Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Vanilla Brew
Suasana kediaman Camelia pagi ini terasa lebih riuh dari biasanya. Di meja makan, beberapa maid tampak hilir mudik, membawa nampan-nampan berisi makanan dan minuman. Aroma masakan tercium kuat memenuhi ruang tengah. Langkah kaki gadis itu menuruni anak tangga dari lantai dua dengan kerutan tipis di dahi.
Ada apa ini? Apa Mama mau mengadakan acara? batinnya heran.
Camelia melangkah mendekati meja makan, memperhatikan satu per satu piring porselen yang sudah tertata rapi. Pilihan menunya pun tak seperti sarapan biasa.
"Selamat pagi, Nona," sapa salah satu maid dengan senyum ramah.
“Ah, Bi. Ini ada acara apa, ya? Kok tiba-tiba banyak makanan begini?” tanyanya, sambil menoleh ke arah maid yang berdiri di samping.
Sebelum sang maid sempat menjawab, suara langkah tergesa terdengar dari arah ruang tengah. Sang ibu, Rindi Sasongko, muncul dengan vas bunga kristal di tangan.
“Mama mau arisan, Sayang. Kebetulan hari ini lagi kosong jadwalnya, jadi Mama undang semuanya ke rumah,” ucapnya, seraya meletakkan vas bunga di tengah meja.
Camelia hanya mengangguk tanpa ekspresi berlebih. Sejenak memandang sekeliling, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan kembali menaiki tangga menuju kamarnya.
Arisan?
Dalam hidupnya, rumah ini jarang sekali didatangi tamu. Bahkan keluarga sendiri pun bisa dihitung dengan jari kehadirannya. Rumahnya selama ini lebih sering sunyi, nyaris seperti museum, megah, tapi hampa dan hari ini? Ramai oleh tamu-tamu sang ibu?
Entah mengapa, itu hanya membuat Camelia ingin pergi.
Dengan malas, ia menjatuhkan tubuh di sofa kamarnya. Punggungnya bersandar, tangan kanan mengusap wajahnya kasar, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, jika tetap di rumah, ia harus menghadapi segala formalitas dan basa-basi yang tidak disukainya.
Terlebih hari ini, tidak ada kelas, dan tidak ada kewajiban akademik. Seharusnya bisa menjadi waktu untuk istirahat. Namun, kehadiran para tamu ibunya justru membuatnya bingung harus berlindung ke mana.
Ponsel yang terhubung ke pengisi daya di sisi ranjang kini menarik perhatian Camelia. Ia beranjak dari sofa dan mengambilnya, lalu membuka layar dengan satu tujuan—menghubungi teman virtualnya, Gray.
To: Gray - Kalau kamu bosan dan tidak ada kegiatan, biasanya ke mana?
Tak perlu menunggu lama, balasan dari Gray pun muncul.
From: Gray - Kalau aku... biasanya pergi ke tempat yang aku suka dan ditemani secangkir kopi.
To: Gray - Betul juga. Baiklah, akan aku coba lakukan hal itu.
From: Gray - Kamu sedang bosan? Boleh aku menelpon mu?
To: Gray - Iya, sangat bosan. Tapi untuk menelepon... aku rasa jangan. Suasana hatiku sedang tidak baik. Tidak apa-apa, kan?
From: Gray - Tentu, aku mengerti. Kalau begitu, semoga kamu menikmati harimu, Malika. Kalau butuh teman, hubungi aku kapan saja.
Camelia kembali tersenyum. Saran dari Gray terdengar masuk akal. Ia pun bergegas bersiap-siap untuk pergi ke tempat yang bisa menenangkan pikirannya. Beberapa buku ikut masuk ke dalam tote bag—teman setianya yang tidak pernah mengecewakan.
Tak lama, Camelia telah berdiri di depan cermin. Dress bermotif bunga yang ia kenakan berpita kecil di bagian pundak membuat penampilannya tampak manis dan anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai, dengan satu jepit mutiara menghiasi sisi kanan kepala.
Di lantai bawah, Rindi yang masih sibuk mengatur penempatan makanan dan vas bunga di meja ruang tamu, spontan menoleh saat melihat putrinya turun dari tangga. Kening wanita itu mengerut ketika melihat tas besar di pundak anaknya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rindi tanpa basa-basi.
“Ke mana aja. Memangnya kenapa?” jawab Camelia.
“Mama ada acara, loh. Kok kamu malah keluar?” nada bicara Rindi mulai meninggi.
“Kan itu acaranya Mama, bukan acaranya aku. Jadi, kenapa aku harus di rumah?” balas Camelia, masih dengan nada tenang.
Rindi menghentikan aktivitasnya. Napasnya ditarik panjang sebelum akhirnya meluncurkan kalimat yang membuat hati Camelia mencelos. “Kamu tuh dari dulu selalu beda! Nggak pernah mau diajak kumpul, nggak pernah mau bersosialisasi. Mama capek punya anak kayak kamu, Camelia!”
Camelia terpaku.
Bukan soal izin untuk pergi. Tapi kalimat terakhir ibunya—keras, tajam, dan menyakitkan. Ia tidak mengerti, apa salahnya jika ia memilih pergi untuk sekadar mencari udara segar? Ia hanya tidak ingin duduk manis di ruang tamu, mendengarkan obrolan para ibu sosialita yang tidak ia kenal dan tidak ingin ia kenal.
Tidak ada kata lagi yang keluar dari bibir Camelia. Ia memilih memalingkan wajah dan melangkah cepat menuju pintu keluar.
Rasanya sesak. Tapi anehnya, air mata itu tak juga jatuh. Ia hanya menahan semuanya di dalam dada, seperti biasanya.
Dengan langkah yang mantap namun hati remuk redam, Camelia pergi meninggalkan rumah, membiarkan suara ibunya mengambang di udara, tertinggal bersama aroma bunga yang tak lagi terasa wangi.
......................
Camelia berdiri di tepi jalan kompleks perumahan dengan raut wajah datar. Sinar mentari menyusup pelan di sela-sela dedaunan, tapi hangatnya tak mampu meredakan sesak di dadanya. Tak lama kemudian, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Ia masuk tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan tujuan dengan suara nyaris tak terdengar.
"Ke coffee shop KANA, ya, Mas. Di Jalan Raya Setiabudi Nomor 88." ucapnya singkat.
Ya, kafe itu. Tempat pertama yang terlintas di benaknya. Bukan karena pemiliknya, sama sekali bukan. Tapi karena suasananya. Hangat, teduh, dan juga tenang. Bagaikan tempat persembunyian kecil yang menyambut luka dengan pelukan sunyi.
Perjalanan tidak memakan waktu lama. Begitu taksi berhenti di depan kafe yang berdiri di sudut jalan, Camelia pun membayar ongkosnya lalu turun. Ia melangkah perlahan melewati pintu kaca yang dikenalnya, disambut suara lonceng kecil yang berdenting ringan.
Suasana kafe cukup lengang. Hanya ada beberapa pengunjung yang sibuk dengan laptop atau tenggelam dalam buku. Musik akustik pelan terdengar dari sudut ruangan, seperti bisikan yang tak mengganggu.
Camelia memilih tempat di pojok ruangan, dekat jendela. Duduk sendirian. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain keheningan dan segelas minuman hangat. Tak lama kemudian, seorang barista mendekat dan menyapa dengan ramah.
“Selamat siang, Kak. Mau pesan apa?”
“Vanilla latte hangat, sama croissant-nya satu, ya,” ucap Camelia.
“Segera kami antar.” jawab barista itu sopan, kemudian berlalu.
Camelia membuka bukunya dan mulai membaca, walau sebenarnya pikirannya jauh dari kata fokus. Namun, setidaknya halaman-halaman itu membantunya untuk tidak memikirkan ucapan sang ibu yang masih menggema di kepalanya.
......................
Hari itu, Sena tidak memiliki jadwal mengajar. Hari yang cukup lengang membuatnya memutuskan untuk mengunjungi KANA, coffee shop miliknya yang sudah beberapa hari tidak sempat ia tengok langsung.
Seperti biasa, begitu tiba di lokasi, Sena langsung berganti peran menjadi seorang owner. Ia berjalan melewati pintu kaca KANA, menyapa pelayan dengan anggukan kecil sebelum menuju area belakang bar.
“Gimana stok biji kopi dari supplier kemarin, aman?” tanya Sena sambil membuka daftar bahan di tablet yang disodorkan oleh stafnya.
“Masih aman, Pak. Tapi Ethiopia udah mau habis, paling cukup sampai besok sore,” jawab Yuda, barista andalannya, sambil membersihkan portafilter.
Sena mengangguk, lalu menoleh ke arah papan menu yang tergantung di dinding. “Menu baru udah dicobain semua?”
“Udah, yang signature vanilla cold brew itu laris banget kemarin,” sahut Yuda lagi.
“Bagus,” gumam Sena, lalu mengambil gelas kecil berisi espresso yang baru saja selesai diseduh. Ia menyeruput perlahan, menilai rasa dengan kerutan halus di keningnya. “Pas. Aftertaste-nya manis, nggak terlalu asam. Fix, ini kita masukin ke menu tetap,”
“Siap, Pak.” Yuda menjawab dengan semangat.
Langkahnya membawa ia ke sudut bar, tempat biasa ia berdiri untuk memantau suasana ruangan. Namun kali ini, dari sudut mata yang awas, ia menangkap siluet yang terlalu familiar untuk diabaikan.
Pandangan Sena tertuju pada sudut ruangan. Seorang gadis dengan rambut panjang digerai, jepit kecil menghiasi sisi kepalanya, dan sebuah buku terbuka di hadapannya.
“Camelia?” bisik Sena, nyaris tidak terdengar oleh siapapun. Wajahnya seketika berubah, seolah otaknya ingin menolak untuk percaya. Ia bahkan sampai mengucek matanya, memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya.
Namun, itu nyata. Bukan ilusi akibat rindu yang membayang. Gadis itu benar-benar ada di sana, duduk di tempat yang sama seperti kunjungan pertama mereka. Ada kegembiraan yang muncul begitu saja, mengalir hangat dari dada hingga ke ujung senyumnya.
Apa aku samperin aja? Tapi… kalau ganggu gimana? Kalau aku cuma diam, rasanya rugi, batin Sena.
Sena berdiri di balik meja bar, bimbang. Sorot matanya tak lepas dari sosok Camelia yang duduk tenang di pojok kafe, tenggelam dalam bukunya, sama sekali tidak menyadari keberadaannya.
Senyum kecil mengembang di wajah pria itu. "Ada ide!" gumamnya, sebelum menoleh ke arah Yuda.
"Yud, bisa buatin signature vanilla brew satu? Yang versi lembut, pakai milk foam. Tolong banget, ya," kata Sena.
Yuda menatapnya dengan tatapan mengerti. “Buat siapa, Pak? Tamu spesial lagi, nih?”
Sena hanya tertawa pelan sambil menyibak rambutnya ke belakang. “Bisa dibilang begitu.”
Tak butuh waktu lama, Yuda menyerahkan segelas minuman dalam gelas kaca bening, lengkap dengan latte art di permukaannya yang membentuk pusaran lembut. Sena menerima minuman itu dengan hati-hati, lalu melangkah mendekati sudut kafe, tempat di mana sosok yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya tengah duduk.
Camelia.
Gadis itu masih tenggelam dalam bukunya, tak sadar jika langkah pria yang diam-diam mengaguminya dari kejauhan kini kian mendekat.
Sena berhenti tepat di depan meja, lalu meletakkan gelas vanilla brew itu dengan pelan, tak ingin mengejutkannya. “Ini minuman best seller di sini. Aku kira kamu harus coba,” ucap Sena tenang, dengan senyum tipis di wajahnya.
Camelia mendongak, cukup terkejut saat mendapati Sena berdiri di hadapannya. Ada jeda singkat sebelum ia menjawab. “Pak Sena?” ucapnya pelan.
“Yups, aku di luar peran dosen sekarang. Ini kafe, dan aku di sini sebagai pemilik yang sedang promosi menu.” Ia sedikit tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Anggap saja aku sedang berusaha menaikkan rating rasa.”
Camelia menatap gelas di depannya, lalu kembali menatap Sena, kali ini sedikit lebih lama. Ia baru menyadari bahwa pria itu mengenakan kaos hitam polos. Sederhana, tapi entah kenapa, justru terlihat menarik. Kesan formalnya hilang, digantikan dengan aura yang lebih santai, lebih manusiawi.
Meski dalam hati ia mengakui, tampan juga ternyata kalau nggak pakai kemeja, tapi ekspresi wajah Camelia tetap datar. Ia hanya mengangguk singkat dan berkata, “Terima kasih.”
Sena menyadari ekspresi Camelia yang tidak berubah, selalu tenang, dan selalu sulit ditebak. Tapi justru itulah yang membuatnya betah. Ia tersenyum kecil lagi, lalu berkata, “Kalau tidak suka, jangan dipaksa habis. Tapi menurutku, kamu akan menyukainya.”
“Baik, Pak.”
“Sena saja, Mel.” katanya cepat.
Camelia mengerjap sebentar, lalu menunduk, tidak menjawab.
Sena mengambil isyarat itu sebagai akhir dari interaksinya. Ia pun melangkah mundur, kembali ke area bar, meski dalam hati, ia belum selesai menikmati momen singkat tadi.
Sementara Camelia memandangi gelas di depannya. Ia tidak langsung meminumnya, tapi masih berpikir. Apa maksudnya? Apa ini bentuk perhatian, atau hanya basa-basi pemilik kafe?
Tapi tetap saja, meski hatinya ragu, jari-jarinya bergerak meraih gelas itu, perlahan menyesap vanilla brew buatan barista Sena. Enak juga, batinnya. Tapi sekali lagi, Camelia tetap tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Hanya menyesap dalam diam, lalu kembali membuka buku.