NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Di dunia yang hanya mengenal terang dan gelap, Laras adalah satu-satunya cahaya yang lahir di tengah warna abu-abu.

Arka, seorang lelaki dengan masa lalu yang terkubur dalam darah dan kesepian, hidup di balik bayang-bayang sistem dunia bawah tanah yang tak pernah bisa disentuh hukum. Ia tidak percaya pada cinta. Tidak percaya pada harapan. Hingga satu pertemuan di masa kecil mengubah jalan hidupnya—ketika seorang gadis kecil memberinya sepotong roti di tengah hujan, dan tanpa sadar... memberinya alasan untuk tetap hidup.

Bertahun-tahun kemudian, mereka bertemu kembali—bukan sebagai anak-anak, melainkan sebagai dua jiwa yang telah terluka oleh dunia. Laras tak tahu bahwa lelaki yang kini terus hadir dalam hidupnya menyimpan rahasia gelap yang mampu menghancurkan segalanya. Rahasia yang menyangkut organisasi tersembunyi: Star Nine—kekuatan yang tak tercatat dalam sejarah, namun mengendalikan arah zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Valentia~ Senyuman Kematian

Suara ketukan heels kembali menggema saat Valentia melangkah melewati dua tubuh penjaga raksasa yang kini hanya mampu merangkak dan mengerang pelan. Nafas mereka berat. Pandangan mereka buram. Dunia mereka terasa miring, kabur, dan mengambang dalam diam.

Valentia hanya menatap sebentar.

“Jangan terlalu keras memaksakan diri… bisa bikin pingsan, tahu~”

Ia melangkah ke lorong gelap yang tersembunyi di balik bar utama Club Nyx. Lorong itu sempit, namun ujungnya terhubung pada jantung terdalam dari markas Burung Gagak. Tidak ada lampu berlebihan. Hanya cahaya redup berwarna oranye-kebiruan yang mengalir dari lampu dinding—cahaya yang membuat bayangan Valentia menari di sepanjang dinding seperti siluet kematian yang menggoda.

Di ujung lorong sempit itu, bukan hanya ada satu pintu baja… Tapi juga sebuah pintu logam kecil di sisi kiri, hampir menyatu dengan dinding.

Valentia menatapnya sebentar. Lalu menempelkan alat magnetik ke celah tipis di sisi pintu.

Beep. Beep. Bzzzzt…

Pintu itu terbuka perlahan. Mengungkap sebuah lift sempit, hanya muat dua orang.

Valentia masuk. Menekan satu tombol biru yang tak berlabel.

“Pixie, pastikan jalur ini nggak keblokir.”

Suara cempreng menjawab lewat ear-com: “Iyaaa, iyaaa... udah kubikin sensor di lantai 1 ngira kamu itu keranjang sampah otomatis. Ayo cepetan naik, tante killer.”

Valentia terkekeh. “Bocil kurang ajar.”

Lift bergerak ke atas—senyap, nyaris tanpa getaran.

________

Musik jazz menyambutnya. Meja-meja bundar dari kayu tua tersusun rapi. Beberapa pria bersetelan gelap sedang bersantai, bermain kartu, tertawa, atau menyeruput anggur.

Tidak ada yang menyadari kehadirannya.

Valentia berdiri tenang di ambang pintu, lalu berkata pelan. Cukup keras untuk didengar, cukup lembut untuk membuat jantung mereka bertanya-tanya.

“Selamat malam, para burung hitam~”

Kepala-kepala mulai menoleh.

Satu pria berdiri, bingung. “Siapa lo? Ini ruang privat—”

Thud.

Suaranya terputus. Ia jatuh. Tubuhnya menegang, lalu ambruk ke samping sofa seperti boneka mati.

Semua orang langsung bangkit. Kegaduhan mulai pecah.

Valentia tidak bergerak. Hanya berdiri. Tangan kanannya perlahan terangkat, dan dari lengan jubah putihnya, jarum mikro meluncur seperti kilat.

Ssstt—tchkt!

Satu pria yang mencoba menembak terdiam. Jarum kecil menancap di lehernya. Tubuhnya bergetar, lalu ambruk menabrak meja kaca.

Crash!

Valentia berdecak pelan.

“Ara~ Dua orang gagal mempertahankan sistem imun malam ini…”

Seorang lainnya mencoba lari ke arah pintu. Baru tiga langkah, ia kejang dan muntah darah hitam.

Valentia bahkan belum bergerak dari tempatnya berdiri. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah botol anggur yang masih tergeletak di atas meja, lalu menatap perempuan pelayan yang berdiri membatu di sudut ruangan.

“Hmm… racunnya larut sempurna, efeknya juga manis.”

Ia tersenyum hangat. Senyum yang justru membuat pelayan itu semakin pucat.

“Terima kasih sudah menuangkannya dengan anggun,” lanjutnya lirih.

Pelayan itu nyaris menangis. Tangannya gemetar memegangi nampan, tubuhnya menegang.

Valentia melangkah pelan mendekatinya, lalu berbisik di dekat telinganya, nada suaranya lembut dan bergetar seperti bisikan nyanyian pengantar maut.

“Kalau ingin hidup… duduklah. Diamlah di situ dan tersenyumlah.”

Wanita itu mengangguk cepat. Ia menjatuhkan nampan ke sofa dan duduk, tangan menutup mulutnya agar tak mengeluarkan isakan. Air matanya mulai menetes.

Valentia berbalik lagi, menatap sisa pria yang tersisa di ruangan. Empat orang. Semuanya kini menarik senjata dari balik jas mereka. Dua di belakang sofa besar, satu di sisi kiri ruangan dekat minibar, dan satu lagi sudah naik ke balkon dalam.

“JANGAN BERGERAK!”

“ANGKAT TANGANMU!”

“Apa maumu, perempuan jalang—!”

Ssst—TCHKT!

Satu demi satu suara mereka terhenti. Tubuh-tubuh itu membeku sejenak sebelum jatuh bersamaan. Darah menetes… dari titik kecil di leher mereka.

Begitu kecil dan presisi.

Tubuh mereka jatuh hampir bersamaan.

Brak… brak… bruk…

Keheningan turun seperti kabut kematian. Hanya napas pendek dari pelayan yang masih hidup, dan suara musik jazz samar dari speaker langit-langit yang masih menyala—seolah-olah tidak peduli pada tragedi yang baru saja terjadi.

Valentia mengangkat bahu ringan. Lalu mengusap satu-satunya tetesan darah yang mengenai pipinya, seperti sedang membersihkan sisa lipstik.

“Markas gangster, katanya… Tapi daya tahannya nggak jauh beda dari kelinci lab~”

Ia menoleh ke pintu logam di sisi kanan ruangan. Tersenyum kecil.

“Yuk… lanjut lantai tiga.”

Dengan langkah anggun yang tidak berubah sejak awal, Valentia melanjutkan aksinya.

Sebuah anak tangga menjulang dibalik pintu.

Satu per satu anak tangga itu ditapaki, heels-nya kembali mengetuk-ngetuk pelan, menghantarkan denting kematian menuju puncak tertinggi dari sarang Burung Gagak.

Di puncak tangga, sekali lagi berdiri sebuah pintu logam tebal berlapis baja. Kali ini tidak ada panel angka. Tidak ada kunci sidik jari. Hanya satu scanner retina kecil yang menyala redup di sebelah gagangnya.

Valentia menghela napas singkat.

“Pixie, aku butuh jalan masuk,” bisiknya pelan ke mikrofon tersembunyi di kerah jubahnya.

Suara bocah terdengar riang dari ear-com.

“Sebentar… sistemnya kuat, tapi... hmm… oh! Aku nemu! Itu pintu Cuma kenal satu mata pemiliknya.”

Valentia memiringkan kepala. “Dan aku nggak bawa matanya.”

“Siapa bilang? Coba buka lengan kiri jubahmu—aku titip satu alat mungil~”

Valentia menuruti. Dari lengan dalam jubahnya, ia mengeluarkan benda kecil berbentuk kapsul logam. Saat ditekan, benda itu terbuka membentuk lensa optik palsu yang menyimpan pola retina virtual. Inovasi penuh dosa dari bocah bernama Pixie.

“Tempelin aja ke scanner, terus tahan tiga detik.”

Valentia menempelkan lensa itu ke alat pemindai retina.

Beep. Beep. CHKKT!

Pintu bergetar pelan, lalu membuka otomatis dengan dengungan mekanik.

“Wow...Nice job, bocil.”

“Hehe...Jangan lupa kalo pulang beliin es krim, tante!”

Valentia terkekeh kecil dan melangkah masuk.

_______

Ruangan itu lebih gelap dari lantai sebelumnya. Lampunya sengaja diredupkan, hanya ada lampu gantung tunggal yang menyala redup di atas meja kerja mewah dari kayu hitam. Bau asap cerutu dan parfum mahal memenuhi udara. Di balik meja, seorang pria tua berambut perak duduk sambil menyusun berkas.

Begitu mendengar pintu terbuka, ia langsung berdiri. Gerakannya cepat, terlalu cepat untuk pria seusianya. Tangannya meraih laci kanan dan menarik sebuah pistol berlapis krom.

“SIAPA KAU?! BERANI-BERANINYA MASUK KE SINI!”

Valentia tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan. Langkahnya tetap tenang, heels-nya bergema ringan di lantai kayu.

“JANGAN MENDEKAT!” pria tua itu kembali berteriak. Entah mengapa aura yang dibawa wanita itu membuat tangannya bergetar. Nalurinya untuk bertahan hidup mengatakan jika sosok itu berbahaya.

Valentia tersenyum manis, menatap ujung pistol yang diarahkan kepadanya.

“Sejujurnya... aku Cuma ingin ngobrol~”

DOOR!!

Pelatuk ditarik. Peluru melesat.

Namun yang ditembak hanyalah bayangan.

Valentia bergerak satu inci ke kiri—cukup untuk membuat peluru itu menabrak rak buku di belakangnya. Ia bahkan tidak menghentikan langkah. Matanya masih menatap lurus, senyumnya tidak berubah.

“Ara~ Kamu terlalu nakal untuk seorang lelaki tua…”

Ketua Burung Gagak menegang. Tangannya bergetar.

“A—Apa yang kau…”

Seketika, tubuhnya mulai lumpuh.

Pertama jari-jarinya. Lalu lengannya. Kaki. Dada. Ia terhuyung ke belakang dan terduduk di kursi kulit hitamnya. Nafasnya masih ada. Matanya masih terbuka. Tapi tubuhnya… sepenuhnya kehilangan kendali.

Hanya mulutnya yang masih bisa bergerak.

“...apa… yang kau… lakukan…”

Valentia mendekat dan duduk santai di sisi mejanya. Ia menyilangkan kaki, lalu membuka saku kecil di pinggangnya dan mengeluarkan jarum super-tipis dengan ujung transparan.

“Jarum ini… sudah menyentuhmu sejak kau menarik pistol,” bisiknya sambil menunjukkan lengan kiri sang pria. Ada luka tusuk nyaris tak terlihat di dekat urat nadi.

“Pixie bantu aku menghitung waktu paralisanya. Katanya... kamu cuma punya satu jam sebelum semuanya mati rasa, termasuk lidahmu. Jadi… cepat jawab.”

Wajah pria tua itu menegang ketakutan. Keringat menetes dari pelipisnya.

“Pertanyaannya sederhana,” lanjut Valentia sambil menyandarkan dagu di punggung tangannya.

“Dimana kalian menyimpan dokumen transaksi dengan keluarga Lim?”

“Buruan jawab...Aku lagi malas main tabak-tebakan tau~”

 

1
Marga Saragih
/Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Marga Saragih
hhh tarik napas
Marga Saragih
/Hammer//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marga Saragih
oh ternyata
Marga Saragih
😰😰😰😰😰😰😰😰
Marga Saragih
napas dulu
Marga Saragih
balas dendam yang mengerikan
Marga Saragih
bocil ni bos senggol dong /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marga Saragih
tegang banget
Marga Saragih
keren abis
Marga Saragih
baper abis
Marga Saragih
/Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Marga Saragih
lucu juga senyum sendiri
Marga Saragih
siapa arka sebenarnya?
Marga Saragih
menguras emosi
Marga Saragih
/Good//Good//Good//Good//Good//Good/
Marga Saragih
gemes thor
Hamdan Almahfuzd: Kok gemes😭 perasaan aku bikin adegan horor deh🙄
total 1 replies
Marga Saragih
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
Marga Saragih
/Ok//Ok//Ok/
Marga Saragih
kayanya Arka mafia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!