalit... tulalit...."

"Pak... sampai kapan ponsel kamu tidak diganti?" tanya Rosidah kesal.

"Diamlah, Bapak lagi berpikir," ucap Ferdi kesal. Dahinya mengerut, jarinya terus mengetuk-ngetuk seperti sedang memikirkan hal yang berat.

"Ayahhhhhhhhh!" Jeritan Melati dari dalam kamar terus bergema.

Mata Ferdi melotot.

“Bapak, kalau nggak mau angkat, di-silent dong HP-nya! Ibu pusing dengar bunyi HP Bapak—udah delapan tahun nggak ganti-ganti. Belum lagi suara Melati. Apa nggak putus itu tenggorokan Melati, teriak terus!” ucap Rosidah kesal.

“Diamlah, Bu... Pak Darmo nelpon terus,” ucap Ferdi dengan nada kesal sekaligus bingung.

“Siapa dia, Pak? Bukan rentenir, kan?”

“Bukan.”

“Terus siapa? Dan mau apa?” Rosidah makin kesal.

“Ini... yang mau bel—mau adopsi Melati,” jawab Ferdi pelan.

“Diammmmmmm!” teriak Rosidah kesal, dengan suara tangisan Melati yang tak kunjung berhenti.

“Seratus juta, Pak,” ucap Rosidah, mengingatkan jumlah uang yang akan diterima.

Ferdi menganggukkan kepala.

“Angkatlah... peluang jangan disia-siakan.”

Ferdi menatap Rosidah. Seperti menunggu kepastian.

Rosidah menganggukkan kepala, tanda setuju.

“Ya, Pak,” ucap Ferdi sambil mengangkat telepon.

“Malam ini aku akan ambil cucumu,” ujar Darmo dari seberang.

“Kenapa cepat sekali?”

“Besok pagi kami mau ke Malaysia. Melati harus ikut denganku.”

“Kenapa ke luar negeri? Bapak mau adopsi... atau mau dijual?”

 “Astaga, kamu bertele-tele! Aku banyak urusan. Kalau kamu mau, aku datang sekarang ke rumahmu. Kalau tidak, aku akan cari anak lain,” ucap Darmo kesal.

Rosidah langsung merebut ponsel dari tangan Ferdi.

“Jadi, Pak... anaknya ada di sini,” ucap Rosidah dengan penuh semangat.

“Oke. Kalau jadi, aku ke sana sekarang,” ujar Darmo, lalu sambungan telepon terputus.

Uang seratus juta sudah berputar-putar di kepala Rosidah: beli emas, beli bedak mahal, beli ponsel yang ada kameranya. Ia malu terus diejek ibu-ibu pengajian karena ponselnya masih model lama.

Delapan tahun lalu, mereka hidup berkecukupan. Namun setelah Ferdi di-PHK, semuanya berubah. Ferdi kecanduan judi togel, sementara anak sulung mereka menjadi ASN dengan menyogok, menghabiskan puluhan juta rupiah. Kehidupan mereka pun terpuruk. Meski begitu, mereka masih ingin terlihat mewah. Ke mana-mana harus naik mobil, bahkan rela menyewa mobil hanya demi menjaga gengsi dan citra seolah masih kaya.

Ferdi menatap Rosidah dengan pandangan meminta persetujuan.

“Kamu yakin?” tanya Ferdi ragu.

“Sudahlah... seratus juta, Pak,” ucap Rosidah, meyakinkan Ferdi.

Ferdi menganggukkan kepala pelan.

“Kamu bereskan semua pakaian Melati,” perintahnya tegas.

Tatapan Ferdi kosong, mengarah ke pintu. Seolah ada sesuatu yang jauh lebih berat dari keputusan yang baru saja diambil.

Agustus pagi terasa terik, panasnya membakar bumi dan membuat napas terasa berat. Namun menjelang sore, langit mulai gelap. Hujan deras turun tanpa jeda, disertai angin kencang yang menerpa pepohonan. Hari yang dimulai dengan panas menyengat berakhir dengan badai mengguncang malam.

Ferdi terus memandang pintu, entah apa yang dipikirkannya.

Apakah Ferdi merasa bersalah karena akan menyerahkan cucunya, ataukah ia sedang merencanakan kehidupan baru yang diimpikannya dengan uang seratus juta rupiah?

Yang jelas, lima puluh juta dari uang itu harus diberikan kepada Arsyad.

Rosidah masuk ke kamar Melati.

“Prang!”

Sebuah gelas dilempar Melati, nyaris mengenai kepala Rosidah.

Wajah Rosidah memerah. Ia menghampiri Melati dan langsung menjewernya.

“Ayahhhhh!” teriak Melati sambil menangis kesakitan.

“Diam!” bentak Rosidah, matanya melotot.

“Kamu harus nurut! Kalau tidak nurut, ayahmu akan meninggal!” ucapnya dengan nada menakut-nakuti.

“Ayahmu akan dikubur di pemakaman!” lanjut Rosidah menakut-nakuti melati dan itu adalah titik terlemah melati, yaitu ayahnya

Melati terdiam. Ia teringat seorang ibu-ibu yang dulu dekat dengannya, yang dikubur... dan sejak itu, ia tak pernah bertemu lagi dengannya.

 “Jangan kubur Ayah...” tangis Melati pecah.

“Makanya diam dan nurut,” bisik Rosidah dengan suara menyeramkan.

“Ganti baju kamu,” perintah Rosidah.

Melati berjalan pelan menuju tasnya, lalu mengambil baju dan memakainya sendiri.

Pantas saja Darmo mau mengadopsi anak ini, pikir Rosidah dalam hati. Pintar. Tapi sayang, dia hasil hubungan haram.

Rosidah memasukkan semua baju Melati ke dalam koper.

“Aku mau ketemu Ayah, ya,” ucap Melati lirih.

“Iya,” jawab Rosidah singkat.

Melati tersenyum.

Manis sekali anak ini, gumam Rosidah dalam hati.

Melati keluar dari kamar dengan mengenakan baju terbaiknya.

Meski matanya masih sembap, wajah Melati tetap terlihat cantik.

Ferdi tertegun melihat Melati. Ada rasa sakit menusuk dadanya, tapi keselamatannya sendiri lebih penting. Lagipula, Laras pun tidak mau mengurus anaknya, jadi untuk apa ia repot-repot memikirkan Melati? Sekarang, uang seratus juta ada di depan mata. Untuk apa disia-siakan? Anggap saja ini rezeki dari langit—begitu pikirnya, mencoba menenangkan hati yang diam-diam diliputi rasa bersalah.

“Duduk di sana,” ucap Rosidah sambil menatap tajam ke arah Melati.

Melati ingin menangis, tetapi ia menahan diri. Ia tidak mau Ayahnya dikubur dan tak pernah kembali menemuinya lagi.

Tak lama kemudian, terdengar deru suara mobil.

Sebuah mobil Pajero berhenti dan parkir di depan rumah Ferdi.

Seorang pria berbadan gendut turun dari mobil. Ia lebih layak disebut bandit daripada orang baik hati yang hendak mengadopsi anak.

Darmo menatap Melati dengan senyum ceria, tapi senyuman itu justru tampak mengerikan—bukan lucu sama sekali.

“Hai, Cantik,” ucapnya.

Melati diam. Suara Darmo terdengar lebih seperti suara monster, bukan seperti calon orang tua asuh.

“Bagaimana? Uangnya sudah ada belum?” tanya Rosidah.

“Uang?” Darmo balik bertanya.

“Iya, uangnya mana?” Rosidah mulai kesal.

Darmo malah menoleh ke arah Ferdi.

“Uangnya sudah ada di rekening,” ucap Ferdi gugup.

“Kamu nggak bohong?” tanya Rosidah curiga.

“Ini bukti transfernya,” kata Darmo sambil menyerahkan selembar kertas bukti transfer.

“Uangnya sudah ada, Bu,” tegas Ferdi.

“Pantas saja dari tadi diam,” ucap Rosidah kesal.

“Oke, aku ambil Melati, ya,” ujar Darmo.

Ia berdiri dan mendekati Melati.

“Halo, Sayang. Ayo kita jalan-jalan naik mobil,” ucap Darmo ramah.

“Enggak!” teriak Melati. “Aku mau Ayah!” jeritnya histeris.

“Aku sekarang ayahmu, Sayang,” ucap Ferdi. Suaranya dibuat selembut mungkin, tapi entah kenapa terdengar semakin mengerikan.

“Aku nggak mau... aku mau Ayah!” teriak Melati keras.

Darmo berdiri dan mendekati Melati, lalu mencoba memaksanya untuk digendong.

Namun saat ia sudah cukup dekat—

“Plakk!”

Sebuah asbak kayu menghantam kepala Darmo.

Meski hanya lemparan anak kecil, tetap saja terasa sakit jika mengenai pelipis.

“Aarghhh!” geram Darmo. Kepalanya langsung benjol.

“Dasar anak nakal!” makinya sambil berusaha menghampiri Melati lagi.

Namun Melati melompat, dan Darmo justru menabrak kursi.

“Kalian bantu aku tangkap anak ini!” ucap Darmo kesal.

Kini, tiga orang dewasa mengepung seorang anak kecil yang bahkan belum genap berusia empat tahun.

“Ayahhhhhh!” teriak Melati ketakutan.

“Melatiiii!” suara seseorang terdengar dari ambang pintu.

Semua orang menoleh ke arah sumber suara.

Riko dan Yusuf berdiri di sana—di ambang pintu.

“Ayahhhh!” suara Melati melengking. Ia hendak berlari menuju Riko.

Namun Darmo lebih cepat. Ia menangkapnya.

“Lepaskan!” teriak Riko lantang.

1
Tismar Khadijah
Banyak riko2 dan melati2 lain di dunia nyata, ttp berjuang dan berharap
Inyos Sape Sengga
Luar biasa
Sri Lestari
thor....aku salut akan crita2mu...n othor hebat ngegrab kog bs sambil nulis....mntabbb/Good/
adelina rossa
astagfirullah laras...belum aja kamu tau aslinya doni ...kalau tau pasti nyesel sampe.nangis darah pun rahim kamu ga bakalan ada lagi...lanjut kak
SOPYAN KAMALGrab
tolong dibantu likekom
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
menunggu karma utk laras
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dari sini harusnya tau donk, kalo gada melati, gakan ada riko
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
teruslah maklumi dan dukung anakmu yg salah.. sampaii kau pun akan tak dia pedulikan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
salahin anakmu yg bikiinyaa buuukkk
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
ayah
Su Narti
lanjutkan 👍👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪
mahira
makasih kk bab banyak banget
Nandi Ni
Bersyukur bukan dari darah para pecundang yg menyelamatkan melati
SOPYAN KAMALGrab
jangan fokuskan energimu pada kecemasan fokus pada keyakinan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
alhamdulillah
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apa? mau duit ya?
mahira
lanjut
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apalagi ini..? mau dijual juga laras?
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dirumah doni thoorrrr
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
untung mood anak cewek gampang berubah 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!