Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA8
(waktu mundur) 05.00 Wib pagi, Jakarta, sebelum lamaran Maya.
Alan membuka lemari dan menarik keluar tas ransel kesayangannya. Tas yang biasa ia pakai saat perjalanan luar kota, entah satu atau tiga hari. Saat hendak memasukkan beberapa potong pakaian, ia lebih dulu mengosongkan isi tas, rutinitas itu biasanya dikerjakan oleh Maya.
Tangannya terhenti ketika melihat secarik kertas kecil terselip di dalam saku tas. Tulisan tangan Maya, lembut dan penuh perhatian:
"Sayang, jangan lupa makan ya, minum air putih yang cukup, aku sudah siapkan bekal mini selama perjalanan. Bila ada waktu luang Istirahat, jangan minum alkohol, dan apalagi merokok! 😘"
Alan menatap memo itu lama, hening, ia baru membacanya, sebelum menyadari ada kotak bekal kecil di dasar tas yang belum tercuci. Terlupakan oleh Maya karena wanita itu sudah keburu pergi.
Pelan-pelan, Alan membawa kotak bekal itu ke dapur. Dengan tangan gemetar, ia mencucinya bersih, itu bukan sekedar tempat makan biasa. Melainkan hadiah diam-diam dari Maya, yang ia belikan saat mereka liburan di Paris. Maya suka memberikan hadiah sederhana tapi bermanfaat, agar Alan tidak melulu tentang kemewahan dan kesombongan. Satu dari sedikit momen ketika Alan merasa dicintai tanpa syarat.
Alan kembali dihantui bayang-bayang kemesraan masa lalu. Setiap kali pulang lembur kerja, Maya dengan tampilan sexy menggoda, selalu menyambut Alan dengan pelukan dan ciuman yang hangat. Mencari jejak alkohol atau asap rokok yang berlebihan di mulut Alan.
“Harum, kan?” goda Alan sambil mencubit ujung hidung Maya.
Wanita itu pun tertawa kecil, matanya berbinar bahagia.
Alkohol dan rokok menjadi larangan keras dari Maya. Tapi setelah kepergiannya, justru dua larangan itulah yang kini menjadi pelarian Alan. Ia kembali meneguk pahitnya alkohol dan membakar sebatang demi sebatang rokok, seolah mencoba melupakan, justru semakin tenggelam dalam rindu.
Padahal Maya bukan istri Alan, hanya sebatas kekasih. Namun cintanya, perhatiannya, melebihi apa pun yang pernah Alan terima. Perhatian-perhatian sederhana itu lah yang membuat Alan sulit move on dari Maya.
--
Alan tampil sempurna pagi itu dengan pakaian rapi, wangi, dan penuh wibawa. Ia akan hadir di acara lamaran Maya Puspita sebagai tamu yang tidak diundang, sekaligus untuk pertama kalinya bertemu langsung dengan orang tua wanita itu.
Tiba-tiba Jacob datang mengawal dari belakang.
"Ada perubahan jadwal?" tanya Alan datar namun penuh siaga.
"Nona Keyla Andrew akan hadir sebagai perwakilan RVC di jepang," jawab Jacob santai.
Alan menoleh tajam. "Dia tahu soal ini?"
Jacob mengangguk. "Tentu saja."
"Kau sudah memberitahunya?" desak Alan.
"Tentu saja," jawab Jacob lagi tanpa beban.
Alan menghela napas, antara marah dan lega. Mungkin lebih baik jika kakaknya sudah tahu lebih dulu.
"Baiklah, kita lihat saja nanti," gumamnya pasrah.
Alan dan pasukannya terbang meninggalkan Jakarta menuju Jawa tengah.
--
Saat acara lamaran hendak dimulai, suara deru tiga mobil sport mewah menggelegar memecah keheningan desa. Berjejer rapi di halaman rumah keluarga Maya, mobil-mobil itu langsung menyita perhatian warga yang berdiri melongo. Mereka belum pernah melihat kendaraan semewah itu secara langsung.
Kehadiran Alan yang turun dengan tenang, diiringi Jacob dan para pengawal.
Saat Alan memasuki ruangan.
Bagas, ayah Adly, spontan berdiri dan membetulkan kacamatanya, nyaris tak percaya melihat siapa yang datang.
"Itu... Tuan Alan!" teriaknya histeris, mencoba mendekat untuk menyentuh. Namun, pengawal Alan segera menahan tubuh Bagas agar tidak melanggar batas.
Tatapan Alan lurus mengarah ke Maya.
Wanita itu shock. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang ternganga.
"Adly... dia... dia Presiden Direktur RVC!" ucap Bagas gugup, mencoba tetap sopan.
"Terima kasih atas kedatangannya, Pak," sapa Adly memberi hormat.
"Ini seperti mimpi! Orang sebesar Tuan Alan hadir dalam lamaran kecil anak saya!" Bagas nyaris melompat bangga terlalu percaya diri.
"Terima kasih, Tuan," timpal Ratih dengan gaya manja yang tidak kalah berlebihan.
Sementara itu, Maryam dan Ardi hanya saling berpandangan bingung, tidak mengerti apa yang sedang terjadi dan juga tidak mengenal Alan.
Maya langsung berdiri, menghampiri Alan. Tatapan pria itu menembus mata Maya dalam-dalam, seolah menumpahkan segala rindu yang selama ini tertahan.
"Aku tidak mengundangmu. Kau bukan siapa-siapa. Silakan keluar dari rumahku," tegas Maya dingin, tajam, tanpa basa-basi.
Senyum tipis muncul di bibir Alan. "Maya, aku datang bukan sebagai siapa-siapa... tapi sebagai Alan Andrew. Dan aku tidak akan keluar dari sini sebelum membatalkan lamaranmu."
Tatapan Maya membara.
"Apa kau pikir ini lelucon!" suara Maya meninggi, matanya memerah menahan emosi.
"Sama. Aku juga tidak sedang bercanda." Alan menatapnya, kali ini dengan ekspresi serius namun tetap tenang.
"dan kau akan memanggil sapi mu untuk menyeruduk ku?" ucap Alan menahan senyum.
"Ini bukan lelucon, Alan!" hentak Maya tegas, rahangnya mengeras dan giginya rapat menahan amarah yang nyaris meledak.
Ardi segera berdiri, menyentuh lembut bahu putrinya. "Nak, tidak baik bersikap kasar kepada tamu. Apalagi dia atasanmu."
Ardi kemudian membungkuk sopan. "Selamat datang, Tuan, di rumah kami yang sederhana."
Alan mengangguk penuh hormat. "Terima kasih, Pak."
Bagas langsung sibuk mencari muka, mempersilakan Alan duduk di tempat terbaik.
Sementara itu, Ratih yang sejak tadi mencuri pandang ke luar jendela, terkagum-kagum.
“Gila, mobilnya... kayak dari film Hollywood!” desisnya penuh decak kagum.
Bagas menyodorkan makanan dan minuman dengan penuh keramahan. Pria tua itu begitu menghormati Alan, kagum dengan kemapanannya di usia yang masih tergolong muda, baru 34 tahun.
Namun suasana berubah ketika Alan berkata tenang, tapi tegas, “Pak Bagas, bisakah warga desa yang hadir di ruangan ini diminta keluar?”
Semua mata menatap heran. Bagas mengangguk ragu dan menyuruh mereka keluar.
Begitu ruangan hanya tersisa keluarga inti, Alan menatap mereka satu per satu, lalu berkata lantang,
“Maya tidak bisa menikah dan resign dengan mudah. Dia masih memiliki kontrak kerja dengan saya yang belum selesai.”
Kalimat itu membuat kedua keluarga menegang. Tatapan penuh tanya terpancar dari wajah Bagas dan Ardi.
Alan melanjutkan dengan suara mantap, “Batalkan lamaran ini. Saya akan memberikan royalti besar untuk keluarga Bagas Kusuma.”
"Benarkah, Tuan?!” seru Ratih, calon mertua matre itu dengan mata berbinar-binar, seolah lupa pada adat dan harga diri.
Sementara itu, Maya menatap Alan penuh amarah. “Lagi-lagi dia mengenakan kekuatan uangnya!” gumamnya geram, rahangnya menegang.
Jacob membuka dokumen dan mulai membacakan isi kesepakatan:
"Pertama, Adly Hanif akan diangkat dari staf biasa menjadi manajer area di PT Andara.
Kedua, keluarga Bagas akan menerima sebuah rumah mewah di kota besar Jawa Tengah, lokasi strategis, lengkap dengan satu unit mobil seharga 800 juta rupiah.
Ketiga, uang tunai sebesar 200 juta.
Total nilai hadiah mencapai 2 miliar rupiah.”
Jacob berhenti. Ruangan mendadak hening. Semua terdiam, kecuali suara napas tercekat dari Ratih.
“Haah?!” mulut Ratih menganga, nyaris pingsan menerima angka sebesar itu.
Dengan langkah cepat, Ratih maju mendekati Alan.
“Tuan, jangan khawatir. Kami akan segera membatalkan lamaran ini!”
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan