NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Pagi itu, langit Seoul bersih tanpa awan, seolah semua kejadian besar yang pernah mengguncang kota ini hanyalah mimpi buruk yang jauh di masa lalu. Namun bagi Asterion, pagi ini adalah bencana pribadi yang nyata.

Langkah kecilnya terasa berat di trotoar, sementara tangan mungilnya tetap tergenggam erat oleh ibunya.

"Ibu… apakah tidak bisa lain kali saja untuk pergi ke taman kanak-kanak?" tanyanya, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan memohon.

Elsha menoleh, menatapnya dengan tatapan lembut namun tegas.

"Asterion, berhentilah mengeluh. Taman kanak-kanak itu sangat seru, lagipula kau harus belajar berteman."

Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Tapi kan aku sudah punya teman… Kei, Nolan, dan Mira."

"Iya, ibu tahu," jawab Elsha sambil tersenyum tipis. "Namun memiliki banyak teman itu juga sebuah keuntungan. Kau bisa mengerti banyak karakter orang. Dunia ini luas, dan orang tidak semuanya sama."

Asterion terdiam. Kata-kata ibunya mungkin masuk akal, tapi hatinya masih menolak. Teman yang terlalu banyak… itu berarti terlalu banyak kerepotan.

Elsha melihat wajah putranya yang mulai memasang ekspresi ‘diam tapi memberontak’. Lalu, ia memutuskan mengeluarkan senjata rahasia.

"Kalau kau terus menolak, ibu tidak akan membelikanmu yogurt lagi."

Sekejap, dunia Asterion runtuh.

"Sial… jangan yogurtku…" pikirnya. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa yogurt. Itu makanan terenak kedua setelah ASI… yang sekarang sudah tidak bisa aku minum lagi…"

Dengan wajah panik, ia segera merapat ke ibunya, memeluk pinggang Elsha sambil berkata, "Maaf ibu… aku akan pergi… asal yogurtnya jangan diambil."

Elsha tak kuasa menahan tawa kecil. Ia mengusap kepala anaknya yang hitam kebiruan itu. "Bersikaplah baik, dan ibu akan membelikanmu banyak yogurt."

Mendengar janji itu, wajah Asterion kembali cerah seketika. Langkahnya jadi lebih ringan, meskipun sesekali ia masih melirik ke depan dengan tatapan curiga, seperti prajurit yang memasuki medan perang.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah gedung yang besar dan elegan. Tulisan di bagian depan terpampang jelas:

Taman Kanak-Kanak Nasional Korea

Bangunan itu memiliki halaman luas, taman bunga terawat, dan air mancur yang memercikkan pelangi mini di bawah cahaya matahari.

Asterion berhenti sejenak, memandang kagum. "Luas sekali untuk taman kanak-kanak…" pikirnya.

Elsha menepuk bahunya. "Ayo, masuk."

Saat mereka melangkah melewati gerbang, Asterion langsung menyadari sesuatu: ini bukan taman kanak-kanak biasa. Anak-anak yang datang memakai seragam khusus, dan sebagian diantar oleh mobil-mobil mewah. Sepertinya hanya keluarga berpengaruh atau kaya raya yang bisa memasukkan anak mereka ke sini.

"Untung saja aku anak Komandan Ryu…" gumamnya. "Kalau tidak, mungkin aku cuma bisa menatap pagar dari luar."

Baru saja ia hendak melangkah ke aula utama, suara yang sangat ia kenal memanggil dari kejauhan.

"Asterion!"

Kepala Asterion menoleh cepat. Tiga sosok berlari ke arahnya—Mira, Kei, dan Nolan. Mereka kini sudah berumur lima tahun, lebih tinggi darinya, tapi wajah mereka masih sama seperti saat terakhir kali bertemu.

"Mira…" gumam Asterion, sedikit lega sekaligus terkejut.

Mira langsung memegang tangannya. "Akhirnya kau datang juga! Kami pikir kau akan terus menghindar."

Kei dan Nolan ikut tersenyum… sampai Asterion mengangkat alisnya dan berkata pelan,

"Ah… bukankah kalian yang membuatku terbang saat aku masih bayi?"

Sekejap, Nolan dan Kei membeku seperti patung. Ingatan memalukan itu kembali membanjiri kepala mereka—hari di mana mereka tanpa sengaja menggunakan kekuatan bermain mereka dan membuat bayi Asterion ‘terbang’ melintasi ruangan.

Kei menggaruk belakang kepala. "Hehe… itu kan sudah lama…"

Sebelum perasaan canggung semakin menebal, seorang guru perempuan muda datang menghampiri. Senyumnya hangat, matanya penuh semangat.

"Halo semuanya! Wah, hari ini kita kedatangan murid baru." Ia menatap ke arah Asterion. "Namamu Asterion, ya? Senang bertemu denganmu."

Ia juga menyapa Elsha dengan sopan, lalu memberi isyarat. "Ayo anak-anak, kita segera mulai kegiatan."

Kei dan Nolan segera masuk duluan, Mira menarik tangan Asterion, tapi belum sempat ia melangkah, Elsha memanggilnya.

"Asterion!"

Ia berbalik. Elsha mengeluarkan satu botol yogurt dari tasnya dan menyerahkannya.

"Jadilah anak baik, ya. Setelah pulang, ibu akan membawakan banyak yogurt kesukaanmu."

Wajah Asterion langsung berbinar. Tanpa ragu ia mencium pipi ibunya. "Terima kasih, ibu!"

Di sisi lain, Alra—yang berdiri bersama dua sahabatnya, Yura dan Liana—menyipitkan mata sambil berbisik ke Elsha, "Bahkan Nolan tidak pernah menciumku seperti itu."

Elsha tertawa kecil. "Sudahlah, masuk sana. Guru kalian menunggu."

Asterion melangkah masuk, masih memeluk yogurtnya seolah itu harta karun.

Begitu anak-anak masuk, suasana di depan gerbang langsung berubah. Yura menoleh ke Elsha dan Liana.

"Jadi… bagaimana? Kita jadi berbelanja kan? Aku dengar ada produk kosmetik baru yang lagi viral."

Alra langsung mengangguk cepat. "Ayo! Aku butuh lipstik yang katanya bisa tahan makan mie pedas dua kali."

Liana tersenyum anggun. "Tapi sebelum itu… sarapan dulu. Aku belum makan."

Elsha menghela napas sambil tersenyum. "Baiklah… tapi jangan sampai lupa jemput anak-anak tepat waktu."

Ketiganya tertawa ringan, lalu berjalan bersama meninggalkan gerbang sekolah. Di belakang mereka, suara tawa anak-anak dan arahan guru masih terdengar samar.

Guru muda itu berdiri di depan kelas dengan senyum lebar, tangannya bertepuk ringan untuk menarik perhatian.

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru!"

Serentak ruangan dipenuhi sorakan riang. Suara tawa, tepuk tangan kecil, dan bisik-bisik antusias memenuhi udara. Mira langsung berteriak, "Akhirnya dia datang!" Kei dan Nolan saling pandang dan ikut tersenyum, seolah sudah tahu siapa yang dimaksud.

Guru itu memberi isyarat, mempersilakan Asterion masuk.

Saat langkah kecilnya melintasi ambang pintu, ruangan seakan meredup sesaat—bukan karena cahaya berkurang, tapi karena semua pandangan tertuju padanya. Rambutnya yang hitam kebiruan berkilau seperti diselimuti debu bintang, dan matanya… ah, matanya. Mata berwarna biru keperakan yang dalamnya seperti langit malam bertabur bintang.

Beberapa anak menghela napas pelan, kagum. Bahkan guru muda itu sendiri sedikit tertegun sebelum kembali tersenyum.

"Baiklah, Asterion… maukah kamu memperkenalkan diri kepada teman-teman?"

Asterion berdiri di depan kelas, menatap puluhan mata kecil yang menunggunya. Senyumnya muncul, tipis dan agak canggung.

"Halo… namaku Asterion… umurku tiga tahun… aku suka yogurt."

Nada suaranya terdengar sedikit dipaksakan, seperti anak yang tidak terbiasa berbicara di depan banyak orang tapi tetap mencoba sopan.

Guru itu tertawa kecil, lalu bertepuk tangan, diikuti seluruh murid. Suara riang memenuhi ruangan lagi.

Namun di tengah keramaian itu, mata Asterion menangkap sesuatu.

Di sudut kelas, ada seorang anak perempuan dengan rambut perak pendek, dan tatapan yang sama sekali tidak antusias. Tidak ada tepukan tangan, tidak ada senyum. Ia hanya duduk, menatap ke arah jendela seolah dunia di luar jauh lebih menarik.

Asterion menahan rasa penasaran. "Hm… aneh. Tapi… bukan urusanku." Ia mengalihkan pandangan, tidak ingin memikirkan terlalu banyak.

Guru itu kemudian mengatur Asterion duduk di antara Mira dan Nolan, lalu pelajaran dimulai. Hari ini mereka belajar membaca, berhitung, dan menulis—materi dasar sesuai umur mereka.

Anak-anak lain mulai berjuang dengan buku mereka. Ada yang salah menulis huruf, ada yang bingung menghitung dengan jari, ada pula yang terlalu sibuk menggambar di kertasnya sendiri.

Sementara itu, Asterion mulai bekerja. Tangannya bergerak cepat dan tepat, menulis huruf dengan rapi, menghitung tanpa ragu, dan membaca kalimat sederhana tanpa tersendat. Ia menyelesaikan semua tugas bahkan sebelum guru selesai menjelaskan instruksi kedua.

Guru itu, yang awalnya berkeliling membantu murid lain, tiba-tiba berhenti di meja Asterion. Matanya membulat, bibirnya tersenyum lebar.

"Wah… kamu hebat sekali, Asterion! Kamu baru berumur tiga tahun, tapi pola pikirmu sudah seperti anak yang jauh lebih besar."

Kelas langsung hening. Puluhan pasang mata kecil menoleh padanya. Ada yang kagum, ada yang iri, ada pula yang bingung bagaimana anak sekecil itu bisa mengerjakan semuanya begitu cepat.

Asterion tersenyum canggung sambil menggaruk kepala.

"Sebenarnya… aku sudah diajari oleh ibuku sejak umur satu tahun."

Mira menatapnya bangga. "Aku tahu kau pintar!" Nolan dan Kei saling berbisik sambil melirik Asterion, lalu pura-pura fokus pada buku masing-masing.

Sementara di sudut kelas, anak berambut perak tadi melirik sekilas… lalu kembali memalingkan pandangan tanpa ekspresi.

Guru itu mengangguk puas, menepuk pundaknya pelan. "Bagus sekali. Teruslah belajar, dan jangan ragu membantu temanmu kalau mereka kesulitan."

Asterion mengangguk, meski di dalam hati ia berpikir, "Itu terlalu merepotkan untuk anak berusia tiga tahun mengajari anak yang lebih tua darinya."

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!