Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah hampir tiga puluh menit perjalanan mereka akhirnya sampai di mall. Namun saat hendak turun ternyata Raven tertidur pulas. Mungkin kecapean sehabis pulang sekolah belum sempat istirahat.
Julian menatap Aruna. "Kau menyayangi anak itu?" tanyanya.
Aruna menoleh menatap pria itu. "Ya, dia dia separuh nyawaku," jawabnya seraya tersenyum.
Julian memalingkan wajahnya, ia tampak kesal karena Aruna lebih mencintai anak itu. "Kau mencintai ayahnya?"
Aruna menatap tajam ke arah Julian. "Tentu, dia satu-satunya pria di dunia ini yang paling aku cintai," jawabnya dengan yakin.
"Jadi itu alasanmu meninggalkanku?" tanya Julian dengan nada sedikit bergetar.
Aruna membelalakkan matanya, "Kenapa pertanyaanmu seperti itu?" ia balik bertanya.
Dengan cepat pria itu menarik tubuh Aruna agar lebih dekat dengannya. Ia tak mampu menjawab pertanyaan itu, lalu perlahan ia mencium bibir wanita itu. Mereka saling menatap sejenak. Entah kenapa tubuh mereka tidak bisa menolak kenyataan kalau mereka saling mencintai.
Julian melanjutkan aksinya, mencium bibir Aruna, lalu melumatnya. Aruna mengimbangi pergerakan pria itu. Ia melupakan kebenciannya, dan pria itu melupakan segalanya. Mereka berdua seperti sepasang kekasih yang lama tidak berjumpa, saling menuangkan kerinduan mereka masing-masing.
Tak tinggal diam, tangan Julian aktif meraba setiap inci tubuh proporsional Aruna. Nafas mereka saling menggebu beradu dalam kenikmatan. Pria itu meninggalkan bekas merah di leher Aruna. apakah di hati mereka menyimpan sebuah rasa yang selama ini di tutupi hanya karena ego mereka?
Tidak sengaja Julian menekan tombol klakson, yang membuat mereka segera tersadar dan juga membangunkan Raven. Anak itu sangat terkejut.
"Mama ada apa?" tanya Raven bingung.
Aruna dan Julian bergerak salah tingkah. Beruntung Raven teralihkan dengan pemandangan di luar. "Hore kita sudah sampai," ucapnya bersemangat.
Aruna menghela nafas panjang. Tiba-tiba suasana menjadi canggung. "Raven Ayo turun," ucapnya, lalu membuka pintu mobil, begitu juga dengan Julian.
Raven bersemangat turun dari mobil, berlari hendak masuk ke dalam mall. Namun, ia tersandung kakinya sendiri dan jatuh. Julian berlari mendekati anak itu.
"Jangan terburu-buru, Ayo naik ke atas punggungku." Julian berjongkok di depan Raven berniat untuk menggendong anak itu.
Raven tersenyum lebar, "Asyik, terima kasih paman, kau memang orang baik." ia berdiri, lalu naik ke punggung Julian.
Dengan langkah penuh kebahagiaan mereka masuk ke dalam mall seperti keluarga utuh, dimana ada ayah, ibu dan juga anak. Aruna terharu menatap mereka dari belakang. Ia mengusap air matanya yang hampir jatuh. Momen seperti ini sudah di nantikannya cukup lama. Namun, rasanya tidak mungkin bagi mereka bisa bersatu.
Canda dan tawa tidak lepas dari ayah dan anak itu. Mereka begitu akrab, Aruna sedikit merasa bersalah telah memisahkan mereka begitu lama. Sayangnya ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengakui semuanya.
Mereka sampai di kedai ice cream, Raven mengincar rasa kesukaannya. Namun, Aruna tidak pernah membelikannya dengan alasan harganya terlalu mahal untuk sebuah ice cream. Akhirnya hari ini ia punya kesempatan untuk mencicipi itu.
"Pilih sesukamu," ucap Julian, lalu mencubit pelan hidung mungil Raven.
"Hore, aku mau yang ini," ucap Raven sumringah.
Julian memesan tiga ice cream untuk mereka nikmati. Mereka duduk di sebelah belakang, di dekat jendela kaca yang sangat besar sehingga pemandangan di luar bisa di nikmati dari sana.
seorang pelayang mengantar pesanan mereka. "Silakan pesanannya. Anak ganteng, mirip sekali dengan ayahnya," ucapnya salah fokus dengan kemiripan Raven dan Julian.
"Terima kasih," ucap Aruna, ia terlihat cemas bagai mana kalau semakin banyak orang yang bilang mereka mirip, ia tidak mau membuat Julian curiga.
Raven menyuapkan ice cream ke mulutnya, tidak bisa di pungkiri rasanya sangat enak. Ia begitu menikmatinya sampai berantakan di area bibirnya.
Julian melirik ke arah Aruna, ia melihat kecemasan di wajahnya. Dengan sengaja ia menggenggam tangan Aruna, lalu mengelusnya dengan lembut. Namun, ia tidak menatap wanita itu.
Sejujurnya Aruna merasa. Tidak nyaman diperlakukan seperti itu. Ingin marah tapi di sana banyak orang. Ia melepaskan tangannya, lalu menggeser kursinya agar lebih jauh dari pria itu.
Tak hilang akal pria itu justru semakin memepetnya lalu merangkul perut wanita itu dengan erat. "Coba maka ice cream seperti tadi, biar aku bisa menikmati pemandangan indah," ucapnya berbisik.
Aruna menoleh dengan cepat, wajahnya memerah menahan amarah. "Kau bisa minggir atau tidak!" desisnya.
Julian terkekeh, ia justru melancarkan aksinya dengan meraba perut, lalu turun ke paha Aruna. membuat wanita itu bergerak tidak nyaman.
"Sial!" ucap Aruna di dalam hati.
"Paman, ice cream ini rasanya enak kenapa punya kalian tidak di makan?" tanya Raven dengan polos.
Julian menoleh ke arah anak itu, "Oh, ya, kalau begitu kita lomba menghabiskan," ucapnya
Anak itu tertawa riang, dan mulai menyuapkan ice cream ke mulutnya dengan cepat. Sementara Aruna merasa lega pria itu tidaka mengganggunya lagi.
Setelah puas makan ice cream mereka memutuskan untuk pulang. Selama perjalanan mereka jarang bicara, hanya Raven sedikit cerewet banyak tanya. Namun, Julian tidak terganggu dengan itu. Padahal biasanya ia sangat membenci anak-anak, bahkan sepupunya pernah di usir gara-gara mengganggu ketenangannya.
"Paman, apakah kita akan sering bertemu?" tanya Raven penuh harap.
Julian tersenyum, "Maaf, Paman banyak pekerjaan. Tapi kau boleh simpan nomor telponku," ujarnya.
"Wah, terima kasih," ucap anak laki-laki itu dengan riang.
Entah kenapa Aruna semakin merasa bersalah. Namun, di hatinya ada sedikit rasa menyesal, sudah mengizinkan mereka akrab. Apakah sebaiknya mereka memang tidak bertemu? Semua itu tergantung keputusan wanita itu.
Pikiran Aruna menjadi kacau, kepalanya sedikit pusing. Ia memijit keningnya, lalu menyandarkan kepalanya ke belakang. Sementara Julian dan Raven mereka masih asyik bercanda.
Raven duduk di bangku depan setir bersama Julian. "Paman, kalau aku sudah dewasa, aku ingin seperti paman, menjadi orang sukses, lalu beli mobil seperti ini," ujarnya.
Julian mengerutkan kening, "Cita-cita yang bagus, Apa alasanmu ingin menjadi orang sukses?" tanyanya.
"Soalnya Mama sudah menderita cukup lama, aku ingin membuat mama bahagia, dan mengantar mama ke mana-mana menggunakan mobil yang nyaman," jawab anak itu.
Seketika Hati Julian terasa hancur mendengar kata-kata itu keluar dari mulut anak sekecil Raven. Berarti selama ini kehidupan Aruna tidak baik-baik saja. Tanpa sadar air matanya mengalir di pipinya.
"Kalau kau sudah dewasa datanglah kepadaku, nanti aku kasih kau jabatan yang paling tinggi di kantor," ucapnya tanpa pikir panjang.
Aruna berdehem, "Dari tadi kalian mengobrol sangat asyik, kita hampir sampai," ucapnya seraya menunjuk jalan persimpangan menuju rumahnya.
Julian hanya tersenyum masam, lalu berbelok ke rumah Aruna. Ia memarkirkan mobilnya di pelataran rumah itu, kemudian turun. "Sampai jumpa lagi Raven," ucapnya seraya melambaikan tangan.
Raven membalas melambaikan tangan ke arah Julian. Namun, Aruna berbalik dan mendekati pria itu. "Sebaiknya kau tidak bertemu kami lagi. Terima kasih untuk hari ini."
Terima kasih.