NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Nona, Saya Tidak Suka Dibeginikan.

...•••...

"So, kalau begitu kita bicara sesama teman, lagipula kamu sudah tahu siapa saya. Bagaimana?"

"Tidak, kamu yang bilang sendiri kalau kamu hanya sekadar bodyguard, tidak lebih. Kenapa sekarang tiba-tiba kamu mengurusi ranahku?"

"Hayaning—"

"Nona! Ingat dengan statusmu, Benji." Koreksi Hayaning dengan suara yang tercekat.

Ben menggeram kesal. Ia menahan diri agar tidak semakin tersulut emosi, terutama saat melihat ekspresi menantang di wajah Hayaning.

"Apa Nona marah karena saya sempat menyinggung hubungan pribadi?"

"Ya."

"Apa Nona mendiamkan saya karena itu?"

"Omong kosong, Ben! Aku hanya ingin profesional, begitu pula dengan kamu kan? Kamu sendiri yang bilang."

Di tengah pertengkaran itu, seorang pelayan datang membawa teh dan camilan, sesuai yang diperintahkan Ben.

"Ya, makasih, Mbak." Ucap Ben singkat. Setelah disajikan, pelayan itu segera pergi dari sana.

Ben menghela napas panjang, sementara Hayaning membuang muka, menatap ke arah lain.

"Diminum dulu teh nya, Nona," ujar Ben, suaranya lebih lembut, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.

Hayaning masih diam, melirik teh di depannya tanpa minat. Namun, ia menghargai pelayan yang sudah mengantarkan hidangan ringan itu.

Akhirnya, ia meraih cangkir teh, mengangkatnya dengan gerakan lambat sebelum menyeruput sedikit. Aroma melati yang lembut memenuhi indranya, memberikan sedikit ketenangan di tengah gejolak pikirannya.

"Kalau begitu Non—"

"Sstt..." Hayaning mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Ben berhenti bicara.

Ben menghela napas berat, lalu memilih untuk diam. Ia maklum, sebab perempuan itu benar-benar terlihat lelah.

Hayaning meletakkan cangkirnya perlahan, menatap cairan keemasan di dalamnya sebelum akhirnya berkata, "Aku mau pulang."

"Lho?" Ben melongo, mengira suasana seperti ini—dengan sekeliling yang dipenuhi bunga-bunga dan udara yang menenangkan akan membuat Hayaning betah.

"Aku mau pulang, Ben," ulang Hayaning, kali ini dengan nada lebih tegas. Matanya menatap lurus ke arah Ben, seolah tak ingin ada perdebatan jilid kedua.

Ben mengusap tengkuknya, merasa serba salah. "Nona baru saja duduk sebentar. Bukannya tempat ini bisa membantu Nona merasa lebih baik?"

Hayaning menghela napas panjang, menoleh ke arah taman yang terbentang di hadapannya. "Bukan tempatnya, Ben. Aku hanya..." Ia menggigit bibirnya, enggan melanjutkan. "Aku hanya butuh pulang."

Ben menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk pasrah. "Baik, kalau itu maunya Nona."

Hayaning bangkit dari duduknya, membenahi sedikit rambutnya yang tertiup angin. "Maaf ya, Ben. Tempat ini indah, tapi pikiranku terlalu berantakan untuk menikmatinya sekarang."

"Tak masalah, Nona. Kapan saja Nona ingin datang lagi, tempat ini selalu terbuka."

Hayaning hanya mengangguk, lalu berjalan keluar dari rumah milik Ben menuju mobil. Ben mengikuti di belakangnya, membuka pintu dengan cekatan. Saat mesin mobil menyala, Hayaning berbisik lirih, "Terima kasih, Ben." Setidaknya ia harus berterimakasih sebab pria ini sudah berusaha menghiburnya, ya walaupun sebenarnya Hayaning sangat tidak baik mood-nya hari itu.

Ben meliriknya sekilas, lalu mengangguk pelan. "Sama-sama."

Sepanjang perjalanan itu Haya benar-benar diam, namun Ben yang memang masih ingin mencoba akhirnya mencari ide apapun itu untuk membuat perempuan disebelahnya setidaknya tersenyum, entah mengapa Ben begitu frustasi melihat Hayaning terus-menerus tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Ia melirik ke arah Hayaning beberapa kali, tapi perempuan itu hanya menatap kosong ke luar jendela, seolah dunia di sekitarnya tak lagi berarti.

Ben mengetukkan jarinya pelan di kemudi, berpikir keras. "Nona," panggilnya hati-hati, "saya tahu ini bukan saat yang tepat, tapi..."

"Tapi apa?" potong Hayaning cepat, suaranya terdengar datar tanpa emosi.

"Tapi sepertinya makan ice cream bisa meredakan suasana hati yang berantakan," ujar Ben, mencoba mencairkan suasana. "Kalau Nona mau, saya bisa belikan sekarang. Apapun itu yang Nona inginkan."

Sekilas, ada kilatan geli di mata Hayaning, tapi hanya sesaat sebelum ia kembali mengalihkan pandangannya. "Aku ngga sedang ingin mendengar rayuan atau bujukan apa pun, Benji. Aku butuh waktu, kamu ngerti ngga sih?" Hayaning berubah semakin sensi.

Ben mendesah berat. "Sorry, Little Rose."

Ia tahu dirinya bukan orang yang pandai memahami perasaan orang lain. Namun, ia tetap berusaha membujuk Hayaning karena tak sanggup melihat sorot mata itu—tatapan penuh luka yang dulu sering ia lihat di mata mendiang ibunya, sebelum akhirnya pergi meninggalkannya. Ben tidak ingin melihat hal yang sama terulang pada perempuan ini.

•••

Hayaning masuk ke dalam kamarnya dengan langkah gontai, seolah seluruh tenaganya telah terkuras habis. Tanpa pikir panjang, ia segera merebahkan diri di atas kasur, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam empuknya bantalan. Mata yang terasa berat segera terpejam, meskipun pikirannya masih berputar tanpa henti.

Hatinya terasa penuh, sesak dengan kesedihan yang tak lagi bisa ia uraikan. Namun, anehnya ia tak berkeinginan untuk menangis. Seolah air matanya enggan turun, tertahan di suatu tempat yang tak terjangkau olehnya.

Ada kehampaan yang membelenggu, dan Hayaning hanya bisa terdiam, membiarkan keheningan kamarnya menyelimuti perasaannya yang kacau.

TING

Hayaning menatap layar ponselnya sekilas, pesan dari Ben masih terpampang jelas di sana.

Tuan Benjamin

Kalau Nona ingin sesuatu, langsung saja hubungi saya.

Ia menghela napas pelan, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas tanpa niat untuk membalas. Entah kenapa, ia merasa tidak memiliki energi untuk berbasa-basi atau sekadar merespons perhatian pria itu. Matanya kembali terpejam, mencoba mengusir segala pikiran yang berputar di kepalanya.

Di tempat lain, Ben yang masih duduk di kursi kemudi mobil menatap layar ponselnya dengan tatapan kesal. Pesannya sudah terbaca, centang biru terpampang jelas, tapi tak ada balasan. Ia mendengus kasar, mengetuk setir dengan gelisah.

"Damn!" umpatnya pelan, bertubi-tubi dibuat resah dengan sikap diam Hayaning.

Ia tahu perempuan itu sedang tidak baik-baik saja, tetapi dengan sikapnya yang sangat senyap, membuat Ben semakin tidak tenang. Ia tak terbiasa menghadapi seseorang yang begitu sulit ditembus seperti Hayaning.

"Mbak Lara," gumam Ben pelan, teringat pada kakak iparnya. Siapa tahu dia bisa memberikan sedikit pencerahan tentang bagaimana menghadapi perempuan sekompleks Hayaning.

Tanpa berpikir panjang, Ben meraih ponselnya dan mencari kontak Lara. Ia menekan panggilan, dan setelah beberapa dering, suara nyaring itu akhirnya terdengar.

"Ada apa, Ben?" Lara terdengar sedikit sibuk di seberang sana.

Ben menggaruk tengkuknya yang tak gatal, merasa agak canggung membicarakan tentang kaum perempuan. "Mbak... Aku mau tanya sesuatu."

Hening sejenak, sebelum Lara merespons. "Tumben Mas Ben, ada apa nih?" Tanyanya diseberang sana dengan nada guyon sembari menikmati camilan manis.

"Mbak, serius dong."

"Iya-iya, Mas Ben mau tanya apa?"

"CK! Gimana caranya menghadapi perempuan yang kalau ada masalah malah memilih diam, menjauh, dan mengurung diri?" Tanyanya begitu cepat.

"WHAT?" Lara memekik keras, membuat Ben refleks menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Aku ngga salah denger nih? Serius, Mas? Soal hati? Mas Ben bisa falling in love juga ternyata."

"Oh, shut up! Ini bukan persoalan picisan, Mbak. Ini soal anaknya Pak Brata, orang yang aku jaga. Aku ngga ngerti kenapa perempuan suka meribetkan para pria. I'm frustrated," ucap Ben, terang-terangan mengakui kebingungannya.

Lara terkikik, tetapi segera menanggapi dengan nada yang lebih serius. "Jangan ngawur! Perempuan itu lebih sensitif dari yang Mas Ben kira. Kami ngga meribetkan pria, kami cuma butuh ruang buat memahami perasaan sendiri."

Lara berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Mungkin cara dia begitu karena sedang berusaha menenangkan diri. Atau memang kepribadiannya yang cenderung tertutup. Mas tahu introvert, kan? Bisa jadi memang dia seperti itu."

Namun di tengah penjelasannya, sesuatu tiba-tiba terlintas di benak Lara. "Eh bentar, kamu kan bodyguard-nya. Lha, kok ngurusin hal pribadi segala, Mas Ben?" godanya di akhir kalimat.

"Ah, sudahlah. Terima kasih untuk jawabannya." Ben sudah hafal kakak iparnya itu akan melanjutkan bicaranya kearah mana.

TUT...

Lara melotot kesal menatap layar ponselnya. Bisa-bisanya Ben langsung memutus panggilan begitu saja.

"Well, dia... Beneran falling in love sama atasannya sendiri?" Gumam Lara dengan binar dimatanya. "Oh my God! MAS SEAN!!" pekiknya kencang, tak bisa menahan antusiasme.

Sean, yang sedang di ruang kerja, langsung keluar dengan ekspresi bingung. "Astaga, Diajeng, jangan berteriak seperti itu. Nanti bayinya kaget di dalam perut kamu." Ucap Sean serasa jantungan setiap kali bumil itu memekik.

Lara terkekeh kecil sambil meminta maaf. "Sorry, Mas. Tapi aku punya berita seru nih!"

Sean mendekati istrinya lalu duduk di sampingnya. "Iya, apa?"

Lara beringsut mendekat, lalu berbisik di telinga Sean. Wajah pria itu langsung berubah serius.

"Tidak semudah itu, Diajeng. Lagipula, anaknya Pak Brata yang bernama Hayaning itu minggu depan akan bertunangan dengan pria yang sudah dijodohkan dengannya."

Mendung seketika menyelimuti wajah Lara. "Yah... Aku udah berharap aja sama Mas Ben…"

Sean menghela nafas berat, "lagipula Ben tidak akan semudah itu membangun kepercayaan kembali untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan lain lagi, sayang. Mungkin dia perlu waktu dan bebenah dirinya dulu."

Lara mengerutkan keningnya, "maksud kamu, Mas?"

"Dia pernah mengalami yang namanya gagal menikah."

•••

Tuan Benjamin 

Nona, ini sudah hari keempat tapi Nona belum juga kunjung keluar dari kamar. Saya bisa nekat temui Nona. Maka jangan begini.

Tuan Benjamin

Kesabaran saya tidak bisa lagi di tolerir, Nona.

Tuan Benjamin

Oh damn! Kenapa hanya di baca saja pesan saya, HAYANING?!

Ben berdiri di depan pintu dengan ekspresi gusar. Tangannya terangkat untuk mengetuk, namun ia tak melakukannya. Sudah berkali-kali ia mencoba berbicara, mengirimkan pesan, menelponnya, tetapi Hayaning tetap memilih diam di balik kamarnya.

Di satu sisi ia lega, karena para pelayan memberitahu nya bahwa Hayaning dalam keadaan baik-baik saja. Namun, pola makannya yang berantakan membuat Ben resah. Bagaimana mungkin ia bisa tenang, sementara perempuan itu terlihat seperti mengisolasi dirinya?

Malam ini, dengan tekad yang sudah bulat, Ben memutuskan untuk mengambil langkah lain. Ia akan menemui Hayaning secara diam-diam. Rencananya, ia akan naik ke lantai tiga dan masuk melalui jendela kamar Hayaning yang selalu terbuka tepat pukul delapan malam.

Ben menatap ke atas, menilai ketinggian dan memperkirakan jalur yang harus ia tempuh. “Ck! Aku akan melakukan ini lagi,” gumamnya dengan sedikit geli. Ironis rasanya, teknik-teknik yang biasanya ia gunakan untuk melumpuhkan musuh kini justru ia pakai demi mendekati seorang perempuan. Perempuan yang telah mengurung dirinya selama empat hari penuh.

•••

Ketika malam tiba, Ben melancarkan aksinya. Gerakannya begitu tenang dan terukur, ia memanjat sisi bangunan dengan lihai, menjadikan ornamen-ornamen di dinding sebagai pijakan. Setiap langkahnya dihitung dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang mencurigakan.

Sesampainya di dekat jendela kamar Hayaning, Ben berhenti sejenak untuk mengatur napas. Ia melongok ke dalam dengan hati-hati, memastikan bahwa perempuan itu tidak menyadari kehadirannya. Lampu kamar redup dan perempuan itu... Hayaning ternyata sudah tidur.

Tanpa basa-basi, Ben melangkah masuk ke dalam kamarnya. Suasana terasa sunyi, hanya diiringi suara pelan dari televisi yang menampilkan adegan-adegan film thriller.

Di atas ranjang, Hayaning terbaring dengan posisi nyaman, napasnya terdengar lembut dan teratur. Sementara sebuah novel terbuka tergeletak di sampingnya, masih berada di halaman yang terakhir ia baca.

Ben mengamati pemandangan itu dengan ekspresi bercampur antara lega dan geli. "Hah," gumamnya sambil terkekeh pelan. "Ternyata begini caranya dia menikmati waktu sendirian. Tipe manusia yang betah menyendiri tanpa merasa bosan."

Ia melangkah lebih dekat, memperhatikan lama wajah Hayaning yang tampak begitu damai saat tertidur.

Namun, Hayaning ternyata tidak benar-benar tertidur pulas. Ia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Perlahan, matanya yang cantik terbuka, menatap sosok yang berdiri di samping tempat tidurnya.

"Ben?" Hayaning tercekat kaget. Dengan gerakan spontan, ia langsung bangkit dari tidurnya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih rapat. Wajahnya memerah, kaget dan kesal bercampur padu karena kehadiran pria itu di kamarnya tanpa izin.

"Apa yang kamu lakukan di sini?!" suaranya terdengar tajam meski masih sedikit serak. Tatapannya langsung menghujam Ben, menuntut penjelasan.

"Menemui Nona," jawab Ben santai, meskipun ada sedikit rasa bersalah yang terselip di matanya.

Hayaning ternganga, matanya langsung melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Ia yakin telah menguncinya dengan baik selama empat hari ini.

"Masuk melalui jendela, Nona," ujar Ben, seolah membaca apa yang ada di pikiran Hayaning.

Hayaning langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela kamar yang memang terbuka. Ia menghela napas panjang, menatap Ben dengan tatapan tak percaya. "Kamu gila, ya? Naik ke lantai tiga cuma untuk... apa? Menggangguku?" suaranya meninggi, tentu saja marah kepada pria yang berdiri kokoh dihadapannya.

Ben hanya mengangkat bahu kecil. "Bukan mengganggu, tetapi memastikan Nona baik-baik saja."

"Astaga, Ben..." Hayaning turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela. Ia memeriksa seberapa tingginya kamar itu dari permukaan tanah. Setelah menyadari betapa berbahayanya aksi Ben, ia kembali menatap pria itu dengan sorot mata tajam.

"Kamu mau cari mati, huh?"

"Ya, Nona," balas Ben dengan nada rendah, suaranya terdengar lebih dalam. Ia mendekat, langkahnya pelan tapi pasti, seperti singa yang mengintai mangsanya. Aura pria itu terasa berbeda—gelap, tegas, dan menekan.

Hayaning menelan saliva, nalurinya membuatnya mundur beberapa langkah. Ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang, sesuatu dari cara Ben menatapnya yang begitu intens, seolah-olah ia sedang dipenjarakan oleh tatapan itu.

Sampai akhirnya, punggungnya menempel pada tembok. Ia terperangkap, tak bisa lagi mundur. Ben menghentikan langkahnya hanya beberapa inci dari tubuh Hayaning, kedua tangan kekarnya terangkat untuk menopang dinding di samping kepala perempuan itu, menciptakan kungkungan yang membuatnya tak bisa melarikan diri.

"Ben, apa yang kamu lakukan?" suara Hayaning nyaris berbisik. Matanya menatap langsung ke arah pria itu, mencoba membaca maksud di balik sikapnya yang tiba-tiba ini.

Ben tersenyum menyeringai, Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, auranya yang berat dan intens membungkus Hayaning seperti kabut yang sulit dihindari.

Dengan gerakan perlahan, tangannya terulur, jari-jarinya yang kokoh menyentuh dagu Hayaning. Ia mengangkatnya lembut, memaksa Hayaning untuk mendongak dan bertemu langsung dengan tatapan matanya yang tajam.

"Mata saya ada di sini, Nona," suaranya rendah, begitu dalam hingga terasa menggetarkan. "Nona..." suaranya semakin rendah, nyaris seperti bisikan yang hanya diperuntukkan untuk Hayaning. Tangannya yang kokoh bergerak perlahan, jemarinya menyentuh pipi Hayaning dengan kehalusan yang bertentangan dengan aura dominannya.

"Saya tidak main-main. Sudah saya katakan kalau saya ini orangnya nekat, saya tidak suka dibeginikan. Saya tidak suka didiamkan dalam ketidakpastian," lanjutnya, matanya mengunci milik Hayaning, membuat perempuan itu tak mampu berpaling.

"Kalau ada sesuatu yang mengganggu Nona, katakan saja. Jangan buat saya seperti ini... terjebak, tidak tahu apa yang harus saya lakukan, sementara saya bekerja dan diperintahkan untuk menjaga Nona, putri bungsu keluarga Adhijokso."

Hayaning menelan saliva lagi, seluruh tubuhnya menegang. Tatapan pria itu terlalu intens, terlalu mendominasi, membuatnya merasa terperangkap, kecil dan rapuh, seperti rusa yang tak berdaya di hadapan seekor predator yang mengintai mangsanya.

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!