Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih baik pergi!
"GO GO GANESA!! GO GO GANESA!"
"MAJU TAK GENTAR KAMI SIAP HANCURKAN LAWAN! SAYAP ELANG BERKIBAR TINGGI TANPA PERLAWANAN!"
"GO GO DAEVAS! GO GO DAEVAS!"
Suara supporter Ganesa menggema di tribun. Kali ini pertandingan basket telah dimulai. Event seleksi ini diadakan di sekolah SMA Wintara. Sekolah elit yang memiliki gedung yang amat besar. Isinya hanya orang-orang kalangan atas yang bisa masuk sekolah ini.
"Sumpah. Suara kita kalah sama supporter Ganesa? Nggak terima gue!" Ujar salah satu siswi SMA Wintara.
"Ck. Apasih hebatnya Daevas? Kok mereka sebegitu memuja tim itu," Celetuk temannya.
"Biasalah. Mereka paling suka Daevas karena anggotanya ganteng-ganteng. Modal visual nggak ada bakat!" Cerca murid SMA Wintara merendahkan.
Memang kedua sekolah ini cukup memiliki persaingan yang tinggi. Mereka selalu beradu sekolah mana yang paling bagus. Biasalah anak zaman sekarang. Mendahulukan gengsi ketimbang isi.
Brak!
Satu Shoot halus berhasil membawa tiga poin secara terus menerus. Abintang sangat agresif. Meskipun wajahnya terlihat tenang. Tapi setiap permainannya presisi. Tidak ada pergerakan yang sia-sia membuat Coach Banu dan Aksa tercengang di pinggir lapangan. Bahkan anggota Daevas yang lain sendiri terkejut dengan poin yang di dapatkan Abintang secara solo.
Pertandingan baru berjalan sepuluh menit. Tapi Abintang sudah bisa mencetak enam belas point dengan mengandalkan Shoot jarak jauh. Dan jaraknya pun tidak main-main.
"WOAHHHH!! ABINTANG AKU PADAMU!!"
"ITU COWOK KAYAKNYA BUKAN MANUSIA, DEH! SEMPURNA BANGET!"
"Kevin kalo keringetan nambah ganteng!!"
"Reksa jadi pacarku yok!"
"Avan bikin melelehh!"
"Brian kalo lagi serius ganteng juga, ya?!"
Begitulah teriakan kaum hawa memuji Daevas.
"Lagi ada masalah?" Bisik Kevin menghampiri Abintang.
Kevin memang lelaki yang sangat peka terhadap situasi. Sebagai ketua, dia selalu memastikan keadaan tim dalam kondisi baik. Lelaki itu sangat amat menyadari ekspresi Abintang yang mencoba meluapkan emosinya dengan bermain agresif.
Kevin tahu jika Abintang sedang tidak baik-baik saja. "Mau di ganti aja?" Tawar Kevin tidak ingin memberatkan Abintang. Apalagi ini adalah pertandingan pertama cowok itu.
Abintang menggeleng. "Gue gak pa-pa. Lanjut aja." Tolaknya.
"Terserah. Asal lo nggak kacauin pertandingan."
"Easy."
Kevin memukul punggung Abintang bercanda. "Gaya an lo!" Dia terkekeh lalu kembali ke posisinya.
Abintang menarik napas panjang. Harus menenangkan dirinya secepat mungkin. Sedari tadi otaknya terus terbayang akan sosok perempuan bernama Jihan. Jihan Alessa. Terus berputar di kepalanya bagai kaset rusak.
Pandangan lelaki itu menyapu tribun penonton. Mencoba menemukan sosok yang ia cari. Matanya berhenti pada seorang gadis yang sedang duduk di tribun paling atas, berdempetan dengan laki-laki. Entah kenapa Abintang tidak menyukainya.
Netra mereka bertemu sejenak. Jihan tersenyum kearah Abintang. Manis. Sangat manis. Hati Abintang sedikit menghangat. Namun, detik berikutnya Abintang langsung membuang muka cuek.
Nggak. Gue nggak boleh kayak gini.
Abintang membuang jauh-jauh perasaan aneh dalam hatinya. Ia tidak boleh memiliki perasaan ini pada Jihan. Tidak boleh! Dia pun langsung melanjutkan pertandingan dengan sportif. Melupakan kejadian tadi begitu cepat.
Senyum Jihan perlahan memudar. Tidak apa. Dia sudah biasa. Lagi pula ini adalah hari terakhir Jihan akan melihat Abintang sepuasnya. Lalu dia akan pergi dan berhenti mengganggu cowok itu.
Kamu adalah luka. Sekaligus obatnya.
Terima kasih telah mengisi ruang kosong di hatiku. Kamu adalah ciptaan Tuhan paling indah di mataku. Abintang Sagara. Hingga akhir hayatku, perasaanku padamu akan selalu sama.—Jihan Alessa.
****
Seperti prediksi. Daevas menang telak dari berbagai tim basket dari sekolah lain. Dan kini merekalah yang terpilih menjadi perwakilan Event bulan depan. Setelah UTS (Ulangan Tengah Semester) selesai.
"Selamat atas kemenangan kalian." Banu menghampiri Daevas di lapangan. Memberi ucapan.
"Santai aja, Coach. Ini masih pemanasan. Karena lawan kita yang sebenarnya sudah menunggu," Kata Avan mengusap keringat di matanya lalu memasang kaca mata. Avan memang memiliki mata minus. Tapi tidak terlalu tinggi, jadi ketika pertandingan berlangsung dia masih bisa melihat dengan jelas.
"Nggak ada kata santai. Meskipun ini cuma seleksi. Kita nggak boleh sombong gitu aja. Mudah puas adalah sifat buruk manusia," Sahut Kevin menimpali. Dia memang cocok menjadi pemimpin. Sifatnya sangat dewasa.
"Tuhh! Dengerin! Jangan sombong!" Kata Brian. Avan mencibir dan Aksa menggelengkan kepalanya.
Banu tersenyum bangga. "Oh ya, Reksa kemana? Kok nggak kelihatan," Tanya pria itu heran. Karena yang berkumpul hanya Kevin, Avan, Brian, dan Abintang.
"Biasalah. Ngurusin pacarnya yang tantrum karena cemburu Reksa di godain cewek-cewek Wintara," Balas Brian.
"Lah, emang dia ceweknya Reksa? Bukannya dia yang ngejar-ngejar Reksa ya?" Heran Aksa.
"Yah... Mirip-mirip lah sama si Jihan," Celetuk Avan yang langsung mendapatkan tatapan tak bersahabat dari Abintang.
"Ehh bang! Bercanda! Damai kita damai!" Avan meringis takut. "Mampus lo! Makannya jangan berani-berani bawa-bawa Jihan di depan pawangnya." Brian tertawa ngakak.
"Dasar anak muda." Banu terkekeh kecil.
"Aduhh Coach! Kayak nggak pernah muda aja." Mereka langsung tertawa bersama.
"Ya sudah. Kalo sudah lengkap nanti kita balik ke mobil. Langsung pulang. Karena besok kalian udh nggak bisa santai, karena harus persiapan UTS juga Event bulan depan," Kata Banu di setujui yang lain.
"Lah ini anaknya dateng!" Ujar Brian pada sosok Reksa yang baru datang.
"Kenapa?" Tanya Reksa bingung.
"Gak pa-pa. Mumpung sudah pada lengkap mending sekarang kita balik ke mobil untuk pulang," Titah Banu.
Para anggota Daevas pun segera menuju parkiran SMA Wintara sembari sesekali memandangi luasnya halaman sekolah itu.
"Ini sekolah kalo dibandingin sama Ganesa dua kali lipat lebih besar. Nggak ngotak emang!" Celetuk Avan memandang sekeliling dari balik kaca matanya. Lelaki itu terlihat lebih tampan jika memakai kacamata membuat beberapa siswi Wintara memotretnya diam-diam.
"Namanya juga sekolah sultan. Isinya orang-orang berduit. Money bos Money! " Ujar Brian. "Ehh. Kita belum nengok Iqbal coy! Mau kesana dulu nggak? Dia udah selesai belum ya?" Katanya tiba-tiba.
Abintang terdiam lalu mengecek ponselnya. Notif dari Jihan ia abaikan lalu memencet nomor Iqbal yang baru saja mengirimi dia pesan.
Iqbal Aidan: Bro, Gue kalah😔
Iqbal Aidan: Dapet emas satu gue. Kecewa berat🤕
Abintang tersenyum tipis. Sialan sekali temannya itu. Abintang sudah mengira Iqbal kalah ternyata cuma basa basi.
Abintang Sagara: Sekarang di mana? Daevas mau ketemu.
Iqbal Aidan: Udah ada di parkiran sama pak Leo.
Abintang mematikan ponselnya lalu menoleh pada Brian. "Dia udah sama pak Leo," Ujarnya singkat.
"Tuh mereka." Tunjuk Akbar pada sosok Iqbal yang melambaikan tangannya ke arah mereka. Di sebelahnya ada Leo yang menatap mereka sembari tersenyum.
"Kuyy! Kita pulang di traktir pak Leo! Beuhh makan enak kita!" Teriak Iqbal memberitahu.
Mereka pun menghampiri Iqbal begitu saja. "Waduhh enak nih! Kebetulan laper juga gue!" Ujar Avan.
"Sorry. Tapi gue mau pulang sendiri aja naik bus halte. Gue ada urusan," Pamit Abintang tiba-tiba.
"Loh kenapa? Seharusnya lo ikut kita, karena lo berkontribusi besar atas kemenangan Daevas kali ini." Kevin menimpali
"Gue nggak bisa."
"Emangnya lo mau ngapain?" Tanya Iqbal curiga.
"Ada yang lebih penting."
Setelah mengatakan itu Abintang langsung beranjak pergi meninggalkan mereka begitu saja. Sekarang pikirannya hanya tertuju satu nama.
Jihan.
****
Seperti dugaan Abintang. Jihan sedang duduk di halte bus sendirian. Tapi matanya menajam ketika melihat ada tiga cowok memakai seragam sekolah Wintara sedang mengganggu Jihan. Entah menggoda dengan kalimat-kalimat gombalan dan sudah pasti Jihan merasa terganggu tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ya elah sombong banget jadi cewek. Sok jual mahal!" Kata salah satu cowok berambut sedikit gondrong.
"Minta Linenya lah. Pelit amat. Kita nggak bakal neror lo kok. Cuma kenalan doang," Ujar temannya.
"Sorry gue nggak bisa ngasih." Jihan menolaknya dengan halus.
Ketiga cowok itu saling pandang dengan raut kesal. "Ck, lo kira lo cantik bisa nolak kita? Paling dibayar sejuta juga udah buka selangkangan!" Cerca mereka lalu tertawa kencang.
Jihan duduk diam sembari menatap sepatunya. Rasa amarah yang meluap ia tahan semaksimal mungkin. Salah satu cowok itu hampir menyentuh lengan Jihan. Namun, tiba-tiba Abintang datang mencekalnya dengan kasar.
"Jauhin tangan kotor lo!" Desis Abintang geram. Jihan langsung mendongak menatap Abintang tak percaya. Bukankah lelaki itu tidak ingin bertemu dengannya.
"Lo siapa? Mau jadi pahlawan kesiangan lo?" Satu cowok berpenampilan urakan maju menantang Abintang.
"Lo laki kan?" Kata Abintang datar tidak sedikitpun merasa takut. Ia berdiri di depan Jihan duduk bertujuan melindunginya.
"Al, mending kita balik aja. Nggak usah berurusan sama dia," Bisik temannya pada lelaki bernama Alta.
Alta menatap Abintang sinis. "Takut lo pada? Cemen banget jadi cowok!" Ketus Alta pada kedua temannya.
Abintang memperhatikan Alta intens dari bawah sampai atas. Sepertinya dia mengenal lelaki ini. Bukankah dia anaknya Om Galang, pelatih basket Abintang sekaligus tetangganya. "Apa lo liat-liat? Nggak pernah ketemu orang ganteng lo?" Sewot Alta.
Jihan mendelik kecil lalu berdiri menatap Alta kesal. "Lo bilang lo ganteng? Yakin? Mata lo nggak katarak kan?" Dia berusaha maju menghadap cowok itu, tetapi Abintang menahan tangannya untuk terus berada di sampingnya.
Alta menatap tajam Jihan tidak terima di katai seperti itu. Secara tidak langsung Jihan mengatainya jelek. Kurang ajar. Berani sekali cewek itu. "Al udah woi. Pak Danang bentar lagi dateng. Mending kita cabut dari pada di hukum lagi karena bolos. Lo mau dimarahin bokap lo?" Ujar teman Alta yang sedikit gondrong.
Alta berdecak kesal. "Gue tandain lo!" Setelah mengatakan itu pada Jihan Alta langsung beranjak pergi meninggalkan halte.
Abintang menghela napas panjang. Dia menatap Jihan sejenak membawanya duduk bersama menunggu bus datang. Keheningan menyelimuti sepasang insan yang sedang bertarung dengan pikiran masing-masing.
Hingga tidak terasa bus sudah datang. Mereka segera berdiri dan masuk kedalam. Sebenarnya Jihan ingin bertanya kenapa Abintang bisa berada di sini. Seharusnya dia pulang naik mobil bersama Daevas bukan. Tapi ia urungkan karena mereka sedang bertengkar.
Jihan pun duduk di bangku penumpang yang berada paling pinggir sebelah kanan, dekat jendela. Setelah duduk ia terkejut melihat Abintang juga ikut duduk di sebelahnya. Lelaki itu hanya diam. Tidak sama sekali menatap Jihan sedikitpun. Jauh dari lubuk hati Jihan sangat senang Abintang duduk di sebelahnya. Rasanya seperti mimpi, hal yang dulu ia bayang-bayangkan setiap kali menaiki bus kini terwujud.
"Abi capek?" Tanya Jihan mencoba mengajak berbicara.
"Enggak." Abintang kini menoleh membuat Jihan gugup seketika. Wajah Abintang terlihat berkali lipat lebih tampan dengan jarak sedekat ini. Rambut cowok itu yang sedikit basah karena keringat membuat jantung Jihan berdebar. Bau parfum Abintang tercium jelas meski sedang berkeringat.
"Kenapa diem? Biasanya juga cerewet," Ujar Abintang menyadarkan Jihan dari lamunan.
Gadis itu membuang mukanya pada jendela bus. Menatap jalan raya yang di lalui banyak kendaraan. Abintang terdiam mengetahui Jihan sedang mengalihkan pembicaraan. Cowok itu menyandarkan kepalanya pada bahu Jihan membuat sang empu mematung seketika.
"Abintang?"
Abintang hanya terdiam tidak menjawab. Lelaki itu justru memejamkan matanya memilih menikmati bersandar di bahu Jihan.
Jihan tidak berkomentar lebih. Dia hanya terdiam sembari menatap kearah jendela membiarkan Abintang tertidur di bahunya.
Aku selalu bingung dengan sikapmu. Selalu berubah-ubah membuat hatiku ragu. Ketika aku mencoba untuk menjauh, kenapa justru sikapmu seakan menginginkan aku untuk tetap tinggal?
****