Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9.
Fany's Pov.
Sean sialan, andai saja mom Keisha tidak datang kemarin, mungkin aku sudah akan mati diterkam Sean yang sialan itu. Bagaimana bisa dia melakukan itu padaku, padahal dia sudah tahu bahwa aku tidak mau disentuh olehnya.
Untung saja mom Keisha juga tidak terlalu banyak bertanya terkait tamparan keras yang kuberikan pada putranya itu. Jika sampai beliau tahu, maka tamatlah riwayatku. Bukan hanya keluarga Sean yang sudah berbaik hati menyelamatkanku dari kematian saat aku baru dilahirkan saja yang akan merasa kecewa, tapi keluargaku juga pasti akan sangat membenciku.
Oh Tuhan, sampai kapan ini akan berakhir? Apa benar aku akan hidup bersama orang yang tidak kucintai seumur hidupku? Apa benar Sean adalah jodoh yang kau berikan padaku? Jika iya, kenapa aku tidak bisa sedikit saja menerimanya? Kenapa aku masih saja memiliki perasaan benci terhadap dia, suamiku sendiri?
Sejak kemarin siang, Sean memang tidak menggangguku lagi, bahkan ia juga menyelesaikan tugas yang diberikan padaku sendiri. Aku juga tidak melihat pria itu berlalu lalang di dalam rumah, tapi aku mendengar bahwa dia sudah pulang semalam dan agak larut malam. Darimana saja dia?
Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku tidak mendapati Sean pagi tadi saat aku bangun tidur, mobilnya juga sudah tidak ada di parkiran. Apa mungkin Sean bangun pagi - pagi sekali dan sudah berangkat ke kantor. Ah rasanya tidak mungkin karena ini baru jam lima pagi, sudahlah apa peduliku. Sudah berangkat atau belum, itu bukan urusanku.
Aku memutuskan untuk segera memasak untuk mengisi perutku yang kosong. Tapi, suara langkah kaki yang tidak beraturan menghentikan langkahku yang akan menuju ke dapur, aku menoleh ke pintu masuk, dan mendapati pria yang baru saja kupikirkan barusan, Sean. Dia ada di sana dengan keadaan yang acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian kerjanya yang kemarin yang sudah kusut dan agak basah mungkin karena berkeringat.
"Hiks."
Bukan hanya hampir tersungkur, Sean juga beberapa kali cegukan dan berjalan dengan menggunakan tangannya untuk berpegangan pada dinding atau apapun yang bisa diraihnya. Jika dilihat dari kondisinya saat ini, aku yakin bahwa dia sedang mabuk. Dasar sialan, selain bajingan ternyata ia juga pria pemabuk. Sungguh memalukan.
Aku berusaha mengabaikannya dan pura-pura tidak melihatnya. Mabuk atau judi, itu urusan dia. Tidak ada hubungannya sama sekali denganku. Aku juga tidak ingin tahu apa dia akan mati atau tidak.
Suasana di dalam ruang kerja Sean mendadak berisik, aku sudah mencoba untuk mengabaikan apa saja yang ia lakukan di dalam sana. Tapi lama kelamaan aku jadi merasa agak terganggu.
"Prank"
Astaga, suara suatu benda yang pecah. Apa yang dilakukan Sean? Kenapa aku jadi merasa tidak enak? Apa Sean sedang mengamuk? Atau jangan-jangan Sean, ya Tuhan, untuk apa aku menghawatirkan dia? Tapi bagaiamana jika ia mati dan mom Keisha sampai menyalahkanku? Aku harus melihatnya sekarang juga.
Aku berjalan setengah berlari menuju ke ruang kerja Sean yang merangkap sebagai kamar Sean dalam beberapa bulan ini. Pintu ruangan itu tidak dikunci sehingga aku bisa dengan cepat tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana meskipun aku belum masuk ke dalamnya.
Sean tampak tengkurap di lantai dengan serpihan kaca yang melukai tangannya. Tidak jauh dari serpihan kaca itu, ada bingkai foto yang terjatuh. Mungkin saja kaca itu berasal dari bingkai itu, mungkin saja Sean berusaha mengambilnya dalam keadaan seperti itu, terlihat dari sebelah tangan Sean yang lainnya tampak memegang kertas yang kuyakini adalah isi dari bingkai itu sendiri.
"Inka," Aku bisa mendengar Sean sedang menyebut nama seseorang, atau dia mungkin baru saja menyebut nama Arinka. Jika mendengar cerita dari mom Keisha waktu itu, aku merasa kasihan pada Sean, ia benar-benar mencintai Arinka tapi kemana perginya gadis itu? Dua kali patah hati, Sean pasti benar-benar terpuruk karenanya. Aku harus membantunya terlebih dulu, kasihan jika sampai ia kehabisan darah karena luka di tangannya.
Aku membantu Sean berdiri dan membimbingnya untuk rebahan di sofa, setelah berhasil, aku pergi ke sudut ruangan dimana ada kotak obat dan perlengkapan medis rumahan yang tersedia di sana.
Aku membersihkan luka Sean terlebih dulu, beberapa serpihan kecil kaca itu masih menusuk punggung tangan Sean dan itu pasti menyakitkan. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mencabutnya sendiri satu persatu, jika harus membawa Sean ke rumah sakit, itu jelas akan memakan waktu yang lama karena jarak dari sini sampai rumah sakit sangat jauh, belum lagi di jam seperti ini sangat sulit untuk mendapatkan taksi.
"Sean, tahan sebentar!" Ucapku sambil mencabut serpihan kaca itu dari punggung tangan Sean satu persatu. Sean tidak menunjukkan ekspresi apapun, apa dia tidak kesakitan sama sekali? Apa sakit hatinya telah mengalahkan segala kesakitannya?
Setelah ku pastikan tidak ada serpihan kaca di tangan Sean dan bagian tubuh lainnya, aku membersihkan lukanya dan membalutnya dengan perban agar darahnya mau berhenti keluar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya luka seperti itu jika Sean sudah sadar nanti. Saat ini Sean sedang tertidur pulas seperti orang mati, tidak bergerak selain perutnya yang mengembang kempis karena bernafas dan juga detak jantungnya yang berdegup beraturan. Aku jadi tertarik untuk melihat sebenarnya foto siapa yang sedang dipeluk Sean saat ini. Dengan rasa penuh penasaran ku, aku mengambil lembar foto itu dari tangan Sean dan melihat seseorang gadis yang mirip dengan ku. Tapi, aku bisa pastikan bahwa itu memang bukan diriku. Mungkinkah dia adalah Arinka?
Kenapa wajahnya sangat mirip denganku? Apa ini juga menjadi alasan kenapa Sean memutuskan menikahiku? Agar Sean bisa merasakan bahwa Arinka ada bersamanya meskipun kenyataannya aku dan Arinka adalah orang yang berbeda?
Apa sampai sebesar itu cinta Sean pada Arinka? Bahkan ia menikahi orang yang mirip dengannya? Lalu, kemana Arinka sebenarnya? Kenapa Sean tidak berusaha mencarinya?
Sebaiknya aku cepat memasak dan bersiap pergi ke kantor, datang atau tidak, Sean adalah bosnya. Tidak akan menjadi masalah untuknya. Tapi, aku harus tetap datang demi keprofesionalan pekerjaanku. Lagipula jika aku dan Sean tidak datang di waktu yang bersamaan itu jelas akan menimbulkan berbagai pertanyaan dari semua pegawai kantor.
Bersambung ..