Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Barcode Dan Hati Yang Tertempel
Malam itu, Raka berdiri di depan rak minuman dingin. Toko Kita Jaya sudah mau tutup. Sisa lampu neon tinggal satu yang menyala, kelap-kelip. Di tangan Raka ada scanner barcode, dia main-mainin sambil iseng nempel ke botol soda.
Beep!
Suara bip scanner menggema di lorong sempit.
“Heh, scanner dipake main-main?”
Suara cempreng muncul di pintu. Intan berdiri di depan rolling door, rambut kuncirnya sudah dilepas, jatuh ke pundak. Dia balik lagi ke toko, padahal barusan pamit pulang.
Raka kaget. “Loh, kamu belum pulang?”
Intan melangkah pelan mendekat, tangan bawa bungkusan plastik berisi gorengan.
“Tadi ketinggalan dompet di ruang barang. Eh, liat kamu di sini main barcode sendirian, jadi aku balik.”
Raka nyengir, mengibaskan scanner di udara. “Nih, mau tak scan juga nggak?”
Intan mendelik. “Scan apaan?!”
“Scan hatimu,” balas Raka sok ganteng.
Intan mendesah, melempar plastik gorengan ke meja kasir. “Ih, geli! Hati mana bisa di-scan. Mentang-mentang udah mulai jago nge-bip mie instan.”
Raka mendekat. Tangannya bawa scanner, pelan-pelan diarahkan ke dada Intan.
Beep!
Raka pura-pura kaget. “Nah kan! Bunyi! Hatimu ada barcode-nya berarti.”
Intan pura-pura mau mukul. “Ish, Mas! Malem-malem gini malah ngaco.”
Raka ngakak. Tangannya masih mainin scanner di tangan. Intan duduk di kursi kasir, meraih gorengan, makan sambil manyun.
Raka duduk di sampingnya. “Kamu udah makan belum?”
Intan mengunyah. “Belum. Ini aja makan sisa gorengan yang tadi mau aku bawa pulang.”
Raka meraih satu bakwan, menggigit setengah. Intan melotot.
“Eh! Itu punya aku!”
“Punya kita,” kata Raka cuek. “Kan kamu bilang mau jagain aku dari cewek genit. Masa bodyguard kelaperan.”
Intan cemberut, pipinya gembul gara-gara gorengan.
Mereka makan berdua di depan meja kasir. Di luar, jalanan sepi. Suara jangkrik samar dari gang belakang toko.
Raka menatap Intan yang fokus ngunyah. Rambutnya awut-awutan, pipinya belepotan saus sambal.
“Intan…”
“Apa?”
“Kamu nggak bosen kerja di sini?”
Intan terdiam. Tangannya memeluk plastik gorengan erat-erat.
“Bosen lah. Gajinya segini-gini aja. Kerjanya banyak, shift panjang. Tapi mau gimana lagi? Kalau berhenti, aku makan apa?, nyari kerjaan susah.”
Raka menatapnya, mata mereka bertemu.
“Kamu punya mimpi apa sih?” tanya Raka pelan.
Intan tersenyum kecil, sisa bakwan masih nyangkut di giginya.
“Mimpi? Banyak. Punya kulkas di kost, punya Tv, pasang Ac biar kossan adem, kasih modal bapak buat ternak kambing di kampung. sama bisa kuliah lagi. Punya motor Matic sendiri. Terus… punya keluarga. Yang lengkap.”
Raka menelan ludah. Tangannya terulur, menepuk punggung tangan Intan pelan.
Bel pintu tiba-tiba bunyi. Bos muncul, ngucek mata, masih pakai sarung.
“Heh! Kalian ngapain di sini? Mau pacaran di kasir?!”
Intan loncat kaget. “Nggak, Pak! Ini Mas Raka minta di ajarin barcode lagi!”
Bos mendelik ke Raka. “Barcode apaan jam segini?! Rolling door belum ditutup, tau! Udah ah, pulang sana. Kunci pintu, matiin lampu.”
Raka bangkit, menepuk dada. “Siap, Pak.”
Bos ngeloyor masuk ruangannya lagi, TV tabungnya nyetel sinetron keras banget. Intan menahan tawa.
“Barcode jam segini,” bisik Raka.
Setelah rolling door ditutup, mereka berdiri di trotoar. Angin malam berhembus dingin. Lampu jalan kerlap-kerlip.
Raka menyalakan motor bututnya. Intan berdiri di samping, merapatkan jaket tipisnya.
“Kamu pulang bareng aku lagi nggak?” tanya Raka.
Intan nyengir. “Boleh. Tapi motornya masih kuat nggak?, aku takut entar morornya patah di tengah jalan.”
Raka terkekeh. “Kuat. Selama kamu nggak duduk lompat-lompat di atas motor aja."
Mereka melaju pelan di jalan gang sempit. Intan duduk di jok belakang, tangannya menggenggam pinggiran jaket Raka.
Di jalan yang gelap, Intan bersandar pelan ke punggung Raka. Suaranya pelan.
“Mas…”
“Hm?”
“Kenapa sih kamu betah kerja di toko kayak gini? Kamu kan… keliatan kaya bukan orang biasa.”
Raka tertawa kecil, menahan angin malam. “Emang aku alien?”
“Serius, Mas. Kamu keliatan beda. Kaya berpendidikan tinggi gitu. Pokonya beda aja.”
Raka nggak jawab. Dia cuma menatap jalan depan, senyum kecil di bibirnya.
Sampai di kos, mereka berhenti. Intan turun pelan, melepas helm murahan.
“Makasih ya, Mas,” katanya lirih.
“Makasih, apa?”
“Makasih… udah ajakin aku pulang bareng terus. bikin aku ngerasa nggak sendirian.”
Raka menatapnya. Tangannya mau mengacak rambut Intan, tapi Intan keburu mundur.
“Udah ah. Masuk sana. Nanti kedinginan.”
Raka hanya tersenyum. Intan melangkah masuk ke pintu kos, tapi sempat berbalik.
“Barcode hatimu tuh bunyi beneran nggak sih?” tanya Intan
Raka nyengir. “Besok tak scan lagi. Biar tau.”
Intan melempar sandal jepitnya ke arah Raka. “Gombal!” katanya sambil terkekeh. Lalu pintu kos menutup. Malam menelan senyum mereka.
Bersambung.