‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Titik Lokasi
...•••Selamat Membaca•••...
Anna menceritakan semua yang terjadi, mereka mendengarkan dengan seksama.
“Semenjak kamu melukai Barbara, dia terus memantau kegiatan kamu sampai Barbara mengetahui kalau Nicholle sangat mencintai Mavros, sedangkan Mavros hanya memandangmu saja karena dia mencintaimu.” Maula menatap Mavros dengan tatapan tak menyangka.
“Ketika Nicholle kalut dengan kecemburuannya, Barbara datang dan menawarkan kerja sama. Dia mengatakan bahwa jika kamu menghilang, maka Nicholle bisa lebih unggul di angkatan kita dan Mavros perlahan akan meliriknya. Nicholle setuju dan membuatkan obat yang akan diberikan pada Rayden, mereka menyusun rencana untuk menghancurkan kalian dan membuat kamu ikut dalam program ini. Malam itu Rayden terjebak, kamu sakit hati dan memutuskan untuk ikut dengan kami. Barbara berjanji pada Nicholle bahwa dia hanya akan membawa dan membuang kamu saja, tapi kenyataannya, justru Nicholle ikut dibuang ke hutan ini,” jelas Anna dengan mantap, mereka semua geleng-geleng kepala.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Maula dengan suara yang mulai bergetar.
“Karena malam itu aku mendengar pembicaraan dan rencana mereka di basement. Aku menegur Nicholle tapi dia justru mengancam akan mencelakai orang tuaku dengan bantuan Barbara. Aku takut dan akhirnya tutup mulut.” Maula langsung menangis dengan suara tertahan, takut jika tangisannya akan mengundang perhatian para kanibal itu.
“Jadi, Nicholle melakukan semua ini karena dia cemburu padaku?”
“Iya. Dia terobsesi untuk menjadi yang terbaik dan juga menjadi orang yang dilirik oleh Mavros. Tapi sayangnya, nilai kamu jauh lebih unggul daripada dia. Nicholle juga kesal dan marah saat tau kalau dia ikut dibuang oleh Barbara tapi mau apa sekarang? Kita semua sudah di sini. Aku sempat memberitahu rencana ini ke ponselmu waktu kita di dalam bus, kamu belum sempat membaca karena bus kita diberhentikan oleh segerombolan orang-orang bertopeng dan mereka membuat bus penuh asap lalu kita semua tak sadarkan diri.” Maula ingat dengan kejadian itu, dan bangun-bangun, mereka sudah ada di dalam hutan.
Maula tersentak dan memegang bahu Anna yang bergetar.
“Apa pesan yang kamu kirimkan runtut sesuai rencana Nicholle?” tanya Maula.
“Iya, aku menuliskannya runtut hingga aku menuliskan desa ini juga. Kita sekarang berada di kedalaman hutan dan desa terbengkalai di Spanyol dan tak ada orang yang mau ke sini.” Maula bernapas lega.
“Semoga ada yang membaca pesan kita, dan mereka menemukan kita di sini,” harap Maula.
Yang lain ikut mendapat harapan juga.
“Kamu benar, semoga ya. Maafkan aku Maula.” Maula memeluk Anna.
“Aku maafkan, kita lupakan masalah itu dan fokus untuk menyelamatkan diri. Kita harus tetap hidup sampai bantuan datang.” Mereka mengangguk, berbeda dengan Mavros yang justru berharap bisa di sini lebih lama dengan Maula tanpa adanya Rayden.
Ya. Nicholle memang bersekongkol dengan Barbara, tapi sayangnya, dia juga ikut terseret dengan rencana Barbara ini dan menjadi korban atas perilaku dia sendiri.
Saat bus di berhentikan, beberapa rombongan masuk ke dalam dan membuat dalam bis berasap hingga semua pingsan.
Satu per satu dari mereka dibawa menggunakan helikopter yang masih mengudara, mereka ditarik ke atas dan helikopter membawa ke hutan itu, meninggalkan mereka semua di sana.
“Semoga saja Rayden menemukan ponselku dan membacanya, aku benar-benar berharap dia datang Tuhan.” Maula menyatukan kedua telapak tangannya.
Sofia menatap Maula yang sejak tadi memegangi perutnya. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek, namun masih ada harapan di matanya setelah bicara dengan Anna.
“Kamu yakin baik-baik saja?” bisik Sofia cemas, mengamati gerak tubuh Maula yang makin lamban.
Maula mengangguk pelan. “Aku masih bisa merasa mual seperti biasa, nggak ada darah, dan perutku nggak kencang. Mungkin karena usia kandungan baru dua bulan, masih terlindung di balik tulang panggul. Aku juga tidak jatuh terlalu keras malam itu, juga tidak kena langsung di perut... mungkin aku dan bayiku masih aman.”
Sofia menghela napas lega, lalu menggenggam tangan Maula erat. “Kita harus tetap bertahan. Kamu harus kuat, bukan cuma untukmu... tapi juga untuk bayi kalian.”
“Iya, Sofia.”
...***...
“Bagaimana pencariannya?” tanya Rayden pada Advait.
“Desa yang dikunjungi oleh anggota kita nihil, tidak ada rombongan Maula di sana.” Rayden mengusap kasar wajahnya. Rayden kembali ke dalam kamar lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Leo.
Rayden teringat dengan ponsel Maula yang dia ambil di dalam bus saat itu, ponsel masih hidup dan tak pernah dia periksa sama sekali.
Rayden mengambil ponsel Maula dan memeriksa semuanya, beberapa panggilan tak terjawab hingga pesan-pesan yang sudah berjumlah ribuan. Pesan itu tidak menunjukkan posisi Maula sama sekali hingga pandangannya tertuju pada pesan Anna.
Rayden membaca dengan seksama dan menemukan titik terang mengenai keberadaan istrinya saat ini. Panggilan pada Leo dia undur dan langsung kembali ke ruang monitor. Rayden duduk di depan monitor, mengetik nama daerah yang diberitahu oleh Anna di dalam pesan.
Titik lokasi diterima, mereka tidak menyangka kalau Maula dan rombongan akan sampai di desa sangat terpencil itu.
“Setahuku, desa ini sangat bahaya dan siapa pun yang ke sana tidak pernah kembali lagi. Desa itu dihuni oleh sekelompok orang dengan kelainan yang mengerikan, mustahil jika rombongan itu selamat kalau memang mereka di bawa ke sana,” tukas Ford yang merupakan kepala bagian sistem.
“Aku tidak peduli, kita harus ke sana. Persiapkan semuanya dan bawa anggota lebih banyak. Maula pasti di sana.” Advait langsung bergerak dan memerintahkan tiga puluh anggota dengan lima helikopter menuju ke desa tersebut.
Rayden membawa satu selimut dan juga jaket, sangat yakin bahwa itu akan diperlukan oleh istrinya nanti. Rayden sangat yakin bahwa Maula bisa bertahan di sana.
...***...
Nicholle, Lika, Dorry, Reba, Miller, dan Silly ikut tertangkap dan sayangnya Dorry sudah tidak selamat lagi. Kepalanya terpenggal dan Lika juga tidak lagi memiliki tangan.
Semua yang masih hidup dimasukkan ke dalam kerangkeng dan yang terluka serta tak bernyawa langsung di santap oleh kawanan itu.
Maula langsung menatap tajam Nicholle, ingin dia menjambak Nicholle tapi dia tahan lebih dulu sampai situasi memungkinkan.
Lika dipegang oleh mereka semua dengan posisi telentang, kedua kaki dibuka lebar dan perutnya ditekan kuat.
Maula ngeri melihat hal itu.
Pexir menjilati darah yang keluar dari jalan lahir Lika, dia menunjukkan ekspresi bahagia, menandakan bahwa darah itu sangat lezat.
“Apa Lika hamil?” tanya Maula pada yang lain.
“Dia hamil, jalan empat bulan,” jawab Silly yang membuat Maula merasa lebih ngilu, dia membayangkan kalau posisinya ada di posisi Lika saat ini.
Tak ada satu pun dari mereka yang mau melihat itu, teriakan Lika menggema dan tak ada yang bisa membantu.
Para warga bergantian menyesap darah tersebut lalu tangan salah seorang wanita masuk ke dalam jalan lahir itu, menarik sesuatu yang ada di dalam sana. Napas Lika tercekat dan dia menghembuskan napas terakhir saat wanita tersebut menarik isi perutnya.
Maula langsung terkulai pingsan karena dia menyaksikannya sendiri. Mavros langsung memeluk Maula dan Reba meraih sebuah pisau yang tergeletak tak jauh dari kerangkeng.
Reba berusaha membuka kunci kerangkeng ketika semua sibuk menikmati tubuh Dorry dan Lika.
...•••Bersambung•••...