"5 milliar untuk rahimmu! Lahirkan seorang pewaris untukku! Setelah dia lahir, kau boleh pergi!"
Nayla bingung untuk mengambil keputusan secepat itu. Tetapi dia sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi Ayahnya yang mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa waktu lalu.
"Jika sampai satu tahun, aku tidak kunjung melahirkan. Apa kompensasinya?"
"Kau harus tetap mengembalikan uangku dengan menjadi budak wanitaku!"
Bagaimana reaksi Nayla? Akan kah dia tetap melanjutkan syarat pernikahan kontrak dengan CEO di tempat dia bekerja? Bagaimana nasib Keluarga Nayla Suherman selanjutnya? Akan kah tumbuh benih-benih cinta di dalam nya. Yuk kepoin cerita Nayla dan Mahendra Wijaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Najwa Camelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bandrek Tape
Selamat membaca..
🍒
🍒
🍒
"Astaghfirullahalazdim, Abang ini. Kagetin Nae aja! Pulang nggak ditendang, datang nggak diundang! Maunya apa sih, Abang! Untung wajah glowing! Kalau burem bisa mines ini mata!" Nayla ngomel panjang tak berhenti seperti kereta ekspress Surabaya-Jakarta.
Si Abang gojek bergeming. Ia membetulkan posisi duduknya. "Maaf, mbak. Tadinya saya mau pulang, setelah mengetuk pintu mbak berkali-kali. Namun tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi keburu hujannya menyambut saya nggak boleh pergi dari sini," Abang ojek nya berbicara santai, berbeda dengan Nae. Yang kalau bicara sudah kayak burung Murai milik Pak Hadi. Ngeroll muluh.
"Enak aja, nggak ada tanda-tanda kehidupan! Dikira mbak Kunti apa, saya nya! Ini buktinya masih bernafas bebas! Mau apa ke sini lagi! Mau ngintip saya, ya!" sungut Nae sambil berjalan ke arah kotak pengaman listrik.
"Ehh, maaf mbak. Bukan hobby saya mengintip! Mending langsung lihat daripada ngintip. Dapatnya seiprit!" balas Abangnya sambil beranjak dari kursi, lalu berjalan menghampiri Nayla yang sedang memeriksa pengaman listrik. "Listriknya lagi ada pemadaman, mbak. Kan lagi hujan deras sekarang. Tadi aja ada petir juga."
"Siapa yang nanya?" ketus Nae.
"Saya beri tahu, mbaknya. Biar nggak bingung mau tanya siapa. Tetangga juga pada di dalam, nggak ada yang keluar."
"Sok tahu!" cibir Nae.
"Tahu anget dicocol kecap, mantap," sahut Abang ojek.
"Beli, noh. Di pojokan dekat gapura merah!"
"Saya ke sini bukan mau beli tahu, mbak. Saya ke sini mau minta ongkos ojeknya yang tadi belum mbaknya bayar," ujar Abang ojek sambil tersenyum.
"Ohh, iya. Lupa tadi belum bayar," Nayla menepuk jidatnya. "Bentar, Nae ambilin dulu uangnya," baru melangkahkan satu kaki, bola mata Nae sudah mendelik.
"Maka nya, mbak. Jadi orang itu jangan ngegas dulu," ujar Abang ojek.
Nayla membalikkan tubuhnya dan mendekat ke arah Abang ojek. "Jaga ya omongannya!" Nayla menunjuk ke wajah Abangnya.
"Cantik-cantik, kok nyolot!" Abang ojek menurunkan jari telunjuk Nayla dari depan mukanya. "Awas kesambet malaikat yang lewat," kekeh Abangnya.
"Apa hubungannya?"
"Ada!"
"Nggak ada!" bantah Nayla.
"Kalau belum ada, mari kita mulai saja. Kan jadi ada," Abang ojek tersenyum menyeringai.
"Mau mu!"
"Mau kita berdua!"
"PD!" pekik Nayla sambil berlari ke dalam rumah.
Nayla menyalakan lampu senter dari ponsel pintarnya untuk menerangi hunian kamarnya yang gelap gulita, akibat listrik yang padam.
Setelah mengambil uang dari dalam tas untuk membayar ongkos gojeknya tadi. Bergegas dia keluar kamar dan menghampiri Abang ojeknya.
"Nih, ongkosnya. Lunas nggak pakai ngutang!" kata Nayla sembari menyodorkan uang ke Abang ojeknya.
"Sabar, mbak Nayla. Jangan ngegas aja dari tadi. Nanti cantiknya luntur."
"Biarin! Yang ngegas aku sendiri!"
"Ciri cewek susah move on ya begini ini. Move on itu butuh ektra sabar. Butuh waktu yang tidak sebentar. Dan yang terpenting itu butuh kesibukan. Biar bisa..." Abang ojeknya belum melengkapi kalimat nya, tapi sudah disambar langsung sama Nayla.
"Biar bisa melupakan hutang!" seloroh Nayla, yang mendapatkan lengkungan tipis di sudut bibir Abang ojeknya.
"Hahaha.. Hutang janji si mantan yang kabur entah kemana," kekehnya.
"Nae, tak punya pacar. Jadi aman dari janji si mantan yang minggat."
"Sayang banget, ya. Mbak Nayla nggak punya pacar. Benar-benar disayangkan, masa indah di SMA dilewatkan begitu saja."
"Mending nggak punya pacar! Daripada kayak situ. Punya pacar masih aja galau. Jedak e karo kunu, atine enggoh wong liyo. Nggur gae payung soko udan lan entok maturnuwun (Dekatnya sama kamu, tapi hatinya buat orang lain. Hanya buat payung dari hujan dan dapat ucapan terimakasih saja)" olok Nayla.
"Ya sudah, kenalan sama mbaknya saja, sekarang," ucap Abang itu seraya menyodorkan tangannya ke arah Nayla. " "Kendra," ucapnya menyebutkan nama.
"Heem.."
"Sakit gigi, mbak?"
"Kumur-kumur!" geram Nae. "Sudah-sudah sana pulang!" usir Nae.
"Ngusir, mbak?"
"Nggak! Tapi hujannya sudah reda itu! Narik lagi sana! Biar cepat dapat uang banyak. Mayan buat halalin cewek nya biar tak galau lagi! Husssh.. Husshh.."
"Iya.. Iya, mbak. Saya pergi. Tapi nggak usah dorong-dorong begini juga! Awas kalau kangen!"
"Biyuh.. Kepedean nih orang! Minta direndam satu hari satu malam, biar jadi bandrek tape!"
****
Setelah pulang dari rumah Nayla. Kendra melajukan motornya ke arah hunian yang biasa dia datangi. Namun, sesampainya di depan rumah yang sangat familiar bagi Kendra itu. Terparkir beberapa mobil mewah di halaman rumah Nilam, kekasihnya.
'Mobil siapa itu? Ramai banget rumah Nilam, apa ada acara? Kenapa Nilam tidak mengundang aku?' batin Kendra bertanya-tanya sendiri.
"Ah, sudahlah. Aku nggak mau kepo yang penting sekarang aku masuk dulu untuk mengajak Nilam membeli cincin yang diinginkan kapan hari.'
Setelah memarkir motor yang selalu setia menemani mengais rezeki mengeliling kota untuk mengantar jemput penumpang. Kendra melenggangkan kakinya dengan santai dan wajah berseri-seri.
Betapa dibuat terkejut hati Kendra dengan perlakuan Nilam dan keluarganya. Bagaimana tidak? Jika Kendra melihat langsung seorang cowok sedang menyematkan cincin di jari Nilam, notabene nya masih menjalin hubungan dengan nya.
Hujan deras kembali turun ke bumi bersamaan suara guntur yang menggelegar, mengiringi hati Kendra yang kecewa dan teramat sakit. Kekasih yang begitu dicintai nya, malam ini bertunangan dengan cowok yang dia kenal. Ya, cowok itu adalah Raimond teman satu kampusnya. Raimond Wibowo, laki-laki yang tersohor di kampusnya. Kaum hawa mana yang tidak jatuh cinta pada dia. Dilihat dari tampang dan brangkas. Sudah pasti mendapatkan sepuluh jempol.
"Tega kamu Nilam! Begitu muda kau hianati cinta tulusku padamu! Hanya karena harta dengan mudahnya kau berpaling dariku!" ucap Kendra dengan suara bergetar.
"Sudah terima nasibmu saja, Kendra! Lihat dirimu! Kau menghidupi dirimu saja kembang kempis, apalagi membahagiakan Nilam! Aku tidak percaya, kamu bisa itu semua!" Raimond merendahkan Kendra di depan Keluarga Nilam dan juga para tamu yang berada dalam ruangan itu.
"Nilam.." panggil Kendra dengan sorot mata yang tajam, meminta penjelasan pada sang kekasih hati. "Coba jelaskan apa yang sedang terjadi, Nilam? Ini semua hanya sebuah mimpikan? Hanya lelucon belaka?"
Nilam menggelengkan kepalanya. "Ini bukan mimpi dan juga bukan lelucon, Kendra! Kita sudah putus!"
"Putus? Jangan bercanda kamu, Nilam! Kapan kita putus? Bahkan aku sudah menyiapkannya sebuah cincin seperti yang kau pinta kemarin," tutur Kendra dengan hati yang diselimuti amarah dan cemburu.
"Sejak kau tidak mampu membelikan aku cincin, waktu itu! Aku berpikir kembali untuk melanjutkan hubungan kita ke jenjang pernikahan. Hanya sebuah cincin kawin saja kamu tidak bisa membelikan untukku! Apalagi jaminan hidup yang mapan untuk ke depannya! Dan maaf aku telah mengambil keputusan itu! Lebih baik kita putus di sini, daripada kita bercerai setelah menikah nanti!" ucapan Nilam bagaikan belati yang mengiris-iris hati Kendra. Terlalu sungguh terlalu. Bahkan teramat kejam kata-kata yang dilontarkan oleh Nilam kepada Kendra, saat ini.
"Kendra! Kamu sudah dengar sendiri ucapan Nilam! Sekarang cepat kamu angkat kaki dari rumah ini, sebelum satpam menyeretmu untuk keluar dari rumah ini!" suara wanita paruh baya yang melahirkan Nilam.
"Terimakasih Tante, tidak perlu satpam yang menyeret aku untuk keluar dari rumah ini! Karena aku mempunyai kaki yang sangat kuat untuk menopang tubuhku! Apalagi hidupku! Dan terimakasih juga buat kau Nilam. Tuhan masih menyayangi dan menyelamatkan aku dari keluarga yang gila harta! Yang hanya memandang semuanya dari materi! Tapi ingat, dengan harta tak selamanya hidupmu akan bahagia dan tentram, karena harta juga bisa membinasakan kamu di dunia! Dan kamu akan merugi telah membuangku begitu saja! Kamu akan menyesali seumur hidupmu juga keluarga mu!" Kendra mengeluarkan semua uneg-uneg yang sedari tadi mengganjal di hatinya.
"Sudah miskin, sombong! Keluar kamu, sekarang! Sudah mulai aku lihat wajahmu! Merusak suasana saja!" ucap Raimond mengusir Kendra.
Kendra mengepalkan tangannya, dia menahan amarahnya yang sudah di ubun-ubun ingin meletus. Tetapi dia berusaha tenang menghadapi hal kecil seperti itu.
"Cuma satu pesanku, Nilam! Kamu akan menyesali setelah tahu aku siapa sebenarnya!" suara bariton Kendra menutup ucapannya dan melangkah pergi dari rumah Nilam. Dibawah guyuran hujan yang sangat deras. Kendra tidak merasakan kedinginan sama sekali karena tertutup rasa marah yang teramat besar.
🍒🍒🍒🍒🍒