Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebohongan.
Mataku membulat, segera ku mundurkan tubuhku yang menghimpit dada Elang dan ku hempaskan kedua tangannya dengan kasar. Bibirku kelu, tak bisa mengucapkan sepatah katapun semua terasa membingungkan. Kejadian ini sangat memalukan, didepan beberapa orang ciuman nakal terjadi tanpa disengaja.
Bisik-bisik beberapa pegawai, membuat rumor yang berseliweran semakin membenarkan dengan adanya kejadian ini. Ditambah Elang terus mengikutiku, padahal aku sedang tak mau melihatnya.
Aku berjalan cepat kembali ke meja kerjaku, sementar Elang masih mematung, aku yakin ia sama bingungnya.
"Ini memalukan," gumamku mempercepat langkah kakiku, menghindari tatapan orang-orang yang melihat ke arahku dengan sinis.
...
Setelah kejadian siang tadi, aku tak ingin bertemu dengannya. Ada saja alasan yang kubuat agar kami tak saling bertemu, seperti halnya sekarang. Elang memanggilku lewat telepon kantor, aku mengangkatnya memang tapi ...
"Aku mohon, ya pak Er. Aku takut nanti rumornya makin aneh-aneh," pintaku pada sekertaris Elang, mengatupkan kedua tangan didada menatapnya penuh harap.
Awalnya dia tak mau, tapi akhirnya ia mau melakukannya. Aku memberikan berkas yang sudah kuselesaikan padanya, kemudian kembali kekursiku dengan hembusan nafas lega.
Kulihat pak Er melangkah masuk kedalam ruangan Ceo, aku tak tahu Elang marah atau tidak yang jelas bibirku berkomat-kamit berdo'a agar tak ada hal buruk.
klek
Sekian menit akhirnya pintu ruangan itu terbuka, pak Er melangkah ke arah mejaku. Wajah tegangnya yang begitu terlihat membuatku merasa tak nyaman, namun bibir lelaki itu begitu sulit untuk mengatakan kata-kata yang mungkin suruhan Elang.
"Bu Zea, kata pak Elang, anda harus ikut bersamanya besok." pak Er menaruh selembar undangan diatas mejaku, "harus, kalau tidak saya dipecat."
Aku terperangah mendengarnya, ini lebih ke arah ancaman. Mana bisa Elang melakukan hal itu, aku yang salah tapi pekerjaan pak Er yang jadi korban.
Aku membuka undangan tersebut dengan cepat, kubaca dengan teliti ternyata Elang ulang tahun besok malam. Aku baru ingat tanggal sekarang, dahulu aku yang paling antusias jika mendekati tanggal ini. Tapi sekarang, aku muak.
"Bagaimana, Bu? Kalau ibu menolak, saya dipecat," ujar pak Er memastikan.
Mau tak mau dan demi tak terjadinya PHK pada pak Er aku harus menurutinya, aku menghela nafas berat lalu tersenyum canggung pada sekertaris itu.
"Baiklah, saya setuju," jawabku akhirnya.
"Terima kasih, Bu Ze. Pekerjaan saya aman sekarang," ucap pak Er.
Aku mengangguk pelan, "Aku yang harusnya terima kasih," ucapku.
"Kalau begitu saya pamit, saya akan menghubungi pak Elang, bahwa anda setuju," ucap pria tersebut begitu kaku dan juga polos.
Pak Er kembali ke kursinya ia terlihat kembali lega, setelah mendengar persetujuanku. Aku kembali melihat undangan sederhana itu, kenapa ia harus mengajakku pergi? Kenapa bukan wanita lain saja?
Aku masih tak paham sikap Elang akhir-akhir ini, kubaca tempat lokasinya itu adalah hotel bintang lima yang sangat terkenal. Hotel mewah dengan sejuta view yang banyak orang ingin bermalam disana, termasuk aku saat dulu.
Padahal undangan seperti ini pun tak pernah kudapatkan, karena Elang tak pernah mau mengundangku dihari ulang tahunnya. Jadi, aku hanya menitipkan hadiahnya pada ayah.
"Aku tak perlu buat kado, kan. Lagi pula dia sudah kaya sejak lahir," batinku.
Jika harus jujur, aku memang sedang tak punya uang. Hadiah untuk orang kaya pasti barang-barang branded, sangat jauh dengan keadaanku yang pas-pasan. Aku saja belum pernah dibelikan hadiah ultah dari suamiku, begitupun sebaliknya.
Sebegitu buruknya rumah tanggaku dengan mas Reza, sangat jauh dari pasangan lain yang romantisnya bagai romeo and juliet.
Nah, kan ... Aku teringat kembali suamiku juga dengan wanita itu.
...
Waktu berlalu, aku pulang dengan tenang karena pulang lebih awal dan besok aku tak akan lihat Elang. Jadi aku tak canggung untuk datang kekantor, rasanya melegakan.
Ku lihat pintu rumahku terbuka, aneh padahal hanya aku dan mas Reza yang punya kunci rumah. Mendadak bibirku tersenyum, langkah kaki ku percepat, aku yakin mas Reza sudah pulang.
"Mas, kamu sudah pulang?" tanyaku dengan suara keras, masuk kedalam rumah tanpa mengucapkan salam.
Namun, aku kecewa.
Bukan mas Reza yang pulang, tapi ibunya dan adiknya yang datang kerumah. Mereka duduk dikursi sofa dengan santainya, seakan mereka adalah tuan rumah. Padahal rumah ini adalah rumahku, rumah pemberian ayahku.
"Mama," gumamku langsung menundukkan kepala.
Mama berdiri, "Sudahlah, langsung ke intinya saja."
Wanita yang lebih tua dari ibuku itu menghela nafas panjang.
"Mamah kesini mau minta uang, sudah setahun lebih Reza tak memberi mama uang. Ia juga sudah lama tak pulang kerumah, 5 juta saja. Mama butuh buat bayar kuliah Raras yang sudah jadi tunggakan," ujar Mamah mertua panjang lebar, ia berkacak pinggang dengan sombongnya.
Aku terkaget, bukan karena uang melainkan ungkapan mertuaku yang mengatakan bahwa mas Reza tak pernah pulang. Padahal suamiku sering ijin menginap di rumah keluarganya itu, yang katanya lebih dekat dengan kantor barunya.
Lagi, sebuah batu menghantam dadaku. Kenyataan apalagi ini?
"Malah diem, mana Zea? Mama butuh sekarang," tuntut ibu mertuaku.
"A-aku gak punya uang, Mah. Tiap bulan mas Reza masih memberiku uang belanja sejuta, itupun gak cukup. Makanya aku kerja sekarang," ucapku dengan halus, bibirku bergetar rasanya ingin menangis.
Mamah dan Raras saling tatap, mereka seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. Raras berjalan mendekatiku yang masih berada diambang pintu, berdiri dalam sebuah kebingungan.
"Kakak pasti bohong, kan? Jelas-jelas mas Reza bilang, semua penghasilannya diberikan pada kakak," ujar adik iparku menjelaskan tentang sesuatu yang tak ku tahu dan itu adalah kebohongan.
Aku merogoh dompetku yang ada didalam tasku, kuperlihatkan isinya dengan lebar didepan mata mereka. Hanya ada satu uang merah dan satu uang biru disana, itu pun sisa uang belanja bulan ini.
"Sejak kapan aku bohong, ini buktinya. Akhir bulan ini seharusnya mas Reza ngasih, tapi dia sedang pergi ke luar kota," ungkapku dengan gamblang.
Raras dan ibu mertuaku saling tatap lagi, aku harap mereka percaya mana pernah aku membohongi mereka.
"Mah, jangan-jangan benar kata temanku, kalau mas Reza beli mobil baru dan jalan sama mantannya," ungkap Raras dengan kesal.
Aku menajamkan pendengaranku, mataku menyipit menatap adik ipar bahwa aku tak salah dengar, tiba-tiba pikiranku melintas pada malam terakhir suamiku pulang. Mobil yang dimaksud Raras, apakah mobil mahal itu? Lalu mantan, bukankah mereka bilang mas Reza tak pernah punya mantan. Aku adalah wanita pertama yang bersamanya.
Ibu mertuaku segera menutup mulut Raras, "Hus, kamu jangan pikir aneh-aneh. Tak mungkin mas mu bohong," bantah Mamah.
Mamah menatapku dengan tajam, jari tunjuknya siap melayang kearahku. "Kamu pasti bohong, Ze. Reza tak pernah membohongiku, ini pasti akal-akalan kamu saja biar kamu bisa menghabiskan semua uang anakku," ujar mama membalikan sebuah fakta.
Dada mamah kembang kempis, dengan lidah tajam memfitnahku seolah akulah biang kerok masalahnya.
Aku diam, mencerna semua yang mereka katakan dan menyambungkan gambaran menyakitkan kemarin malam. Mobil, mantan, perkataan Raras barusan. Benarkah suamiku berbohong?
kenapa harus pelit sih ma istri..