NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 Cara Melayaninya Dengan Baik

Saat Rayyan menghampiri mereka, Rayyan menekuk sedikit punggungnya di hadapan Eve, dan itu membuat Eve membeku.

“Silvia.” Ucapan Rayyan datar, tapi itu berat dengan tekanan. “Jaga ucapanmu padanya, karena dia adalah istri dari Direkturmu. Hormati dia sebagaimana kau menghormati Direktur Ace. Jika aku mendengarmu atau siapa pun lagi mengatakan hal yang tidak pantas, aku tidak akan segan melempar kalian dari sini.”

Silvia langsung mengangguk gugup. Dia menghadap Eve, menundukkan kepala. “Maaf atas perkataan saya.”

Hanya itu, seolah beberapa kata tadi pun dia keluarkan dengan susah payah.

Sebelum Rayyan berubah pikiran, Silvia melarikan diri dengan cepat.

“Apa saya bisa bicara dengan Anda, Nyonya?”

“Ah?” Otak Eve masih belum bisa mencerna dengan benar. Panggilan ‘Nyonya’ yang tiba-tiba dilontarkan Rayyan serta sikap pria itu padanya membuat isi kepala Eve mendadak kosong.

“Saya ingin bicara dengan Anda,” ulang Rayyan dengan hati-hati.

“Oh, ya.”

Rayyan mengulurkan tangan, mempersilakan Eve jalan lebih dulu ke ruangannya.

Manda hanya bengong. Kepalanya sama kosongnya dengan Eve.

Di dalam ruangan itu, Eve menarik napas panjang. Bukannya senang atas apa yang dilakukan Rayyan, Eve malah gelisah. Baru kali ini dia merasa panggilan ‘Nyonya’ seperti panggilan maut.

“Pak Rayyan, Anda tidak perlu—“

“Cukup panggil saya dengan nama, Nyonya.”

“Baiklah, apa pun itu, tolong jangan perlakukan aku dan memanggilku seperti itu. Panggil aku dengan nama saja, itu cukup.”

“Meskipun pernikahan kalian sandiwara, tapi banyak orang yang akan melihat dan mengamati. Jadi biasakan diri Anda dengan semua itu, atau semua orang akan mempertanyakan bagaimana Tuan memperlakukan istrinya.”

Eve baru membuka mulut, tapi Rayyan sudah berbalik menjauhinya. Dia berdiri di belakang meja, memasang wajah serius. “Mulai saat ini Anda adalah Nyonya Muda keluarga Ace. Selain sebagai istri sementara, tugas Anda juga menjaga nama baik keluarga. Anda akan memiliki ruangan sendiri, dan status Anda tidak jauh berbeda dengan Tuan. Saya akan segera menyiapkan semua itu sekarang.”

Tapi dia tidak bisa!

Sejak Rayyan memperlakukannya dengan hormat di depan banyak orang tadi, tidak ada satu pun dari teman-temannya yang berani mendekat, meminta tolong, apalagi menyuruh.

Ruangannya luas dan dingin. Dinding kaca menghadap ke kota, tapi bagi Eve, itu seperti akuarium kosong tempat dia dipajang tanpa peran.

Di ruangan barunya, Eve hanya seperti manekin yang duduk diam sepanjang hari. Bernapas, dan berkedip. Tidak tahu harus melakukan apa.

Baru kali ini dia merasa sangat tidak berguna.

Bahkan Rayyan mengatakan kalau dia bisa datang dan pulang sesukanya. Seolah dia adalah dekorasi mahal tanpa fungsi.

Ini membuatnya bosan. Manda sibuk, sedangkan dia? Bahkan tukang kebersihan saja lebih berguna.

Eve memutar bolpen di jari telunjuknya hingga jatuh tiga kali. Laci meja ia buka-tutup, meski tak ada apa-apa di sana. Bahkan ia menghitung langkah dari pintu ke jendela lima kali, hanya untuk memastikan dia masih hidup.

Akhirnya dia menyerah.

Eve memutuskan pulang awal, dan pergi ke panti asuhan yang sudah lama tidak ia kunjungi.

Ada banyak makanan yang sudah ia siapkan.

Dari halaman, beberapa anak yang melihatnya berteriak memanggil namanya, sampai semua anak keluar dan berlari ke arahnya dengan suka cita.

“Kakak …!”

Teriakan itu bersahutan dari beberapa mulut. Mereka semua mengelilinginya, memeluk kaki Eve.

“Kakak, kami rindu sekali denganmu. Kenapa kau tidak pernah menjenguk kami? Kami berpikir kau telah melukapan kami.” Salah satu dari mereka berkata dengan nada memelas.

“Maaf ya, aku benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Tapi aku tidak mungkin melupakan kalian. Lihat, aku bawa banyak makanan. Bagi ke teman-teman kalian, dan jangan berebut. Oke?”

Beberapa kantong belanja itu langsung ludes dalam sekejap. Melihat senyum dan tawa mereka, hati Eve menghangat.

Tapi dia kemari bukan hanya menjenguk mereka, melainkan seorang wanita paruh baya yang ada di dalam sana.

Ada sebuah rumah sederhana di sisi bangunan panti. Rumah yang hangat, yang membuatnya lebih nyaman tinggal.

Eve melangkah dengan semangat. Dari teras, dia bisa melihat orang yang ia cari sedang duduk di atas kursi sambil menggenggam bingkai foto di tangannya.

Dia tahu itu bukan foto dirinya, tapi tetap saja hati Eve terasa pedih.

“Bu,” panggilnya lembut.

Wanita itu menoleh, senyumnya langsung melebar. “Eve?”

Eve mengulas senyum, mendekat dan menekuk lutut di sisinya. “Ya, ini aku. Maaf, sudah lama aku tidak mengujungimu.”

Tangan keriput wanita itu meraba wajah Eve, mengusap pipinya dengan lembut. “Jangan minta maaf. Duniamu bukan hanya di sini. Aku mengerti.”

Eve mendekat, memeluk lengan itu. “Aku rindu padamu.”

Tidak tahu bagaimana, tapi air mata Eve jatuh begitu saja, menetes di lengan Liana.

“Kau menangis?”

“Tidak.”

“Kau berbohong padaku.”

Meski Liana buta, dia bisa merasakan air mata Eve yang hangat jatuh di permukaan kulitnya. Hatinya terasa pahit.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Aku baik.”

“Mengenai perceraianmu dengan Noah … kau tidak apa-apa, Sayang?”

“Kau tahu?”

Liana mengangguk. “Noah datang kemari kemarin. Dia bilang … dia tidak sungguh-sungguh membencimu. Dia hanya kehilangan dirinya atas apa yang ia lakukan padamu.”

“Bu, aku tidak ingin membahas dia lagi.”

“Baiklah. Hanya kau yang memahami perasanmu sendiri.” Liana mengulas senyum lembut. “Mengenai pernikahanmu, selamat ya. Aku ikut bahagia mendengarnya.”

Eve berdiri, menarik kursi di sisinya. Dia menggenggam telapak tangan Liana, mengusapnya.

“Aku memang sudah menikah setelah bercerai dengan Noah. Tapi … aku sungguh tidak ….”

“Aku mengerti, Nak,” potong Liana. “Aku percaya padamu. Apa pun keputusanmu, aku tahu kau mengambil keputusan yang benar. Tidak masalah kau menikah terlalu cepat. Aku hanya berharap atas kebahagiaanmu.”

Eve mengulas senyum lega.

“Apa kau mengajak dia ke sini?”

“Tidak. Tapi aku akan mengajaknya ke sini jika dia longgar. Aku akan memperkenalkan dia padamu.”

Eve mengambil bingkai foto di pangkuan Liana, memandanginya dengan baik-baik meski dia sudah melihat itu ribuan kali di kamar Liana.

“Kau merindukan anakmu?”

Liana menarik napas panjang. Tiba-tiba matanya berair. “Tidak sehari pun aku tidak merindukannya. Jika dia kembali, mungkin dia juga akan membawa cucu untukku.”

“Aku yakin, suatu saat nanti, kau pasti akan bertemu dengan anakmu lagi.”

“Saat itu tiba, aku harap dia tidak membenciku.”

“Bu, jangan berkata seperti itu! Kau melakukan yang terbaik untuk anakmu. Dia akan mengerti.”

Namun, Liana tidak merespon lagi.

Sementara di sisi lain, Alex sudah melepas jadwal hari ini. Sebenarnya dia bisa kembali lebih sore, tapi mobilnya berbelok ke arah yang lain.

Sebuah bar yang ada di kota, baru buka beberapa jam yang lalu.

Nyaris setiap hari dia berkunjung, hanya sekedar minum, bersenang-senang, atau bahkan melakukan kesepakatan bisnis di dalam.

Namun kali ini dia sengaja datang untuk menemui Paula—Wanita lima puluhan yang mengenalnya sejak lama.

Wanita itu ada di bagian paling belakang dari bar. Duduk di meja dengan beberapa orang pria di sekitarnya sambil menyesap rokok.

Saat mereka melihat Alex, empat pria itu menyingkir secara alami.

Sedangkan Paula, dia meliriknya sinis dengan senyum miring di wajahnya.

Alex duduk di hadapannya, mengambil sebotol alkohol, menuangkan itu ke gelas dan meneguknya dengan keras.

“Kau tidak datang ke pernikahanku kemarin. Tidak ingin mengucap selamat?”

“Untuk apa?” Paula mencibir.

“Aku bertanya karena kau temanku. Jangan memancing perkara.”

“Baiklah. Selamat,” katanya enggan. Dia menyesap rokoknya lebih dalam, menghembuskannya kasar. “Kau yakin bisa menjalin hubungan?”

“Aku melakukan sebagai permintaan terakhir Ayah. Hanya sementara.”

“Berapa lama?”

“Lima bulan.”

“Kau yakin?” Paula mencibir, jelas mengejek dan menertawakan ucapannya.

“Tidak alasan untuk bertahan lebih lama. Kau mengenal diriku.”

Lalu Paula tersenyum lebar, kali ini terlihat puas. “Kau mau bersenang-senang malam ini? Aku memiliki barang baru.”

“Tidak untuk saat ini.”

“Kenapa? Aku ingat, kau sudah lama tidak membawanya pulang. Sejak … kau kembali ke perusahaan. Wanita itu juga mengatakan padaku kalau terakhir pertemuan kalian, kau tidak seperti dirimu.”

Paula berdiri, mendekat ke arahnya. “Alex, aku tahu ini bukan karena kau sibuk, kan?”

Alex menuang alkohol lagi, meneguknya cepat.

Untuk beberapa detik, Alex diam. Hanya memandang wajah Paula dengan teliti.

“Kau menginginkan wanita itu, Alex?” tanya Paula, nadanya mengintimidasi. “Itu hakmu. Bawa dia padaku, dan aku akan mengajarinya cara melayanimu dengan baik. Aku tahu dia mandul. Kau sangat pandai memilih pasangan.”

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!