Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Chesna kembali ke ruang pesta dengan masih menahan gejolak di dadanya. Musik yang riuh, tawa tamu undangan, dan cahaya lampu gantung berkilauan terasa begitu asing baginya. Ia hanya ingin cepat bertemu Shenia untuk pamit pulang.
Namun pikirannya masih penuh dengan suara ibunya Shenia. Kata-kata itu berputar tanpa henti, membuat telinganya berdenging.
Anak liar… tidak punya ayah…
Langkahnya kehilangan fokus. Tepat saat seorang pelayan melintas dengan nampan penuh gelas berisi minuman, tubuh Chesna tanpa sengaja menabrak bahu pelayan itu. “Ah!”
Suara benturan gelas kaca pun terdengar nyaring, pecah berhamburan di lantai marmer, minuman tumpah membasahi gaun pesta tamu yang berdiri di dekatnya. Seketika, musik dan tawa seperti meredup. Semua kepala menoleh ke arah sumber kekacauan.
Chesna berdiri kaku, wajahnya pucat. Tangannya gemetar, Ruangan hening beberapa detik sebelum suara bisik-bisik mulai terdengar.
“Itu siapa?”
“Gaunnya kelihatan murahan…”
“Dia yang dibawa Shenia, kan? Oh Tuhan…”
Chesna menunduk, matanya panas. Pelayan yang ditabraknya buru-buru meminta maaf kepada para tamu, meskipun jelas bukan sepenuhnya salahnya.
Di tengah suasana itu, Shenia langsung berlari menghampiri. “Chesna! Kamu nggak apa-apa?” Ia memegang lengan sahabatnya, menatapnya dengan cemas.
“Aku… aku nggak sengaja…” suara Chesna parau, nyaris bergetar.
Tamu-tamu lain masih memperhatikannya, beberapa dengan tatapan kasihan, beberapa lagi dengan pandangan merendahkan. Dan dari sudut ruangan, Alan yang baru saja berbincang dengan Lila, sempat melirik ke arah keributan itu. Ia segera mendekat.
Chesna masih terpaku di tengah genangan minuman dan pecahan kaca. Suara bisik-bisik terus berdengung, menusuk perasaannya. Ia ingin sekali berlari keluar ruangan, tapi kakinya seakan menancap di lantai. Ia lalu berjongkok membantu pelayan membersihkan serpihan.
Sementara itu, orang tua Shenia berdiri agak jauh. Sang ibu menyipitkan mata, jelas tidak suka, lalu mendekati suaminya. “Lihat? Aku sudah bilang. Anak itu membawa masalah,” ucapnya dingin. Tapi sang ayah, pria berwibawa dengan senyum tipis, hanya mengangkat tangan. “Sudahlah. Ini hanya kecelakaan kecil. Jangan mempermalukan putri kita sendiri di depan tamunya.” Meski kata-katanya tenang, nada suaranya tegas membuat istrinya terdiam.
Chesna masih berjongkok, tangannya bergetar saat memunguti serpihan kaca satu per satu. Gaunnya basah kuyup, akibat tumpahan minuman. Wajahnya tertunduk, menahan rasa malu sekaligus sedih.
Tiba-tiba, suara kain berdesir terdengar. Jas biru hangat jatuh tepat di bahunya. Chesna terangkat kaget, mendongak. Gideon berdiri di depannya, ekspresi serius namun matanya penuh perhatian. “Kamu bisa masuk angin kalau dibiarkan begitu,” ucapnya singkat.
Tanpa banyak pikir, Gideon menepuk-nepuk jas itu agar menutupi tubuh Chesna lebih baik, seolah melindunginya dari ratusan pasang mata yang masih memperhatikan. Gerakannya begitu spontan, bahkan pelayan di dekat mereka ikut terdiam.
Di saat yang sama, Alan ikut menunduk, menyodorkan tangannya. “Ayo, bangun. Nanti kamu terluka kalau terus di situ.” Suaranya bergetar, jelas menunjukkan rasa cemas.
Namun, Gideon juga sudah lebih dulu mengulurkan tangannya. Dua tangan terbuka di hadapan Chesna. Jantungnya berdebar kacau, ia dipaksa memilih.
Ia menatap Alan sekilas, lalu berpaling ke Gideon. Ada keraguan yang begitu jelas di matanya. Detik itu seperti melambat, suasana pesta seakan membisu menunggu keputusan.
Akhirnya, dengan napas berat, Chesna meraih tangan Gideon.
Gideon tersentak, tapi segera menguatkan genggamannya, menarik Chesna berdiri. Jas di bahunya ikut bergeser, menambah kesan protektif seolah ia benar-benar melindunginya. Alan menunduk cepat, menyembunyikan perasaan yang sulit ia kendalikan. Ada kecewa yang menusuk, tapi juga kelegaan melihat kembarannya tidak terluka.
Dan dari jauh, Miko mengamati tajam. Tatapannya bergeser dari Chesna ke Alan, lalu kembali ke gadis yang baru saja berdiri dengan bantuan Gideon. Apa ini gadis yang Alan sukai? pikirnya. Ya, Miko cukup mengenal gadis ini.
Ruangan yang tadinya penuh tatapan sinis kini mulai mencair karena kehadiran Gideon dan Alan yang menenangkan situasi. Namun, bagi Chesna, rasa malu dan sakit hatinya semakin dalam. Ia merasa tidak pantas ada di pesta mewah ini, apalagi semua orang menatapnya seolah ia orang asing yang mengacau.
Tak jauh dari mereka, orang tua Gideon juga menyaksikan. Ibunya berbisik “Pah, kayaknya anak kita menyukai gadis ini.” Sedangkan sang ayah, yang terkenal bijaksana, mengangguk. “Benar. Gideon terlihat… peduli.” Tatapannya penuh arti saat melihat putranya masih sibuk memastikan semua baik-baik saja.
Pesta masih terus dinikmati, langkah anggun seorang wanita mendekat. Mama Gideon, dengan gaun biru tua yang elegan, menatap putranya lalu beralih ke arah Chesna. Senyumnya ramah, tapi sorot matanya tajam, penuh penilaian.
“Gideon, bawa gadis ini untuk berganti pakaian. Tidak pantas ia terus seperti itu di pesta,” ucapnya lembut namun tegas, memberi instruksi seolah tak bisa ditawar.
Gideon refleks mengangguk. “Iya, Mama.” Ia menoleh pada Chesna, suaranya agak menurun, berbeda dari biasanya. “Ayo, ikut aku. Di atas ada kamar tamu, kamu bisa ganti. Biar lebih nyaman.”
Chesna terpaku, masih banyak mata yang menyorotinya. Ia mencengkeram jas di bahunya lebih erat. “Terima kasih, Tante… terima kasih juga, Gideon. Tapi aku tidak bisa. Aku harus pulang,” jawabnya sopan.
Mama Gideon sedikit mengerutkan dahi, jelas tak terbiasa ditolak. Namun sebelum ia bicara lagi, Chesna membungkuk singkat. “Saya sudah merepotkan. Mohon maaf atas semua kekacauan tadi. Sekali lagi terima kasih.”
Tanpa menunggu respon, Chesna melangkah mundur. Suara hak sepatunya terdengar tergesa di lantai marmer. Jas Gideon masih melekat di tubuhnya, tapi ia tak berniat melepasnya saat itu juga.
“Chesna!” Gideon memanggil, namun gadis itu hanya melambaikan tangan sekilas, menolak menoleh.
“Susul dia. Antar pulang.”
Gideon dengan cepat bergerak setelah mendengar titah ibunya.
Alan hanya berdiri diam, matanya mengikuti setiap langkah Chesna hingga gadis itu menghilang melewati pintu utama. Sementara itu, Miko, yang tak jauh dari sana, makin terdiam. Putranya tidak memiliki kemampuan mendekati gadis yang disukai.
Chesna berjalan cepat. Hatinya masih berdegup kencang, bukan hanya karena malu, tapi juga perasaan terasing di tengah gemerlap pesta yang bukan dunianya.
Belum sempat ia menyeberang halaman, terdengar suara langkah tergesa dari belakang.
“Chesna! Tunggu!” suara Gideon tegas, agak keras.
Chesna menoleh sekilas, lalu kembali mempercepat langkah. “Kamu, kenapa menyusul?”
“Ayo ke mobil aku, Aku antar.”
Chesna menggeleng cepat. “Tidak usah, sungguh. Aku sudah biasa—”
“Biasa apa? Biasa jalan kaki sendirian? Biasa dilihat rendah oleh orang-orang?” potong Gideon, nadanya agak meninggi. “Aku tidak suka melihatmu pergi begitu saja,”
Chesna terdiam. bukan karena marah, melainkan karena ada ketulusan yang aneh di dalamnya. Ia menunduk, “Aku tidak ingin merepotkanmu. Lagipula, kita bahkan bukan teman dekat.”
Gideon menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. “Kalau kamu tetap keras kepala, aku akan mengikutimu sampai rumah. Mau itu jauh atau dekat, aku tidak peduli. Jadi, lebih baik kamu terima saja tawaranku.”
Chesna mendongak, menatap matanya. Gideon tidak terlihat sedang bercanda. Tatapannya serius, penuh tekad.
Akhirnya, dengan berat hati, Chesna mengangguk kecil. “Baiklah…”
Sebuah senyum samar terlukis di wajah Gideon, lega sekaligus puas. Ia memberi isyarat ke mobilnya yang terparkir tak jauh. “Ayo. Aku janji, hanya mengantar,.”
Chesna melangkah pelan di sampingnya, masih ragu, sejujurnya, Chesna tidak bisa dengan mudah mempercayai orang baru.
__
bersambung